“Agar kerangka ini bisa berjalan, negara harus mengambil peran sebagai enabler, bukan hanya regulator.”

Oleh: ARINA NUR ALVIKA, Universitas Negeri Malang

PpKETIKA Indonesia menatap masa depan sebagai negara maju, kebutuhan akan riset yang berdampak dan teknologi yang aplikatif menjadi semakin mendesak. Dalam konteks inilah, Kompetisi Sains dan Teknologi Indonesia (KSTI) 2025—perlu diletakkan dalam kerangka baru: bukan sekadar ajang kompetisi, melainkan titik temu strategis antara ekosistem riset kampus dan kebutuhan pembangunan nasional.

Transformasi KSTI menjadi pusat solusi teknologi bangsa adalah keniscayaan bila kita ingin membangun jembatan nyata antara universitas, industri, dan negara. Ini bukan hanya soal mengapresiasi ide cemerlang, tapi bagaimana menciptakan rantai nilai dari pengetahuan menuju pengaruh (from knowledge to impact).

Dari Showcase ke Solusi

Sejak awal, KSTI telah menjadi wadah penting untuk menampilkan karya-karya inovatif dari kampus-kampus di seluruh Indonesia. Namun, dalam praktiknya, banyak karya hebat yang tidak berlanjut ke tahap implementasi. Penelitian yang unggul secara akademik seringkali terhenti di meja seminar, tidak menjelma menjadi produk, kebijakan, atau sistem yang menyentuh publik secara luas.

Oleh karena itu, penting bagi KSTI 2025 untuk memperluas mandatnya. Ia perlu bergeser dari pameran hasil riset menuju ekosistem yang menfasilitasi hilirisasi. Di sinilah peran kebijakan publik dan kepemimpinan kelembagaan menjadi kunci. Pemerintah melalui Kemendikbudristek, BRIN, dan lembaga pembiayaan seperti LPDP harus menyinergikan skema pendanaan, inkubasi, dan regulasi agar riset kampus bisa masuk ke jalur industrialisasi maupun formulasi kebijakan.
Lebih dari itu, pendekatan “science-to-policy” dan “science-to-market” harus dilembagakan.

KSTI dapat menjadi ruang kurasi dan validasi, tempat riset-riset unggulan tidak hanya dinilai dari kebaruan, tapi juga dari potensi kontribusinya terhadap Asta Cita dan prioritas pembangunan nasional.

Framework Kontribusi Akademisi

Untuk mewujudkan transformasi ini, kita perlu membangun kerangka kerja sistemik tentang bagaimana riset kampus bisa menopang pembangunan nasional dan eksistensi Indonesia di panggung global. Framework tersebut dapat dibangun dari empat pilar utama:

Pertama, Fokus Tematik Nasional

Riset kampus perlu diarahkan untuk menjawab tantangan strategis bangsa: ketahanan pangan, energi bersih, digitalisasi layanan publik, perubahan iklim, kesehatan masyarakat, dan transformasi industri. KSTI dapat mengkonsolidasikan tema ini melalui grand challenge nasional yang melibatkan kampus dan lintas sektor.

Kedua, Sinergi Triple Helix yang Inklusif

Kolaborasi antara universitas, industri, dan pemerintah harus ditingkatkan secara struktural. Namun, penting juga memastikan bahwa masyarakat—sebagai penerima manfaat akhir—ikut terlibat dalam proses desain dan penerapan teknologi. Pendekatan quadruple helix menjadi relevan di sini.

Ketiga, Infrastruktur Pendukung dan Pendanaan Berkelanjutan

Banyak gagasan brilian mati muda karena tidak tersedia ekosistem pendukung. Inkubator bisnis, laboratorium bersama, open access data, serta kemudahan regulasi harus menjadi bagian dari ekosistem KSTI yang baru. Pendanaan tidak bisa hanya berbasis kompetisi tahunan, tapi mesti diikat dalam kerangka multiyears dan berbasis kinerja dampak.

Keempat, Diplomasi Sains dan Posisi Global

Kampus Indonesia harus berani tampil dalam percakapan global. Riset tidak hanya untuk publikasi jurnal, tapi juga untuk memperkuat diplomasi sains dan posisi tawar Indonesia di forum internasional, termasuk dalam isu-isu global seperti transisi energi, keamanan digital, dan bioteknologi. KSTI bisa menjadi panggung untuk menampilkan karya global dari tangan lokal.

Peran Negara: Mengorkestrasi dan Menguatkan Ekosistem

Agar kerangka ini bisa berjalan, negara harus mengambil peran sebagai enabler, bukan hanya regulator. Ini berarti menciptakan ruang eksperimen (regulatory sandbox), mendorong fleksibilitas kurikulum agar riset lebih responsif, dan memberikan insentif nyata bagi dosen dan mahasiswa yang berkontribusi pada solusi pembangunan.

Reformasi tata kelola riset nasional, termasuk integrasi antara BRIN, Kemendikbudristek, dan perguruan tinggi, perlu dijalankan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Yang tak kalah penting adalah penguatan kapasitas SDM riset melalui program postdoc nasional, visiting scholar, dan konsorsium riset internasional. KSTI 2025 dapat menjadi prototipe dari orkestrasi ini: tempat di mana negara, ilmuwan, dunia usaha, dan masyarakat sipil duduk bersama, menyepakati arah dan etika dari inovasi nasional.

Salah satu tantangan utama dunia riset adalah budaya silo dan kompetisi yang tidak sehat. KSTI harus melampaui semangat “siapa juara” menjadi “apa dampaknya.” Dengan membangun sistem kolaboratif—misalnya melalui research consortium lintas kampus dan challenge-driven research—kita bisa menciptakan solusi yang lebih inklusif dan tahan lama.

Semangat gotong royong yang menjadi akar budaya Indonesia harus hadir dalam wujud baru: kolaborasi ilmiah lintas disiplin dan lintas sektor. KSTI bisa menjadi ruang bagi mahasiswa teknik dan sosial, ekonomi dan pertanian, kesehatan dan hukum, untuk duduk bersama merumuskan solusi atas problem riil masyarakat.

Menuju Ekosistem Riset yang Berdaulat
Di tengah tantangan global dan kompleksitas masalah domestik, kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan konvensional. KSTI 2025 harus menjadi momentum perubahan: dari kompetisi menuju kolaborasi, dari pameran menuju pemecahan masalah, dari laboratorium ke ruang akselerasi ekonomi bangsa.

Dengan visi ini, kampus bukan lagi menara gading, melainkan center of gravity pembangunan. Di sanalah benih-benih solusi lahir, ditumbuhkan, dan disebarluaskan. Dan KSTI bisa menjadi taman tempat benih-benih itu tumbuh menjadi pohon peradaban.(*)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry