
JAKARTA | duta.co – Belum disebut tanggalnya, tetapi jelas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bakal memeriksa (kembali) mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas pekan ini, Pemanggilan terkait dugaan korupsi kuota haji 2023-2024. Hal itu disampaikan Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (15/12/2025).
Pekan ini? Ya! Dia menyampaikan pekan lalu pihaknya telah mengirim surat pemanggilan pemeriksaan terhadap Yaqut. Artinya sudah bisa ditebak kapan? Apakah pemanggilan itu akan berlangsung (pekan ini) di hari Jumat 19 Desember 2025. “Kalau hari Jumat sedikit horor. Hari itu (KPK) lazimnya menjadikan hari keramat. Biasanya yang diperiksa, tidak kembali ke rumah. Waallahu’alam, semoga berjalan baik,” demikian seorang warganet menulis, Selasa (16/12/25) dini hari.
Awalnya wartawan mencoba mengorek kelanjutan kasus dugaan korupsi kuota haji 2023-2024. Apakah dalam waktu dekat akan dipanggil mantan Menteri Agama? “Ya, ditunggu saja. Saya, kami waktu itu, minggu lalu ya pengiriman suratnya. Kemungkinan di minggu ini,” kata Asep.
Namun, Asep belum dapat mengumumkan kepastian hari dan waktu pemanggilan Yaqut. “Kemungkinan di Minggu ini, kalau tidak salah ya,” tambah Asep.
Ini merupakan pemanggilan kedua kali Yaqut dalam tahap penyidikan kasus korupsi haji setelah sebelumnya diperiksa pada September 2025 lalu. Dalam perkara ini, KPK menduga terdapat penyelewengan dalam pembagian 20.000 kuota tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
Asep menjelaskan, berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sedangkan kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.
Dengan demikian, 20.000 kuota tambahan haji itu harusnya dibagi menjadi 18.400 atau setara 92 persen untuk haji reguler dan 1.600 atau setara 8 persen untuk haji khusus. Namun, dalam perjalanannya, aturan tersebut tidak dilakukan Kementerian Agama.
“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus. Jadi kan berbeda, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” imbuh dia.
KPK menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun. KPK pun sudah mencegah 3 orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
Merembet ke Subsidi Ongkos
Umat Islam dibuat ngelus dada. Bagaimana tidak, masih soal urusan haji, mestinya adil dan bersih. Ternyatam belepotan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis ikhtisar hasil pemeriksaan semester I (IHPS I) pada 2025. Ada 4.541 jemaah haji periode 2024 tidak berhak menerima subsidi untuk pejalanan dari pemerintah.
Juru bicara KPK Budi Prasetyo pun mengatakan, data itu akan dianalisis penyidik untuk dikaitkan dengan kasus dugaan korupsi dalam penyelenggaraan dan pembagian kuota haji di Kementerian Agama (Kemenag). Di sisi lain, KPK masih menunggu BPK menyelesaikan penghitungan kerugian negara atas kasus ini. Ajur!
“Jika memang itu terkait dengan perkara dan bisa menjadi pengayaan bagi penyidik untuk melengkapi data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penanganan perkara ini, ya tentu itu menjadi positif,” kata Budi melalui keterangan tertulis, Sabtu, 13 Desember 2025 seperti diunggah mediaindonesia.com.
Dalam data BPK, Kementerian Agama (Kemenag) era eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tidak mengikuti aturan yang berlaku dalam melakukan pengisian kuota jemaah haji periode 1445 hijriah atau 2024. Tercatat, ada 61 jemaah yang bisa melaksanakan haji, padahal sudah jalan ibadah dalam 10 tahun terakhir. Kemudian, ada 971 jemaah haji bisa berangkat ibadah, padahal tidak memenuhi syarat perjalanan haji yang berlaku pada 2024. Data itu membuat adanya jemaah haji yang seharusnya berangkat menjadi tertunda, dan membebani keuangan haji pada 2024.
Budi enggan memerinci langkah penyidik dalam melakukan pendalaman atas temuan BPK. Hingga kini, belum ada tersangka yang ditetapkan penyidik atas perkara ini “Ya, terkait dengan pengumuman pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara kuota haji, kita sama-sama tunggu. Ini masih terus berproses,” terang Budi sambil menjelaskan dalam kasus korupsi ini adalah karena adanya pembagian kuota yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Indonesia sejatinya diberikan 20 ribu tambahan kuota untuk mempercepat antrean haji. (net)





































