Tampak Menkum HAM Yasonna Laoly saat berada di wilayah Nusakambangan. (FT/RMOL)

JAKARTA | duta.co – Ternyata, tidak mudah untuk bersih-bersih koruptor. Buktinya, pengesahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 20/2018 di mana salah satu isinya melarang eks napi korupsi maju pemilihan legislative, menuai banyak protes. Lucunya, yang meradang dengan peraturan itu justru pemerintah dan DPR.

Komisi II DPR mewacanakan pansus hak angket terhadap KPU. Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) sudah mempersilakan wacana itu.  “Kalau memang ada wacana mendorong hak angket atas keputusan KPU mengeluarkan PKPU, ya tentu harus melalui mekanisme yang ada. Di mana sekurang-kurangnya didukung 2 fraksi dan minimal 25 anggota,” ujar Bamsoet di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/7/2018).

Jika benar terjadi, ya mesti kalah KPU.  Apalagi asalan DPR lebih serius, bertabrakan dengan UU Pemilu sendiri. UU Nomor 7/2017 pasal 240 huruf g menyatakan seorang eks napi bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif jika secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa dirinya mantan terpidana.

“Tapi yang pasti yang saya ketahui memang Komisi II dan sebagai sikap DPR keberatan atau tak setuju dengan keputusan KPU mengeluarkan PKPU di mana ada dugaan pelanggaran, ketentuan UU terutama yang berkaitan larangan mantan terpidana korupsi dicaleg-kan,” ucap Bamsoet.

Meski tidak langsung menolak, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto juga setali tiga uang. Ia menyatakan, partainya mengutamakan orang yang bersih dan berintegritas dalam Pemilu 2019. Hal ini terkait PKPU yang melarang mantan napi koruptor maju sebagai caleg.

“Kalau di Partai Golkar itu bukan hal yang diutamakan (soal larangan mantan narapidana nyaleg), Partai Golkar kan utamakan bersih dan integritas. Jadi kalau kita lihat dalam pelatihan fungsionaris ya kita lihat semua punya track record masing-masing jadi saya pikir itu,” kata Airlangga di depan Ketua Bawaslu Abhan di DPP Partai Golkar, Jalan Angrek Nelly, Jakarta Barat, Selasa (2/7/2018).

Menkumham Yasonna Laoly juga demikian, menolak mengundangkan PKPU ini, lantaran adanya norma terkait pelarangan calon legislatif (caleg) dari mantan narapidana korupsi. Padahal, penolakan ini mestinya tak perlu apalagi kalau menggunakan alasan sedang memperbaiki sistem perundangan-undangan.

Menjadi ironi, memang, kalau mantan koruptor diperbolehkan menyalonkan lagi. Itu sama saja dengan membuka peluang yang sama. Begitu juga alasan agar rakyat yang menentukan, alasan ini rasanya jauh dari panggang, sebab benteng pemilih masih mudah dijebol dengan duit.   (rmol, dtc)
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry