SURABAYA | duta.co – Sampai hari ini, Ahad (27/6/21) potongan video pendek, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Prof Dr KH Said Aqil Siradj, MA perihal (Alquran) surat al-Anbiya’ ayat 7, masih ramai di media sosial.
Bunyi ayat itu: wa ma arsalna qablaka illa rijalan nụḥii ilaihim fas’alu ahlaz-zikri in kuntum la ta’lamun.
Dalam video berdurasi 3:38 detik itu, menurut Kiai Said, bahkan dalam Alquran ada ayat yang sering dikutip para muballigh: fas’alu ahlaz-zikri in kuntum la ta’lamun. Tanyalah kamu kepada (sambil tertawa), para muballigh begini: Tanyalah kamu kepada para kiai, para ustad kalau kamu tidak mengerti, itu salah itu, itu salah itu.
“Silakan baca tafsir, tidak usah besar-besar, tafsir jalalain saja, itu artinya silakan kamu bertanya kepada Yahudi dan Kristen. Ahlaz zikri itu. Tanyalah kepada ahl zikr, siapa? al Yahudi, wan-Nasoro. Ini tafsir lho, tafsir jalalain,” jelasnya.
Apa artinya? Menurut Kiai Said, “Nabi atau Alquran membangun masyarakat Islam yang terbuka, yang toleran, yang mampu menerima kebenaran di mana pun,” jelas Kiai Said yang langsung mendapat tanggapan dari kiai muda asal Sunda, Jawa Barat.
KH Luthfi Bashori, menilai, jika benar pamahaman Kiai SAS (KH Said Aqil Siradj) seperti itu, maka, ini merupakan kebodohan yang berbahaya. Menurut Kiai Luthfi, ayat ini berkaitan dengan Kerasulan Nabi Muhammad SAW. Tatkala Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah, maka orang kafir Qurays ingkar atas kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Kemudian, jelasnya, Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk memberitahukan kepada orang-orang kafir itu: “Dan tidaklah Kami (Allah) mengutus sebelum engkau wahai Muhammad, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka”.
Di sini, jelas Kiai Luthfi, Allah SWT tidak hanya mengutus Nabi Muhammad SAW, tapi juga mengutus nabi-nabi terdahulu. Para nabi terdahulu itu juga punya umat-umat, seperti Nabi Musa AS, Nabi Isa AS. Di antara umat terdahulu itu, ada orang yang beriman kepada nabi-nabi tersebut.
“Maka tatkala Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW, sedangkan orang kafir Quraisy itu ingkar, maka Nabi Muhammad SAW diperintahkan oleh Allah untuk menanyakan kepada orang-orang kafir Quraisy itu, agar mereka belajar (kroscek) kepada ahlul kitab, yakni orang Yahudi dan Nasrani, yang mana mereka pernah mempelajari Taurat dan Injil tentang kerasulan Nabi Muhammad SAW,” tegasnya.
Lalu, tegasnya, para shahabat Nabi juga mengatakan: “Kami ini juga termasuk Ahluz zikri, yakni orang yang mengerti bahwa Nabi Muhammad SAW itu tersebut namanya di dalam kitab Taurat maupun kitab Injil.” Maka, para ulama itu mengatakan bahwasanya ahluz zikri itu adalah para ulama, yang ahli di bidangnya.
“Nah! Kalau sekarang ini ada orang yang mengatakan: “Kita umat Islam zaman sekarang, tidak perlu belajar kepada Kiai, ulama atau Ustad. Lalu dikatakan, dalam tafsir Jalalain tanya lah kepada tokoh-tokoh Yahudi dan Nasrani yang sekarang ini, maka, inilah kebodohan yang dipelihara. Menafsirkan Alquran dengan pendapatnya sendiri, maka, hendaklah dia menempati tempat duduknya di api neraka. Ini hadits Nabi,” tegasnya.
Masih menurut Kiai Luthfi, kita tidak boleh menta’wili atau menafsiri Alquran dengan pendapat sendiri. Misalnya, karena ada orang yang terlanjur asyik kepada orang kafir Yahudi dan Nasrani di zaman sekarang, akhirnya berani memaknai ayat tadi seenaknya, agar umat Islam tidak perlu lagi bertanya kepada ustad-ustad atau kiai-kiai kalau ada masalah agama, tapi hendaklah bertanya kepada para pendeta, dan bertanya kepada para rahib Yahudi, karena menurut dia, ini perintah Alquran, pakai dalil fas’alu ahlaz-zikri in kuntum la ta’lamun.
Kiai Luhtfi menegaskan, orang seperti ini, menta’wili atau menafsiri ayat Alquran dengan pendapat kepalanya sendiri, semau dia, padahal dalam penjelasan yang lebih detail yakni pada Hasyiyah tafsir Al Jalalain, yaitu kitab al Futuhat Ilahiyyah, menjelaskan bahwa bukan berarti sekarang ini kita umat Islam, harus bertanya kepada pendeta Kristen atau kepada rahib Yahudi, dan tidak perlu bertanya kepada ulama-ulama kita. “Tidak begitu maksudnya, karena pemahaman seperti ini, sama saja kebodohan yang dipelihara,” tegasnya.
Kiai muda yang sangat produktif dalam berdakwah, baik lisan maupun tulisan ini, kembali menegaskan tentang kandungan ayat fas’alu ahlaz-zikri in kuntum la ta’lamun. Fokus ayat ini ada pada fas’alu, bukan pada ahlaz-zikri. “Jangan dibelokkan, ini sngat berbahaya. Fokus pembahasan yang benar dalam ayat ini, itu bukan pada lafadz AHLUL KITAB, tapi pada lafadz FAS-ALU-nya” tegasnya.
Salah seorang warganet dari Jawa Tengah ikut berkomentar. “Ini bukan masalah sepele. Harus ada yang berani mengingatkan. Mustasyar PBNU seharusnya memanggil dan mengklarifikasinya,” tulis salah seorang netizen yang terpantau duta.co. (mky)