JAKARTA | duta.co – Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Dr Ismail Rumadhan MH membuat catatan menarik menanggapi keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak menfasilitasi pemaparan visi-misi dan memberikan bocoran materi debat.

“Keputusan Ketua KPU ini tentu patut diduga bahwa KPU tidak paham tentang aturan hukum terutama terkait UU Pemilu,” demikian Dr Ismail Rumadhan MH sebagaimana dikutip media, Rabu (9/1/2019).

Seperti diberitakan, penyampaian visi-misi jelang debat perdana Pilpres 2019 yang semula dijadwalkan 9 Januari 2019, dipastikan tidak berjalan. Ketua KPU Arief Budiman, mengatakan, keputusan ini diambil pada Jumat (4/1) malam usai rapat dengan tim pemenangan dari masing-masing pasangan calon.

“Soal sosialisasi visi misi, tadi malam sudah diputuskan. Silahkan dilaksanakan sendiri-sendiri. Tempat dan waktu mereka yang tentukan sendiri. Jadi tidak lagi difasilitasi oleh KPU,” kata Arief.

KPU Lalai Menjalan Perintah UU

Padahal, menurut Dr Ismail, Pasal 274 ayat (2) UU Pemilu menyebutkan bahwa “Dalam rangka pendidikan politik, KPU wajib memfasilitasi penyebarluasan materi kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi visi, misi, dan program Pasangan Calon melalui laman KPU dan lembaga penyiaran publik”.

“Apa makna dari ketentuan tersebut diatas ? Bahwa ketentuan tersebut secara jelas meyebutkan bahwa fasilitasi yang dilakukan oleh KPU terhadap kedua paslon dalam penyampaian visi dan misi adalah sesuatu yang wajib,” tulisnya.

Jika KPU tidak melaksanakan atau tidak memfasilitasi penyampaian visi dan misi yang sudah terjadwal tanggal 9 Janiari 2019 ini, jelas Dr Ismail, maka dapat dikatakan KPU lalai menjalankan perintah UU.

Hal yang terpenting dari penyampaian visi dan misi kedua paslon ini adalah selain karna amanat UU dan terlebih lagi adalah hak masyarakat untuk ingin mengetahui sejauh mana visi dan misi dari kedua paslon untuk membangun dan mengelola republik ini.

“Lebih-lebih lagi kondisi ekonomi dan penegakan hukum saat ini yang kurang menggembirakan. Masyarakat berpandangan bahwa penegakan hukum di pemerintahan Pak Jokowi kurang berjalan dengan baik,” tambahnya.

Dalam perspektif ekonomi, terutama terhadap paslon nomor urut satu sebagai petahana, perlu dijelaskan kepada publik secara nasional, bagaimana kondisi ekonomi saat ini yang pada awalnya memberikan janji manis kepada masyarakat bahwa pentumbuhan ekenomo di 2018 dan 2019 sebesar 8 persen, namun kini hanya berkisar pada angka 5%.

Begitu  juga dengan janji pak Jokowi bahwa jika terpilih menjadi presiden dollar akan turun dari Rp 12.000 sebelum menjadi presiden ke Rp 10.000 jika terpilih. Sekarang malah dollar memantapkan diri di kisaran Rp 14.000 sampai Rp 15.000.

“Hal lain yang perlu untuk dijelaskan kepada rakyat adalah kondisi utang negara saat ini. Selama masa pemerintahan Jokowi, utang baru tercipta sebesar Rp 3.200 triliun. Angka yang lebih besar dua kali dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya,” ujarnya.

Selain itu, tegasnya, Jokowi juga perlu menjelaskan bagaimana manajemen pengelolaan utang negara yang terbilang sangat besar ini? Kemana saja uang itu dibelanjakan? Tentu harus dijawab oleh Pak Jokowi melalui penyampaian visi dan misinya.

Demikian juga dalam konteks penegakan hukum, yang tidak mencerminkan adanya rasa keadilan masyarakat. Proses penegakan hukum korupsi yang masih terkesan tebang pilih. Hukum terkesan hanya digunakan sebagai alat politik, dan lain-lain.

Wajar Kalau Digugat

Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tentu ingin mengetahui bagaimana visi dan misi paslon untuk memperbaiki dan menata kembali kondisi ekonomi maupun kondisi hukum negara ini ke arah yang lebih baik. Penegakan hukum yang sesuai dengan amanat dan harapan masyarakat, sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara.

Dari penyampaian visi misi inilah masyakat akan menentukan pilihannya kepada siapa rakyat akan menjatuhkan pilihan politiknya. Oleh karena itu, Perlu ditegaskan kembali  bahwa jika penyampaian visi dan misi paslon ditiadakan maka dapat dikatakan KPU telah salah memahami perintah UU tentang Pemilu. Jika visi misi tidak dilaksanakan, maka sebaiknya debat juga ditiadakan saja. Toh, debat  capres cawapres adalah pengembangan dari visi dan misi cawapres.

“KPU seharusnya memahami posisinya sebagai lembaga yang independent. Tugas KPU hanya menjalankan amanat rakyat susai perintah UU. KPU bukan dalam posisi menafsirkan UU atau membuat aturan hukum tidak jelas,” kritiknya.

Jika KPU tidak independent, bila KPU tidak jujur dalam melaksanakan tugasnya, maka sangat beralasan bila ada warga masyarakat yang hendak menggugat eksistensi KPU. “Sebab tidak menjalankan fungsinya untuk mengatur jalannya proses pemilu yang jujur, adil dan demokratis,” demikian Dr Ismail Rumadhan. (net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry