Cawapres Sandiaga S Uno dan tim kuasa hukum pasangan Capres-Cawapres 02. (FT/IST)

JAKARTA | duta.co – Media sosial, Selasa (25/6/2019) viral dengan bocoran rapat tertutup hakim MK (Mahkamah Konstitusi). Ini beredar di kubu Prabowo-Sandi maupun grup-grup netral. Kalimatnya pendek: “Info valid dari dalam MK.  Ternyata 4 hakim setuju diskualifikasi pasangan 01, 3 hakim menyatakan tidak ada kecurangan, 2 hakim pemilu ulang di sejumlah tempat.”

Kabar ini, jelas, tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tetapi, membaca keterangan pers Kuasa Hukum Pemohon (Prabowo-Sandi), Selasa 25 Juni 2019, rasanya sulit bagi hakim MK untuk membenarkan ketetapan KPU.

Posisi Kiai Ma’ruf Amin yang tidak melepas jabatan di anak perusahaan BUMN, jelas menimbulkan masalah serius. “Jika sampai MK memenangkan KPU, membenarkan seorang pejabat di anak perusahaan BUMN berpolitik praktis, sama saja dengan memberangus kewenangan KPK dan BPK di lembaga tersebut,” demikian sumber duta.co.

PRESS RELEASE

Belum lagi kalau kita membaca PRESS RELEASE kuasa hukum Paslon 02, Prabowo-Sandi berjudul PRINSIP “ FOR THE TRUTH & JUSTICE” DAN KEMULIAAN MAHKAMAH KONSTITUSI DIPERTARUHKAN!.

“Kami, kuasa hukum Prabowo-Sandi dan rakyat Indonesia berharap MK mempertegas kemuliaannya melalui putusannya tanggal 27 Juni 2019. Yakni sebuah putusan yang berlandasakan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan (the truth and justice) sesuai dengan kesepakatan bansa dan mandat konstitusi dimana MK terikat pada UUD 1945 (periksa pasal 22E ayat 1 UUD 1945),” demikian release yang disertai nama Dr. Bambang Widjojanto, Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Teuku Nasrullah, S.H., M.H. TM. Luthfi Yazid, S.H., LL.M. Iwan Satriawan, S.H., M.CL., Ph.D. Iskandar Sonhadji, S.H. Dorel Almir, S.H., M.Kn. dan Zulfadli, S.H.

Kedua, tulisnya, MK harus menegakkan kebenaran dan keadilan secara utuh. Jika tidak, maka keputusan MK akan kehilangan legitimasi, karena tidak ada public trust di dalamnya. Akibatnya lebih jauh, bukan hanya tidak ada public trust, namun juga tidak akan ada public endorsement pada  pemerintahan yang akan berjalan;

Ketiga, Satu saja unsur yang menjadi landasan atau rujukan keputusan  MK mengandung unsur kebohongan (terkait intergritas) dan kesalahan (terkait profesionalitas), — misalnya dengan mempertimbangkan kesaksian ahli Prof Eddy Hiariej yang memberikan labelling buruk sebagai penjahat kemanusiaan kepada Le Duc Tho padahal Le Duc Tho (lahir di Nam Din Province pada 10 Oktober 1911) adalah Nobel Prize for Peace pada tahun 1973 meski ia akhirnya menolaknya — maka keputusan MK menjadi invalid;

Keempat, Kesaksian Prof. Jazwar Koto, PhD (saksi ahli 02) dalam persidangan tentang adanya angka penggelembungan 22 juta yang ia jelaskan secara saintifik berdasarkan digital forensic sama sekali tidak dideligitimasi oleh Termohon/KPU maupun Terkait/Paslon 01. Yang dipersoalkan terhadap Prof Jazwar Koto hanyalah soal sertifikat keahlian, padahal ia telah menulis 20 buku, 200 jurnal internasional, pemegang hak patent (patent holder), penemu dan pemberi sertifikat finger print dan eye print, serta menjadi Direktur IT di sebuah perusahaan  yang disegani di Jepang.

KPU Tidak Membantah

Kelima, Terkait dengan kesaksian ahli Prof Jazwar Koto di persidangan yang tidak dibantah itu, dapat dibayangkan, jika mekanisme pembuktiannya dilakukan secara manual, mengadu C1 dengan C1 sungguh akan sangat membutuhkan waktu yang lama. Katakanlah pengecekan C1 dengan C1 membutuhkan waktu 1 menit sekali pengecekan, maka pengecekan tersebut akan memakan waktu sekitar 365 tahun dengan asumsi pemilihnya sekitar 192 juta pemilih. Atau kalau pengecekannya didasarkan per TPS ( dengan asumsi jumlah TPS 813.330 TPS) dan waktu pengecekan setiap TPS memakan waktu 30 menit maka waktu yang dibutuhkan untuk pengecekan secara keseluruhan dapat memakan waktu sekitar 46 tahun lamanya.

Keenam, Bahwa berdasarkan keterangan saksi Idham Amiruddin telah ditemukan 22 juta DPT siluman dalam bentuk NIK Rekayasa, pemilih ganda dan pemilih di bawah umur. Pemohon telah berkali-kali mengajukan protes dan keberatan terhadap adanya DPT Siluman ini, namun Termohon tidak pernah melakukan perbaikan yang serius terhadap DPT bermasalah tersebut. Pemohon juga telah melaporkan soal DPT Siluman tersebut ke Bawaslu RI namun laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. Tidak jelasnya DPT, sebenarnya telah cukup menjadi alasan bagi majelis hakim MK untuk membatalkan pelaksanaan Pilpres 2019 sebagaimana MK telah membatalkan Pilkada Sampang dan Maluku Utara Tahun 2018 karena ketidakjelasan DPT;

Ketujuh, Tidak adanya jaminan keamanan dan kehandalan terhadap system perhitungan suara KPU. Hal ini sangat nampak dari pemaparan yang disampaikan oleh saksi ahli dari termohon (KPU) maupun dari pemaparan komisioner KPU sendiri yang senantiasa “ngeles” (istilah “ngeles melulu”  sempat juga diutarakan Majelis Hakim Suhartoyo dalam persidangan) ketika ditanya oleh Yang Mulia Hakim MK maupuan oleh pihak Pemohon perihal upaya-upaya perbaikan atau komparasi dalam rangka pembenahan system perhitungan suara di KPU, padahal UU ITE  Pasal 15 ayat 1 ditegaskan bahwa penyelenggara system informasi dan IT wajib memenuhi standar keamanan dan kehandalan.

Kedelapan, Setelah mendengar kesaksian Hairul Anas ( Anas 02)  dan mendengarkan keterangan saksi Anas Nasikin (Anas 01) ternyata tidak ada perbedaan.  Kesaksian Anas 02 telah dibenarkan dan diamini oleh saksi Anas Nasihin (Anas 01), diantaranya tentang power point yang berjudul “Kecurangan adalah Bagian Dari Demokrasi” beserta isi isi power point lainnya. Kedua, bahwa dalam acara TOT tersebut dihadiri oleh petahana, Presiden RI Joko Widodo, Kepala KSP Moeldoko, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Sekjen PDIP dan anggota DPR Hasto, komisioner KPU, Bawaslu RI dan DKPP.

Tak Ada C7

Kesembilan, Dalam persidangan juga terbukti, setelah dilakukan inzage/pemeriksaaan, ternyata Termohon tidak dapat membuktikan adanya C7 (daftar kehadiran). Ketidakadaan C7 sangat fatal terkait dengan kepastian atas hak pilih rakyat (daulat rakyat).  Oleh karena Termohon/KPU tidak sanggup menghadirkan C7, Pemohon berharap MK memerintahkan Termohon/KPU menghadirkan C7 sejalan dengan semangat judicial activism. Sebab itu, dengan tidak dapat dibuktikannya siapa yang hadir memberikan suaranya dalam pemungutan suara di TPS, maka muncul pertanyaan suara itu suara siapa? Siapa yang melakukan pencoblosan?

Kesepuluh, Bahwa terbukti juga sebagai fakta persidangan dimana Termohon/KPU membuat penetapan DPT (daftar Pemilih Tetap) tertanggal 21 Mei 2019, artinya penetapan KPU tersebut dibuat setelah Pemilu tanggal 17 April 2019.  Tentu, ini sesuatu yang sangat aneh !! (zal,rls)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry