Oleh: Suparto Wijoyo*

RIUHNYA pencapresan ketua umum partai menambah  ramainya  penyelenggaraan Pilkada. Persaingan dituang dengan sadar. Para tersangka  korupsi uang negara maupun yang kini menggeliat dari “kosmologi” Bank Century, kencang menerjang siapa saja yang dulu mendekap erat. Saat ini, tahapan Pilkada 27 Juni 2018 pun memasuki babak pelaporan harta kekayaan.  Tanggal 12 April 2018 di Gedung Negara Grahadi dilakukan Pembekalan Antikorupsi dan Deklarasi LHKPN untuk para Paslon (pasangan calon). Tentu para “manten” termasuk kandidat gubernur Jawa Timur menunjukkan sikap anti-money politics. Nyogok suara rakyat dengan menggarong uang mereka adalah haram hukumnya. Anehnya para Cakada (calon kepala daerah) yang terpotret adalah termasuk jua yang sedang tersandra kasus hukum dengan status tersangka koruptor sebagaimana diumumkan oleh KPK.

Saya percaya rakyat mengikuti penuh antusias dan terus bertekad mengawal sampai tuntas, termasuk proses hukum yang sedang dilakoni. Fenomena hadirnya Paslon tersangka merupakan potret manajemen politik yang secara yuridis  melahirkan tragedi “penodaan” negara hukum.  Kuasa Paslon tersangka dijaga dengan gagah oleh negara.  Sungguh kasus yang menimpa para Cakada memberikan keperihan sekaligus pembelajaran untuk khalayak dalam menikmati seleksi “hukum” akan hadirnya orang-orang yang bersih pada coblosan 27 Juni 2018 nanti.

Betapa Paslon dan tim suksesnya itu percaya diri dengan hati yang tidak merasa risih, meski mengkhawatirkan seperti yang sudah-sudah di era sebelum ini, pihak yang terang-terangan distempel tersangka korupsi pada tahapan selanjutnya dapat melenggang menuju kursi “pelaminan bergengsi”. Sampai pada kasunyatan ini terasa sekali bahwa antara Paslon dengan pemilihnya sama-sama memasuki “keranda demokrasi” yang “mendekap nilai-nilai menipu diri”. Korupsi boleh diwartakan  apa saja, tetapi pemilihan tetaplah digelorakan sepengaturan  hukum bahwa hal ini bukanlah “nista” selama belum ada putusan yang berketetapan penuh (“full legal binding”).

 Itulah awal dari kehancuran sebuah peradaban yang hidup sangat pandai memberikan dalil-dalil mengabsahkan nyolong yang dianggap halal hingga diyakini “ini adalah kemuliaan”, apa pun wujudnya. Pemaknaan ini mengingatkan saya pada cerpen The Spider’s Thread” (1961) yang ditulis Ryunosuke Akutagawa (1892-1927),  pengarang terkemuka Jepang. Cerpen Jaring Laba-laba telah menjadi bagian dari Sehimpun Cerpen Terbaik Dunia Sepanjang Masa yang dikompilasi oleh kurator Anton Kurnia (2016).

Ceritanya saya ulangkan kembali: saat itu hari masih pagi di surga. Sejenak sang Buddha berdiri di tepi Kolam Teratai, melalui celah terbuka di antara dedaunan yang menutupi permukaan air, tiba-tiba terpampang sebuah pemandangan. Matanya tertumbuk pada seorang lelaki bernama Kandata yang berada di dasar neraka bersama para pendosa lainnya. Kandata semasa hidupnya adalah seorang perampok kelas berat yang telah banyak berbuat kejahatan dan hanya memiliki satu kebaikan. Suatu kali saat dia berjalan di tengah hutan belantara, dilihatnya seekor laba-laba sedang merayap di tepi jalan. Dengan cepat ia mengangkat kakinya bermaksud hendak menginjaknya, namun tiba-tiba ia berpikir: ah tidak, tidak. Sekecil ini pun dia mempunyai nyawa. Dia pun membiarkan laba-laba itu tetap hidup.

Ketika memandang ke neraka, sang Buddha teringat bagaimana Kandata telah menyelamatkan seekor laba-laba. Sang Buddha dengan tenang mengambil seutas jaring laba-laba dan dijatuhkannya benang itu ke dasar neraka yang terhampar di antara bunga-bunga teratai.   Kandata tengah terbenam di dalam genangan darah, tak bisa berbuat apa-apa selain berjuang agar tak tenggelam di kolam seperti seekor kodok sekarat. Namun saatnya telah tiba. Hari ini Kandata mengangkat kepalanya secara kebetulan dan menatap langit di atas Kolam Darah. Dia melihat seutas jaring laba-laba berwarna keperakan yang menjulur ke arahnya dari arah surga yang tinggi. Melihat itu Kandata bertepuk kegirangan untuk merangkak. Jika semuanya berjalan lancar dia bisa mencapai surga. Itu berarti dia akan terbebas dari Gunung Jarum dan Kolam Darah.  

Kandata telah memanjatnya dan Kolam Darah tampak tersembunyi di balik kegelapan dan Gunung Jarum sependar samar-samar di bawahnya. Kandata   berteriak nyaring kegirangan setelah bertahun-tahun terpuruk di dasar neraka. “Berhasil”, teriaknya. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang ke bawah jaring itu dan melihatnya para pendosa lain ternyata ikut berduyun-duyun memanjat penuh semangat menggapai jejaknya, naik dan terus naik bagaikan upacara para semut. Saat itulah Kandata terbelalak dengan mulut ternganga. Bagaimana mungkin jaring laba-laba yang tipis ini dapat menahan sebanyak itu, sementara untuk menahan beban tubuhnya sendiri saja nyaris putus. Jika jaring itu sampai putus, dia akan jatuh kembali ke dasar neraka setelah berhasil mencapai titik pengharapan. Kini ribuan pendosa merayap naik dari kegelapan Kolam Darah dan memanjat sekuat tenaga. Kandata pun menghardik dengan suara lantang: “Hai, kalian para pendosa, jaring laba-laba ini milikku. Siapa yang memberimu izin  naik mengikutiku? Turun! Turun!”.

Tepat pada saat itulah, seutas jaring tipis itu, yang sejauh ini tak menunjukkan tanda-tanda akan putus, tiba-tiba putus tepat di titik Kandata tengah bergantung. Tanpa sempat menjerit, dia meluncur deras ke arah kegelapan, terus melayang, berputar dan berputar. Setelah semuanya usai, hanya sisa jaring laba-laba surga itu saja yang tampak bergoyang berkilat-kilat, bergantung di langit tak berawan. Sambil berdiri di tepi Kolam Teratai di surga, Sang Buddha menatap dari dekat semua kejadian tadi. Saat itu hari beranjak telah menjelang siang di surga.

Lantas, akankah kaum tersangka menerima mandat berkuasa?

* Kolomnis Fakultas Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry