JAKARTA | duta.co – Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS, KH Bukhori Yusuf, Lc, MA mengkritik kebijakan terbaru Kementerian Agama mengenai panduan pemakaian pengeras suara (speaker) di masjid/mushala sebagaimana Surat Edaran No.5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Menurutnya, secara substansi pedoman tersebut seolah mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat setempat. Ini mengingat jangkauan dari edaran tersebut tidak hanya dialamatkan kepada masjid atau mushala yang berada di wilayah perkotaan, tetapi juga di wilayah pedesaan.

Padahal, “Penggunaan pengeras suara di masjid adalah tradisi umat Islam di Indonesia. Bagi masyarakat tradisional yang komunal, mereka relatif memiliki penerimaan yang lebih positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir, atau pengajian dengan suara keras melalui speaker masjid.,” jelas Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Anak Cabang Pecangaan dan Ranting Karangrandu, Jepara tahun 1986 itu.

Masih menurut KH Bukhori, selain alasan bahwa di dalam budaya komunal setiap laku individu terkonstruksi secara alamiah untuk mengutamakan kepentingan umum. “Tradisi tersebut juga tidak menemukan masalah ketika diterapkan di lingkungan yang homogen seperti pedesaan,” jelasnya di Jakarta, Senin (21/02/2022).

Politisi PKS ini mengatakan, dalam konstruksi kebudayaan masyarakat di pedesaan, bunyi keras tersebut telah menjelma sebagai ‘soundscape’ atau bunyi lingkungan, sehingga apabila frekuensi ataupun kapasitas dari bunyi tersebut berkurang, melemah, bahkan menghilang, maka dapat berpengaruh terhadap suasana kebatinan penduduk yang biasa terpapar oleh lantunan suara yang berasal dari masjid/musala, walaupun dilakukan secara bersahut-sahutan dengan volume yang keras.

“Seperti ada bagian yang hilang dalam keseharian hidup mereka,” ungkapnya.

Namun demikian, ia mengamini bahwa fenomena yang ia anggap lazim di pedesaan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima oleh penduduk perkotaan yang hidup dalam suasana heterogen, individualistik, serta bising, sehingga ketenangan menjadi hal yang didambakan di tengah hiruk pikuk kehidupan metropolitan.

“Dalam kondisi itu, pengaturan pengeras suara pada tingkat yang proporsional menjadi hal yang perlu dilakukan. Selain demi menjaga harmoni sosial di lingkungan yang heterogen, juga penting untuk menjaga simpati masyarakat atas kegiatan keagamaan yang dilakukan. Meski demikian, mewujudkan hal itu sesungguhnya tidak perlu dilakukan secara eksesif, misalnya melalui intervensi negara yang mencampuri hingga urusan teknis soal peribadatan, tetapi cukup berangkat dari rasa kesadaran dan keterbukaan pikiran masyarakat, khususnya bagi pihak takmir masjid atau pengurus DKM,” ucapnya.

Terkait dengan pentingnya mendukung inisiasi masyarakat dalam mewujudkan harmoni sosial, Bukhori lantas mengambil contoh inisiatif baik yang dilakukan oleh umat Islam di Bali yang tidak menggunakan pengeras suara ketika umat Hindu memperingati hari raya Nyepi dalam rangka penghormatan dan toleransi. Begitupun sebaliknya dengan umat Hindu yang memaklumi penggunaan pengeras suara yang bersahutan oleh sejumlah masjid di Bali ketika menyambut peringatan hari raya Idul Fitri/Adha meskipun jumlah penganut muslim minoritas di sana.

Anggota Badan Legislasi ini juga menekankan, pengaturan pengeras suara tidak boleh dengan unsur pemaksaan, tetapi membutuhkan pendekatan dari hati ke hati antar warga.

Menurutnya, bagi pihak yang merasa terusik dapat menyampaikan rasa keberatannya secara santun kepada pihak takmir. Pun demikian halnya dengan pihak takmir yang harus pengertian, bijaksana, dan berjiwa besar dalam merespons dinamika masyarakat yang terdampak oleh pengeras suara masjid/mushala dengan merumuskan jalan keluar yang humanis dan tidak mengurangi esensi syiar agama sedikit pun.

“Kuncinya adalah menyerahkan urusan ini kepada masyarakat untuk mengaturnya melalui tradisi atau musyawarah mengingat setiap kampung/daerah berbeda kondisi sosio-kulturalnya antara satu dengan yang lainnya,” pungkasnya.

Hal yang sama datang dari Ketua PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah), H Tjetjep Mohammad Yasien, SH MH. Menurutnya, masalah speaker masjid, tidak perlu pemerintah ikutan turun tangan. “Kayak kurang kerjaan saja. Masyarakat lebih paham kebutuhan soal speaker masjid. Buktinya, juga sangat mereka butuhkan, misalnya untuk pengumuman kematian. Kalau masjid tidak ada suaranya, justru bikin bingung jamaah,” jelasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry