
“Ramadan akhirnya pada suatu titik kosmologisnya tiba di bentang Idulfitri, 1 Syawal 1446 H. Kota-kota ngudoroso (curhat) atas realitas dirinya. Bukan sebagai rumah tinggal, tetapi sekilas kos-kosan. Itu bagi urban, dan ini bukan dimaksudkan untuk yang warga “pribumi perkotaan”.”
OlehSuparto Wijoyo*
BERIBU-RIBU kendaraan dicatat meninggalkan Jakarta dan Jawa Timur siap menyambut kehadiran berpuluh juta orang. Bahkan terdapat pekabaran lagi yang memberikan data lebih dari itu. Jutaan orang dengan kendaraannya meninggalkan metropolitan menuju perkampungan. Kini tambah satu lagi, kendaraan para pembaca yang belum disensus. Sungguh in sebuah pergerakan kolosal, dramatis dan unik. Berjuta-juta orang bisa menggelombangkan diri keluar dari metropolitan untuk bersarang kembali ke segmen geografis asal kelahiran. Kota-kota sontak terbidik lengang dari biasanya. Kota-kota itu merasakan piluhnya ditinggal penghuninya. Kota yang sehari-hari menemani, diyakini menjadi ladang mencari nafkah, sontak warganya berpaling ke desa. Ini adalah untaian ironi yang menimpa kota. Jalanan Surabaya sebelum saya beranjak mudik tampak ramai. Saat berangkat di Sabtu-Minggu (29-30 Maret 2025) untuk mengucap salam keberangkatan ke kampung halaman depan kehidupan, hati ini terbayang wajahnya. Wajah kota yang selalu riuh nan ceria menjadi terasa dingin, anyep, tergambar nelongso. Seolah kota ini berbisik “kalian sedemikian tega”. Tapi cepat-cepat saya berikan tanda: “kami kan kembali.” Langsung sukma perkotaan untuk berbinar sumringah.
Sementara itu jalanan ke luar kota menunjukkan dirinya sedang berpesta. Orang, barang dan jasa semliwer (hilir-mudik) melintas dan senyum mengembang dari raut muka pelintasnya. Rasa letih tiada dihiraukan, ngantuk dihalau, dan penat tetap diabaikan demi mencapai “tanah tumpah darah”. Inilah cermin besar bahwa kota hanyalah tempat persinggahan yang nisbi, sementara pedesaan adalah lambang 2 keabadian dan cawan kerinduan. Hati manusia itu dibuncahkan tentang memori masa lalunya untuk dikonstruksi menjadi ingatan masa depan. Desa sudah terlalu lama menanti para pemudik yang dianggapnya sebagai “anak-anak zaman yang hilang”. Serentak seluruh desa di Nusantara menggemakan gelora batin warganya. Tanda syukur dikomat-kamitkan. Perputaran cerita, dongeng-dongen dan kisah-kisah kehebatan kehidupan kota ditumpahkan sepenuhnya. Juga membanjirnya “air bah keuangan” dari kota ke desa.
Kisahnya dapat berjilid-jilid. Oleh-oleh dari kota dinikmati bersama sambil melingkarkan jiwa-raga. Kegagalan jarang dituturkan, kemenangan acapk kali diulangulang narasinya. Kawan sekampung yang rajin ke sawah-ladang setia membersamai guna mendapatkan karomah petualangan kerabatnya di kota. Itu menjadi kenangan yang terpatri dalam memori peradaban saya. Alur ceritanya nyaris setarikan nafas membaca Alfu Lailah wa Lailah sebuah kitab Hikayat 1001 Malam yang sangat populer itu. Saya membaca kitab ini dari beragam versi yang berlidi-jilid jumlahnya. Selalu asyik-mansyuk. Kisah yang tidak lekang oleh deret waktu. Abadi.
Ramadan akhirnya pada suatu titik kosmologisnya tiba di bentang Idulfitri, 1 Syawal 1446 H. Kota-kota ngudoroso (curhat) atas realitas dirinya. Bukan sebagai rumah tinggal, tetapi sekilas kos-kosan. Itu bagi urban, dan ini bukan dimaksudkan untuk yang warga “pribumi perkotaan”. Begitulah adanya. Sekarang semua tahu bahwa kota-kota tengah memamerkan auratnya. Kesepian. Apa yang sedang melanda “kota yang warganya banyak terserang rindu pulang kampung” ini? Adakah arah sejarah kota ini sedang terputus sejenak rotasi masanya dalam lingkup yang menggelisahkan? Warga kota merasakan sesak nafas kultural untuk menghelakan desah panjang guna merenungi jalan pengembaraan yang seolah gagal menemukan “tanah harapan”. Atau justru kota-kota sedang melakukan perawatan raga untuk sedikit rileks karena beban perkotaannya berkurang.
Tetaplah menyadari bahwa sebuah kota akan tegar menghadapi situasi ini apabila organ kota tidak diam seribu bahasa guna memberikan “pesan-pesan suci” jalan takdir kehidupan. Percayalah mereka akan kembali menemanimu. Pertanyaan yang segera menggelegak adalah: bagaimana wajah kota masa depan apabila pemudik membangun desanya? Tidakkah kota ini gemerlap tetapi kehilangan identitasnya dalam tingkatan yang memilukan? Lambat tapi pasti metropolitan semakin tergerus kepahlawanannya dalam mengenang karakter warganya, kalau tidak diingatkan bahwa 3 di kota inilah kalian menemukan “ruas jalan untuk bisa pulang”. Kebutuhan mudik bukankah telah menyertai dan menguasai hampir seluruh segmen kehidupan ke desa berasal dari kota?
Kota ini dan siapa saja yang memahami. Pada sini lain kota memang laksana “hamparan tanah kosong” yang penuh pengintai. Atau kota ini bagaikan lahan tidak bertuan yang sedang dikangkangi “penguasa di balik kelambu” modal. Pada segmen ini pandangan saya tertuju pada buku City of Thieves karya David Benioff (2008). Novelnya menyentak sekaligus menghibur dalam celoteh Kota Para Pencuri. Dus, mencermati persemaian kehidupan kota seperti membaca kisah “peti harta pusaka tua”. Tatanannya menyuguhkan “perebutan warisan” dengan gedung jangkung yang acap membusuk. Kondisi ini jelas menafikan cita dasar konsepsi kota berkelanjutan (sustainable city) yang terus diimplementasikan di banyak tempat. Ada pula prasangka bahwa metropolitan kerap dikepung para “gerombolan” yang tidak jelas “asal moyangnya”? Saat ini, yakinlah mudik ini menjadi pembelajaran bahwa kota adalah sebuah persinggahan. Tidak ada yang salah atas hal ini, karena duni ini pun persinggahan jua. Mohon maaf lahir batin. Selamat beridulfitri 1446 H.
*Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum., CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.