“Dua putusan PBNU itu layak dikoleksi. Ada tiga alasan. Pertama, peta gerakan dan wacana Islam Indonesia. Kedua, jejak dan riwayat peta jalan kerjasama NU dengan kelompok Yahudi. Ketiga, peta jalan dan bahasa kemanusiaan geopolitik internasional kontemporer.”
Oleh M Sholeh Basyari*
PASCA kunjungan lima aktifis NU ke Israel dan bertamu ke presiden Israel Issac Herzog, seperti sudah diduga, langkah pemecatan pasti diambil PBNU. Tapi, langkah ini layak dikoleksi. Sebab di samping karena PBNU terlalu dan selalu “ringan (tanda) tangan”, memecat sejumlah pengurus, kader dan aktivis NU, juga oleh karena lobby Yahudi adalah “mitra” strategis tidak saja bagi kaum Nahdliyyin bahkan secara substantif seperti digambarkan keunggulan nya oleh Qur’an.
Di samping pemecatan, PBNU juga mengeluarkan surat edaran bernomor 2020/PB.03/A.1.03.08/99/07/2024. Surat tersebut berisi penegasan larangan hubungan kerja sama dengan lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan Israel.
Dua langkah yang diambil PBNU itu layak dikoleksi setidaknya dengan melihat tiga hal ini. Pertama, peta gerakan dan wacana Islam Indonesia. Kedua, jejak dan riwayat peta jalan kerjasama NU dengan kelompok Yahudi. Ketiga, peta jalan dan bahasa kemanusiaan geopolitik internasional kontemporer
Roadmapp Gus Dur
Jejak langkah aktivis NU dengan kelompok Yahudi diawali dan didesign Gus Dur. Pertengahan tahun 1994, Gus Dur mengajak Habib Hirzin, ketua bidang hubungan luar negeri PP Muhammadiyah dan Johan Effendi, peneliti madya Kementerian Agama, berkunjung untuk membangun peta jalan kerjasama dengan Israel.
Langkah Gus Dur ini tentu saja memantik penyikapan yang mayoritas kontra terhadap langkah tersebut. Tak kurang menteri agama saat itu, Tarmizi Taher dan bekas menteri agama sekaligus Duta besar keliling gerakan non-blok, Alamsyah ratu prawira negara.
Langkah kontroversial Gus Dur itu, awalnya “hanya” didasarkan pada kebutuhan praktis dan taktis, serta bukan atas dasar strategi jangka panjang NU.
Kebutuhan praktis dan taktis yang dibangkai sebagai terobosan demi mengakses funding. Saat itu, di era ’90-an, adalah masa-masa berat bagi NU. NU hanya diberi akses sangat minim atas program-program pemerintah orde Baru. Nyaris hanya program keluarga berencana (KB), yang diberikan negara pada NU, sekaligus yang dibutuhkan negara dari NU.
Minimnya kontribusi orde Baru bagi NU, menyulitkan NU mengembangkan diri. Program, proyek dan aktivitas dakwah, pendidikan serta keumatan NU, stagnan. Sarana dan prasarana, juga infrastruktur kependidikan, kesehatan, perekonomian NU, jauh dari standar. NU tertatih-tatih.
Secara ekonomi, para kyai di Jatim dan Jateng yang sebelumnya menjadi “agen tunggal” untuk mendistribusikan tebu petani ke pabrik-pabrik gula, oleh orde Baru dialihkan ke para bleter di Madura atau ke para botoh di Mataraman.
Di samping dengan kelompok Yahudi, untuk mengatasi faktor finansial NU, Gus Dur juga melakukan terobosan dengan menggandeng bank Summa. Terobosan ini melahirkan BPR NU-Summa. Tetapi lembaga keuangan rintisan ini kurang prospek. Bahkan bank milik Edward Soeryadjaya ini, kolaps dan ditutup tahun 1992.
Sementara sebagai organisasi Islam, NU juga terpotong aksesnya ke Rabithah alam islami (RAI). RAI menunjuk M Natsir, tokoh yang dipandang Gus Dur sebagai mesin penggusur elit-elit NU dari Masyumi, sebagai “garantor” di Indonesia yang punya otoritas menentukan kepada organisasi apa dana-dana RAI digelontor?
Kebuntuan mengakses program pemerintah orde Baru dan terpotongnya akses ke RAI menuntut Gus Dur lebih kreatif. Kreativitas Gus Dur-lah yang membawanya masuk ke dalam jaringan lobby Yahudi. Suata langkah awalnya praktis dan taktis belaka, yang kemudian berubah menjadi langkah strategis.
Peta gerakan dan wacana Islam Indonesia
Secara gerakan, langkah Gus Dur mengubah channel ke jaringan lobby Yahudi, saat itu dan sekarang, menempatkan NU masuk jajaran elit kekuatan Islam tidak saja di Indonesia, bahkan di kalangan internasional. NU mendadak dan terus seksi.
Diskursus, riset, kajian dan diskusi tentang NU merebak memukau. Diskursus tentang NU tidak saja di Tebuireng atau di Menes, tetapi juga di Montreal, Melbourne, Oxford bahkan Harvard. Itu semua tidak pernah terjadi sebelumnya.
Diskursus, riset, kajian dan diskusi tentang NU merebak memukau. Diskursus tentang NU tidak saja di Tebuireng atau di Menes, tetapi juga di Montreal, Melbourne, Oxford bahkan Harvard. Itu semua tidak pernah terjadi sebelum Gus Dur berselancar ke Tel Aviv.
Progresifnya NU secara diskursus, seiring dengan gerak laju aliran “dana asing”. Dana-dana masuk, disambut dan diwadahi oleh para aktivis NU di jakarta (Lakpesdam), Jogja (LKiS), Surabaya (Elsad), bahkan di Malang, kita yang jejak aktivisnya minim.
Secara akademik, susahnya kader-kader NU masuk kampus di era orba, memaksa mereka untuk aktif di luar lembaga kampus. Merebaknya lusinan lembaga civil society yang dinahkodai aktivis NU, di samping sebagai shelter, reservoir, containment sekaligus housing bagi dana-dana tersebut, sekaligus untuk menjalankan misi akademik akibat tertolak masuk kampus reguler
Hal lain yang belum pernah terjadi adalah ketertarikan peneliti asing menjadikan NU sebagai obyek riset. Munculnya Greg Barton, Greg Faely, juga Janes J Fox dari Australia, Karel Steenbrink dan Martin Van Bruinessen dari Belanda, juga Mitsuo Nakamura dari jepang dan Andree Feillard Jerman maupun Douglas Ramage Amerika, adalah sisi lain dahsyatnya efek lobby Yahudi Gus Dur.
Secara peta gerakan dan wacana Islam, terobosan Gus Dur menempatkan NU berhasil merebut dan memenangkan pertarungan ini di Indonesia. Sebelumnya hampir sepanjang 32 tahun orde Baru, peta gerakan dan wacana Islam Indonesia dikendalikan oleh kalangan “kanan”.
Peta Jalan dan Bahasa Diplomasi Geopolitik Kontemporer
Sejatinya tidak banyak yang berubah dari geopolitik internasional kontemporer. Amerika dan sekutunya termasuk Israel masih kokoh sebagai pemain utama. Sementara Rusia, China , Iran dan Korea Utara, terus mengiringi gerak laju Amerika.
Konflik berkepanjangan Rusia Ukraina ataupun konflik abadi Israel Palestina, tidak cukup memadai untuk mengubah geopolitik yang ada.
Konsen kita idealnya bukan pada geopolitik internasional kontemporer, tetapi yang lebih mendesak adalah membangun konsepsi baru terkait bahasa kemanusiaan sebagai instrumen diplomasi antar komunitas.
Selama ini, masyarakat internasional bergantung pada konsepsi hukum hak asasi manusia (HAM), sebagai “paspor global”, yang relatif bisa diterima mayoritas bangsa dan komunitas internasional. Tetapi, konsepsi HAM tersebut tampak mandul, impoten dan tidak berdaya mengatasi masalah kemanusiaan akibat perang Israel Palestina maupun Rusia Ukraina.
Sekarang ini, yang menjadi kebutuhan mendesak masyarakat internasional kontemporer adalah segera menghadirkan konsepsi praktis yang bisa digunakan untuk memaksa Israel serta semua fihak yang melakukan kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity ), untuk mensterilkan kejahatan tersebut.
Penutup
Dengan sejumlah reasoning di atas, koreksi atas pemecatan PBNU terhadap lima aktifis NU itu, relevan. Justru dengan pemecatan dan keluarnya surat instruksi tersebut menandakan bergesernya peta gerakan dan wacana Islam NU, dari roadmapp Gus Dur beralih menuju ke kanan ke arah yang dibangun oleh M Natsir. (*)
Dr M Sholeh Basyari adalah Direktur Ekskutif Center Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS), Jakarta