Oleh: Suparto Wijoyo *

KABAR yang semula mengalun lirih itu kini  kencang terdengar kala saya  masih di manca negara. Kolega civitas akademika dari sebuah perguruan tinggi ternama di Bogor “diberi kelambu hukum” sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai intelektual. Seperkelindanan senior IPB memberikan lembar proses hukum yang dialami teman sejawat yang kerap menjadi saksi ahli maupun bersama-sama mendarmabaktikan ilmunya untuk memformulasi regulasi di Kementerian Lingkungan Hidup (yang sekarang: dan Kehutanan). Puluhan tahun waktu terlalui dengan pergumulan bersamanya di KLHK untuk menganalisis  kasus-kasus lingkungan di banyak daerah dari Sabang sampai Merauke. Kami sering beriring bersama dan atas itulah saya menyimak reputasinya.

Kesederhanaan laku dan terukurnya paparan-paparan ilmiahnya sangat berarti bagi saya dalam menuang ke dalam formulasi norma-norma yuridis hingga hadirnya berbagai peraturan perundang-undangan lingkungan  Indonesia yang dinilai banyak kalangan luar negeri, amat progresif dan solutif. Munculnya pewartaan kolega dosen yang menjalankan mandat akademik selaku intelektual profesional dalam jeratan hukum, mengingatkan saya pada siklus “kriminalisasi ulama” yang merambah ke arah “kriminalisasi akademisi”, atau “kriminalisasi saksi ahli”.

Sungguh situasinya menorehkan gelagat publik untuk memakna ulang arti negara hukum (rechtsstaat) yang bergulir ke arah negara kekuasaan (machtsstaat), boleh kekuasaan seseorang maupun korporasi yang merasa dirugikan meski telah mencederai janjinya agar tidak mengoyak tatanan eksostem Ibu Pertiwi, sebagaimana dituang dalam Amdal maupun perizinan lingkungan. Apa yang dilakonkan pemegang otoritas hukum mengalir menjadi daulat yang memaksakan hukum menjadi instrumen ketakutan.  Hukum dijadikan gelanggang adu kuasa, bahkan antarwarga diberi karpet merah untuk bersengkarut dalam rubrikasi “saling lapor”. Apakah memang sedemikian ini adanya?

Berdasarkan Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terdapat jaminan perlindungan akademisi dalam menjalankan tugas keprofesionalannya dengan diberi ruang: kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Bahkan sanksi hukum dibebankan kepada siapa  yang membatasi hak-hak itu, termasuk pelarangan perbuatan yang dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas (tidak memberi jam mengajar misalnya). Hasil analisis kaum akademisi silakan dilawan dengan penyajian argumentasi dari kajian ilmiah, bukan dengan ujaran kebencian (mengkriminalisasi). Di sinilah akan ada tahapan falsifikasi maupun sekadar klarifikasi (tabayyun) yang menguji keabsahan analisis akademik.

Pandangan akademik yang digiring memasuki ruang kriminal merupakan wujud genderang perang membombardir dunia kampus. Paling tidak ini adalah derap langkah untuk membunyikan lonceng kematian kaum intelektual yang memilih jalan tidak mau menjadi “antektual”. Inilah peneguhan posisi moral akademisi biar tetap berintegritas untuk menjadi permenungan para penyelenggara negara. Pasal-pasal hukum  kadang-kadang tidak terlihat  menuangkan aspek yang bisa menjangkau esensi kaidah moral dan suara sayup keadilan lingkungan. Moralitas  mengajarkan kepatutan dan keadilan yang berada dalam wilayah “rasa hukum”, bukan “frasa hukum”.

Hukum  secara konseptual memang membangun konstruksi  kepentingan siapa saja hingga setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbincangkan hukum, tetapi tidak semuanya mempunyai otoritas membuat keputusan hukum. Bahwa proses peradilan yang bertumpu pada kesaksian ahli atau mengabaikannya, adalah sebuah tontonan yang sangat suprematif bagi hakim dalam mengukuhi arti akademisi.

Inilah titik di mana hukum dalam realitasnya semakna etika akademik, tidaklah lazim mendudukkan “brahmana kampus” sebagai pesakitan atas ilmunya. Pada lingkup ini langit penegakan hukum lingkungan menorehkan labirin hukum yang membuat jutaan guru dan dosen berdegup dalam waspada.

Para pengadil layak bertanggung jawab terhadap paradigma dan praktik hukum yang mendistorsi substrat moral dan keadilan. Sebagai kompleks kaidah, kata DHM Meuwissen, hukum bukanlah gejala netral, hukum ada dalam atmosfer sosial yang sarat interest.  Hukum jelas bukan bejana kosong.  Kelas-kelas pembelajaran  hukum tidak boleh hanya sibuk mendeskripsikan pasal-pasal dan ayat-ayat secara literal dengan mencampakkan kadar ideologisnya, termasuk yang tertuang di UU Lingkungan Hidup (UU No 32 Tahun 2009).

Pengadil “kriminalisisi akademisi” tidaklah elok membuat “tarian hukum” tanpa gendang keilmuan. Penegak hukum niscaya memahami untuk menghadirkan hukum  yang memanggul  rasa keadilan kaum intelektual pembela Ibu Pertiwi biar tetap bersih dari tindakan “penistaan ekologis”.   Apabila hal ini  tidak dianggap,  percayalah bahwa rakyat  tetap akan lapang dada, karena bangsa ini telah dianugerahi petatah-petitih hidup sabar  Gusti Allah mboten sare.

Tuhan tidak pernah tidur dan rakyat tidak pernah terlelap untuk mengadukan nasibnya. Sambil menunggu proses hukum selanjutnya di hari-hari mendatang, marilah menghibur diri dengan menyimak kembali cerita legendaris Arabian Nights berdasarkan Naskah Suriah abad ke-14, Kisah Seribu Satu Malam. Untuk dapat bertahan hidup dari tindakan dendam Raja Syahrayar, Putri Syahrazad selalu mendongeng dengan kisah yang menawan hati Sang Raja, bahkan menghibur dirinya sendiri, sehingga penderitaan itu didongengkan dalam kebahagiaan.

Namun kita ini hidup di negara hukum, bukan di kerumunan pendendam hukum, apalagi negeri dongeng? Pun tahun 1972, Paulo Freire menulis buku saku Pedagogy of The Oppressed yang mengulas Pendidikan Kaum Tertindas yang  berintikan pembebasan kesadaran atau dialogika yang merefleksikan jalan pembebasan manusia. Kepadamu Paulo Freire, saya mengadu di tahun 2018 ini, di Indonesia, ada akademisi yang tengah ditindas dengan beragam kisahnya.

* Kolomnis Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 ‘Menggugat’ Proses Hukum Dr Basuki Wasis

Artikel di atas adalah tanggapan atas proses hukum terhadap Dr Ir Basuki Wasis MS, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga ahli perhitungan kerugian dampak lingkungan. Dia digugat Gubernur Sulawesi Tenggara non-aktif Nur Alam. Basuki Wasis diminta KPK menjadi saksi ahli dalam perkara korupsi Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) dengan terdakwa Nur Alam.

Dalam perkara ini, Nur Alam pada 28 Maret 2018 sudah divonis 12 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban bayar uang pengganti Rp2,7 miliar dan pencabutan hak politik 5 tahun setelah Nur Alam selesai menjalani hukumannya. Sebab, dia dinilai terbukti melakukan korupsi dengan memberikan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi yang merugikan negara Rp1,59 triliun serta menerima gratifikasi Rp40,268 miliar.

Namun, Majelis hakim menolak tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan perbuatan Nur Alam merugikan negara Rp4,325 triliun yang berasal dari kerugian ekologis Rp2,738 triliun (hasil perhitungan ahli Dr Basuki Wasis), sebagaimana Laporan Perhitungan Kerugian Akibat Kerusakan Tanah dan Lingkungan Akibat Pertambangan PT AHB Kabupaten Buton dan Bombana yang terdiri atas biaya kerugian ekologis Rp1,45 triliun, biaya kerugian ekonomi Rp1,24 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp31 miliar.

Hakim hanya menyetujui pendapat ahli Agus Setiawan yang mengatakan hilangnya kekayaan negara berupa nikel ore 9.311.847 wmt sebagai akibat kegiatan pertambangan PT AHB. Jumlah itu meliputi nikel ore yang telah terjual 7.161.090 wmt dan yang belum terjual (persediaan nikel) 2.078.235 wmt sehingga kerugian keuangan negara atas hilangnya kekayaan negara berupa nikel ore yang telah terjual 7.161.090 wmt atau senilai Rp1,593 triliun yang merupakan keuntungan PT Billy Indonesia. redaksi

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry