SURABAYA|duta.co –Sidang lanjutan dugaan perkara penipuan dan penggelapan yang melibatkan Wong Daniel Wiranata kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Sidang digelar dengan agenda mendengarkan keterangan empat saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Djuariyah dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. Keempat saksi itu adalah Probo Wahyudi (pemilik uang), Kacab pembantu BNI Kenjeran Sri Astuti Sulistiyawati, Notaris Eni Wahyuni dan Temmu.

Dalam sidang ini, pihak terdakwa melalui penasehat hukumnya mengatakan pihaknya menemukan banyaknya ketidaksesuain antara keterangan saksi satu dengan saksi lainnya, termasuk keterangan pelapor Soetrisno Dihardjo.

Tim penasehat hukum terdakwa berhasil mengungkap fakta terkait proses penyerahan uang Rp12 miliar, yang dilakukan Soetrisno Dihardjo kepada terdakwa, yang diklaim dilakukan secara bertahap sebanyak 6 kali.

Saksi Temmu mengaku dirinya mengetahui proses penyerahan uang yang berbentuk pecahan dolar oleh Soetrisno ke terdakwa. “Saya ada diruangan saat itu, sekali penyerahan. Uang diserahkan saat Dhuhur (siang, red). Yang lainnya (lima kali, red) saya tidak tahu,” ujarnya.

Akhirnya tim penasehat hukum terdakwa mencoba mengetes kebenaran keterangan dari saksi Temu, dengan cara membeberkan beberapa pecahan mata uang dolar di depan meja hakim.

Faktanya, saksi tidak bisa memilih dengan benar sesuai keterangannya. Ia menunjuk 1 lembar uang dolar senilai 1 dolar. “Seperti ini uangnya, gambarnya seperti ini. Banyak, isinya satu amplop,” ujarnya.

Padahal, apabila dikalkulasi, nilai tersebut sangat jauh dari jumlah yang diklaim pelapor sebanyak Rp2 miliar. “Dari situ ketahuan, bahwa saksi diduga palsu atau bohong. Aparat maupun hakim bisa memerintahkan untuk menangkap saksi. Saya tegaskan, terdakwa tidak pernah menerima uang Rp12 miliar seperti yang didakwakan,” ujar Dr, Ir Yudi Wibowo Sukinto SH, MH salah satu tim penasehat hukum terdakwa, Kamis (21/2/2019).

Yudi pun mengakui bahwa terdakwa memang pernah meminjam modal ke saksi Probo Wahyudi. “Saat itu pinjam Rp7,5 miliar dan sudah dikembalikan hampir Rp10 miliar. Itupun dilakukan didepan notaris serta melalui sistem tranfer, agar ada bukti. Lah sekarang nilainya lebih besar yaitu Rp12 miliar mana mungkin logikanya, tidak dibikinkan perjanjian secara hukum. Sangat tidak masuk akal,” ujarnya.

Masih Yudi, hal-hal diatas yang makin membuat kental aroma adanya rekayasa dalam perkara ini. Iapun secara tegas menyatakan bahwa perkara ini diduga sarat kejanggalan. “Menggunakan ilmu Gathuk (asal ketemu, red), bukan ilmu hukum. Bahkan di Kejagung RI pun perkara ini sempat dilakukan ekspose (gelar perkara, red), dan hasilnya tidak boleh dilimpahkan (pengadilan, red),” bebernya.

Ia mengangap bahwa perkara ini tidak semestinya ada. “Semestinya tidak ada perkara, sudah lunas semua,” tambah Yudi.

Sedangkan saksi Probo Wahyudi dalam sidang menerangkan, alasan mengapa dirinya menyiapkan uang pecahan dolar. “Saat itu terdakwa meminta uang pecahan dolar karena mau digunakan bayar barang impor,” terangnya.

Saat dicerca soal kebenaran pinjaman Rp7,5 miliar yang dibayar hampir Rp10 miliar oleh terdakwa, saksi Probo menegaskan memang hal itu sudah tidak pihaknya permasalahkan. “Tidak ada kaitannya itu, sudah selesai dibayar. Itu antara saya dengan terdakwa, namun saat ini melibatkan Soetrisno dalam kerjasama bisnis tersebut,” singkatnya.

Sedangkan, saksi Sri Astuti dari BNI mengatakan bahwa BG tidak bisa dipindahtangankan atau dijaminkan. BG tidak bisa dicairkan oleh orang yang namanya tidak tertera dalam BG tersebut.

“BG memiliki kadaluarsa atau jatuh tempo, selama 70 hari. Setelah itu statusnya tidak memiliki legalitas dan tidak bisa dicairkan. Dan selama ini tidak adanya bukti kliring bahwa BG ditolak oleh pihak bank kami,” ujarnya.

Menurut penasehat hukum terdakwa, Nizar Fikri, keterangan saksi bank secara tegas menyatakan bahwa BG milik terdakwa yang dipermasalahkan itu tidak ada nilainya. “Artinya kan BG belum pernah dipergunakan dan tidak ada dampak hukum atas itu,” ujarnya.

Sedangkan saat ditanya atas keterangan para saksi di sidang, terdakwa mengatakan bahwa keterangan tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahkan ia menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima uang sebesar Rp12 miliar seperti yang diutarakan para saksi. Ia pun mengaku tidak pernah membubuhkan tanda tangan pada enam kuitansi penyerahan uang antara saksi Probo dengan Soetrisno.

Terkait Bilyet Giro (BG) sebesar Rp14 miliar yang diterbitkan oleh terdakwa, ia mengatakan bahwa memang dirinya lakukan namun untuk meminta tenggang waktu pembayaran pada pinjaman Rp7,5 miliar ke Probo, bukan untuk jaminan ke Soetrisno.

“Hanya untuk mengulur waktu pembayaran hutang Rp7,5 miliar awal, bukan jaminan. Pada kerugian Rp12 miliar yang disoal pelapor saat ini, tidak ada jaminan yang saya serahkan,” ujar terdakwa.

Dalam dakwaan jaksa diceritakan, perkara ini berawal dari terbitnya Bilyet Giro PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk No BV471011 yang diterbitkan terdakwa senilai Rp12 miliar. Padahal menurut terdakwa BG tersebut ia terbitkan sebagai alih-alih mencari alasan untuk menunda pembayaran hutannya kepada Probo Wahyudi senilai Rp7,5 miliar.

Terdakwa mengaku mendapat BG dari pembiayaan Proyek Pengadaan Kran dan Valve dari Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Kota Balikpapan pada bulan Oktober 2014 silam. Padahal hal itu fiktif.

Atas perbuatan terdakwa, korban mengaku dirugikan sebesar Rp12 miliar. Oleh jaksa, terdakwa dijerat pasal 263 ayat 1 dan 2 serta pasal 378 KUHP. eno

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry