PROSES SORTIR: Petani sedang melakukan sortir hasil panen kopi Satak yang hanya ada di lereng Gunung Kelud Kabupaten Kediri. (duta.co/dok ptpn XII)

KEDIRI | duta.co -Maraknya keberadaan warung kopi menjadikan tempat berkumpul komunitas, umum ataupun sekedar merasakan nikmatnya kopi, menjadi dasar PTPN XII Ngrangkah Pawon di Desa Sepawon Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri, terus melakukan pengembangan sejumlah varietas kopi pada lahan berada di Lereng Gunung Kelud.
Pihak manajemen, disampaikan Manager PTPN XII Ngrangkah Pawon, Yudi Kristanto dihadapan komunitas petani, pelaku bisnis, perwakilan pemerintah dan lembaga pembiayaan keberadaan kopi murni mampu menyehatkan badan dan tidak harus membayarnya dengan mahal.
Sempat diterpa Erupsi Gunung Kelud pada Tahun 2014, kini pembudidayaan kopi satak berangsur membaik dan kompetitif menembus pangsa pasar yang kian waktu beranjak mendunia karena rasanya yang berbeda.
Dijelaskan Manager PTPN XII Ngrangkah Pawon, sedikitnya terdapat 1.000 hektar lebih telah ditanami kopi satak, dengan mengajak warga desa di sekitarnya untuk merawat dengan baik.
“Kendala kami adalah pemasaran, meski saat ini kopi satak telah mendapatkan tempat bagi penyuka kopi dimanapun. Kami berkeinginan memiliki toko atau sekedar warung kopi di Kota Kediri, untuk mengembangkan usaha ini. Untuk sementara, kami melakukan penjualan hanya di Koperasi Robusta,” jelasnya, saat ditemui di ruang kerjanya.
Meski Kopi Satak kini telah menjadi primadona, namun dalam di dalam kebun juga memiliki beberapa produk unggulan. Antara lain, kopi robusta, kopi arabika, kopi luwak, dan tidak ketinggalan, kopi lanang. Memang, sejak Tahun 2011 silam, PTPN XII telah menggagas keberadaan kawasan agrowisata, dengan harapan bagian dari bentuk promosi serta edukasi bagi pengunjung.
Yudi Kristanto menambahkan bila sebelumnya kopi terkenal di perkebunannya adalah kopi luwak, harga per bungkusnya mencapai Rp 50.000, namun kini pemesanan terbanyak justru kopi satak.
“Berbeda dengan kopi lain yang dibuat dengan mesin, kopi satak ini dibuat oleh penduduk di Desa Sepawon dengan menggunakan peralatan tradisional. Proses pembuatannya, kami sediakan tempat di Afdeling Satak berada di Kecamatan Puncu,” jelasnya.
Setelah melalui proses produksi, selanjutnya hasil kopi bubuk ini setelah dikemas, dikirim ke kantor pusat Sepawon, untuk dipasarkan melalui koperasi.
“Kopi Satak ini sudah bisa dibawa pulang, hanya dengan harga Rp 15ribu per – bungkusnya dengan berat 750mg,” jelas Wakidi, Kepala Tata Usaha PTPN XII, dipercaya memasarkan segala bentuk hasil produksi. (nng)

 
 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry