SURABAYA | duta.co – Luar biasa! Begitu giat dan sumringah, sebanyak 39 siswa-siswi MI (Madrasah Ibtidaiyah) Darussalam Tambakrejo, Kecamatan Simokerto, Surabaya saat berkunjung ke Gedung Bundar, Musem NU (Nahdlatul Ulama) Surabaya, Selasa (16/12/25).

Mereka didampingi 10 guru dalam Koordinasi Ustadzah Siti Muttoliah (guru kelas) melihat-lihat benda peninggalan para kiai NU. Namanya pelajar, tentu suka melihat hal-hal yang sifatnya dramatis dan heroik. Misalnya, foto Mbah Hasyim yang serius di depan tentara Jepang. “Bisa dijelaskan, ini mengapa Kiai Hasyim Asy’ari didatangi tentara Jepang,” celetuk siswa.

Sekedar tahu, ada lima mahasiswa UNESA (Universitas Negeri Surabaya) Jurusan Sejarah yang tengah magang di Museum NU. Mereka adalah Adam Arya Ahmadi, Ajeng Retno Sari, Yosep Mario Tato Dwi P, Samsudin Budi Pratama dan Nisrina Naya Dewi.

Nah, saat kunjungan siswa MI Darussalam, Yosep Mario Tato Dwi P, mahasiswa non-muslim itu, kebagian menjelaskan sejarah kebangsaan NU untuk anak-anak. “Terimakasih, anak-anak begitu antusias dan bersemangat mempelajari dokumen-dokumen NU,” terang Yosep.

Ia mendekte sebuah foto Mbah Hasyim di depan tentara Jepang. “Ini foto Mbah Hasyim melawan ketidakperikemanusiaan penjajah Jepang. Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Pendiri NU itu, dipaksa tentara Nippon (Jepang) dengan alasan mengada-ada,” katanya.

Penjajah (Jepang) memperoleh informasi dan menuduh Kiai Hasyim Asy’ari memobilisasi rakyat untuk melakukan pemberontakan di daerah Cukir, Jombang. Akhirnya kesepakatan diperoleh, Jepang mau membebaskan Kiai Hasyim Asy’ari dengan syarat ia mau diangkat sebagai Shumubucho. Kiai Hasyim tetap menolak dengan halus.

“Lalu, ketika Jepang mewajibkan Seikerei bagi rakyat Indonesia kala itu (Seikerei dilakukan dengan membungkuk ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi) Mbah Hasyim juga menolak Seikerei karena menurutnya hanya Allah yang patut disembah, bukan manusia atau matahari. Selama dalam tahanan, banyak penyiksaan fisik yang diterima Hasyim, bahkan salah satu jarinya patah hingga tidak dapat digerakkan,” jelas Yosep fasih.

Akhirnya setelah empat bulan, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1942, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang ini dibebaskan karena banyaknya protes dari kalangan kiai dan santri. “Jadi nilai-nilai kemurnian agama begitu dijaga oleh beliau. Pun nilai kebangsaan terus berkobar di hati rakyat Indonesia. Itulah sebabnya, tahun 1964, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KH. Hasyim Asy’ari. Beliau dikenang sebagai ulama pejuang yang berperan dalam membangkitkan semangat nasionalisme sekaligus menjaga syiar Islam di tanah air,” tegasnya.

Masih banyak dokumen penting yang harus diketahui anak-anak kita, pelajar Madrasah. Karena itu, Museum NU juga tengah membangun kerjasama dengan Lembaga Pendidikan  Ma’arif beserta Tv9 agar ada materi ajar yang bisa disuguhkan untuk anak-anak kita. (mky)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry