
“Pertanyaan besar tertuju pada pemerintah. Sebagai regulator dan penjaga kepentingan konsumen sekaligus kelestarian alam, mereka sudah melakukan apa?”
Oleh: Edy Mulyadi, Jurnalis Senior
KONTROVERSI seputar sumber air Aqua yang meledak pada akhir Oktober 2025 bukan sekadar perdebatan viral di media sosial. Sidak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) ke pabrik Aqua di Subang membuka tabir besar. Air yang selama ini dipromosikan sebagai “murni dari pegunungan” ternyata diambil melalui sumur bor dalam. Fakta ini langsung memantik gelombang kritik tajam publik.
Ini bukan semata persoalan iklan menyesatkan. Kasus Aqua harus menjadi momentum krusial untuk menuntut akuntabilitas ekologis berkelanjutan dari industri air minum dalam kemasan (AMDK) yang kian rakus. Nilai pasar di 2022: Rp152 triliun ($10,24 miliar). Proyeksi pertumbuhan: Akan tumbuh 26,5% dalam lima tahun ke depan menjadi sekitar $12,95 miliar atau hampir Rp217 triliun! Angka fantastis ini menandakan bukan hanya peluang bisnis, tapi sekaligus ancaman serius bagi kelestarian alam jika dibiarkan tanpa pengawasan yang ketat.
Arogansi Aqua tampak jelas dalam cara mereka merespons kontroversi ini. Perusahaan di bawah naungan Danone Waters Indonesia itu mengklaim airnya berasal dari akuifer tertekan di lereng pegunungan dengan kedalaman 60–140 meter. Namun, selama puluhan tahun iklan mereka membangun imajinasi publik seolah air itu mengalir dari mata air permukaan. Jernih, alami, dan menyegarkan.
Klarifikasi resmi Danone pada 24 Oktober 2025 justru memperlihatkan kesombongan itu. Bukannya meminta maaf, mereka malah berdalih bahwa pernyataan karyawan tentang “sumur bor” tidak lengkap. Lebih ironis lagi, Aqua justru meminta Gubernur Dedi Mulyadi untuk mengklarifikasi tudingan tersebut. Seakan beban pembuktian ada pada pemerintah, bukan pada perusahaan.
Arogansi korporasi
Sikap seperti ini mencerminkan arogansi korporasi yang merasa kebal hukum dan kritik. Sejak berdiri pada 1973, Aqua telah menguasai 45–50 persen pangsa pasar nasional.
Dominasi yang panjang rupanya menumbuhkan rasa superioritas. Padahal laporan warga di sekitar pabrik menunjukkan dampak nyata. Kekeringan di beberapa desa akibat ekstraksi air berlebih.
Di platform X (Twitter), publik ramai menyoroti paradoks ini. Bagaimana “seteguk kesegaran Aqua” menyebabkan kekeringan melanda desa. Kalimat itu mewakili kekecewaan yang mengendap lama. Tentang kemarahan akibat korporasi raksasa yang meneguk keuntungan miliaran dolar dari sumber kehidupan rakyat kecil.
Arogansi itu tidak berhenti pada Aqua. Produsen AMDK besar lain seperti Le Minerale, Quavit, Nestle Pure Life, hingga Cleo juga menggunakan metode serupa. Mengebor akuifer dalam secara massif. Hampir semua berlomba mengklaim produknya “alami”. Padahal yang terjadi adalah eksploitasi sumber air tanah besar-besaran tanpa transparansi publik.
Dampaknya mengerikan. Aqua saja mengklaim memproduksi lebih dari 13 miliar liter air per tahun. Ini setara sekitar 36 juta liter per hari! Angka itu berarti penyedotan air tanah secara brutal. Jika tidak diatur, ia menguras akuifer lebih cepat daripada kemampuan alam mengisinya kembali. Akibatnya, di beberapa wilayah seperti Subang dan Sukabumi, terjadi penurunan muka tanah (subsidence) hingga 10–15 sentimeter per tahun.
Lebih parah lagi, ekstraksi air tanah berlebihan juga memicu intrusi air asin di kawasan pesisi. Fenomena yang bisa merusak kualitas air tanah secara permanen. Celakanya, perusahaan justru mengklaim telah “mengembalikan tiga kali lipat volume air” lewat program konservasi. Padahal menurut WALHI, itu hanyalah bentuk greenwashing, karena air yang dikembalikan bukan ke akuifer yang sama.
Tak sedikit yang menduga, di balik hebohnya isu Aqua, ada aroma persaingan bisnis. Wajar saja. Pasca boikot tahun 2023–2024 akibat afiliasi Danone dengan isu genosida di Palestina, pangsa pasar Aqua turun dari 62,5 persen menjadi 57,2 persen. Momentum ini mungkin dimanfaatkan kompetitor untuk memukul balik.
Namun apapun motifnya, satu hal jelas: kepentingan publik kembali terabaikan. Konsumen dibohongi soal sumber air. Sementara alam menanggung dampaknya. Krisis air di Jawa Barat semakin parah. Curah hujan tak stabil memperburuk kekeringan, dan akuifer semakin sulit pulih.
Pemerintah ngapain aja?
Pertanyaan besar kini tertuju pada pemerintah. Sebagai regulator dan penjaga kepentingan konsumen sekaligus kelestarian alam, mereka sudah melakukan apa? Dengan lebih dari 4.700 izin pengambilan air tanah aktif di seluruh Indonesia, mestinya pengawasan dilakukan secara ketat dan berkala. Kuat diduga, Kementerian ESDM dan KLHK menerbitkan Surat Izin Pengambilan Air (SIPA) tanpa audit lapangan yang serius.
DPR melalui Komisi VI memang memanggil manajemen Aqua untuk hearing, tapi hasilnya nihil. Semua terasa seperti formalitas belaka. Di mana tanggung jawab negara melindungi akuifer sebagai aset nasional?
Padahal, regulasi sudah jelas. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8/1999 dan SNI 3553:2015 mengatur standar mutu dan kejujuran label produk. Tapi implementasinya lemah. Pemerintah tampak lebih sibuk menjaga penerimaan pajak industri ketimbang menjaga keberlanjutan lingkungan hidup 280 juta rakyatnya.
Artikel ini bukan sekadar kritik. Ini seruan moral sekaligus advokasi untuk kepentingan publik. Rakyat harus menuntut transparansi dan tanggung jawab perushaan pada lingkungan. Dorong boikot terhadap produk yang menipu. Dukung audit independen oleh LSM lingkungan seperti WALHI. Juga jangan lupakan tekan pemerintah lewat petisi dan aksi nyata.
Barengi dengan solusi konkret. Pertama, revisi regulasi agar setiap label air minum mencantumkan secara jujur sumbernya. Misal, “air dari akuifer via sumur bor dalam.” Kedua, tetapkan batas ekstraksi berbasis data ilmiah dan pastikan pengawasan independen.
Ketiga, beri insentif bagi perusahaan yang benar-benar menerapkan model berkelanjutan. Tapi harus ada verifikasi independen atas klaim perusahaan sebelum insentif diberikan. Keempat, integrasikan isu air tanah ini ke agenda nasional perubahan iklim, termasuk pemantauan akuifer secara real-time oleh lembaga riset seperti BRIN.
Pada akhirnya, kontroversi Aqua sejatinya adalah panggilan untuk akuntabilitas ekologis berkelanjutan. Air adalah amanah Tuhan, bukan milik korporasi. Negara wajib menegakkan keadilan ekologis sebelum bumi menagih balas. Jangan biarkan keserakahan bisnis dan kelalaian pemerintah mengubah sumber kehidupan menjadi sumber kehancuran.
Setiap tetes air bukan sekadar komoditas. Ia adalah titipan Ilahi untuk menjaga kehidupan. Dan ketika air pun dikuasai korporasi, maka sesungguhnya yang terancam adalah kelestarian alam dan kemanusiaan kita sendiri. []
Jakarta, 4 November 2025





































