
SURABAYA | duta.co — Pelaksana Bimbingan Ibadah pada Sektor Bir Ali, Moh Khusen, menjelaskan bahwa untuk keamanan dan kenyamanan, jemaah lanjut usia dan risiko tinggi faktor kesehatan diminta tetap tinggal di bis.
Ia akan membimbing jemaah tersebut melafadzkan niat, tanpa harus turun di kompleks Bir Ali. Jemaah yang sehat dan bukan lansia, umumnya turun, untuk berwudhu dan melaksanakan salat sunat di Masjid Miqat, Bir Ali.
“Pertama kami mengikuti SOP yang ada. SOP pelayanan di Bir Ali, khususnya di poin ketiga itu memang ada standar untuk mempersilakan jemaah yang sakit, tidak kuat jalan jauh, lansia, risti untuk tetap di dalam bis. Kecuali yang sehat dipersilakan turun menuju masjid di dalam,” jelasnya Senin (13/5/2025) sebagaimana diunggah kemenag.go.id.
Menurut Moh Khusen, jemaah haji Indonesia sudah mengenakan pakaian ihram saat berangkat dari hotel di Madinah. Artinya, mereka sudah mandi ihram, mandi taubat, salat taubat, dan atau salat ihram. Ketika di Bir Ali, jemaah dapat melafazkan niat dari bis, tanpa harus turun.
“Nah, tentu layanan ibadah yang kami berikan khususnya untuk yang tadi tinggal di bis, itu terus kami koordinasikan. Di setiap bis yang di situ ada lansia yang sakit, yang tidak turun, kami datangi. Kemudian kami ajak bersama-sama untuk mempersiapkan diri, berniat dimulai dari memperhatikan pakaian ihram yang dikenakan, baik untuk bapak maupun ibu, kita cek satu per satu. Lalu kami bimbing melakukan niat umroh di dalam bis itu,” jelasnya.
Masih kata Moh. Khusen, ia akan berkoordinasi dengan pimpinan rombongan dalam bis, memastikan sudah belumnya jemaah yang turun dari bis melafalkan niat ihram, seusai salat di masjid. “Kalau sudah, maka selesai, mereka siap berangkat karena yang tinggal dalam bis itu sudah saya bimbing. Kalau ternyata belum atau tidak jelas, maka saya langsung tanya ke pimpinannya untuk saya tawarkan untuk dibimbing untuk bersama-sama,” imbuhnya.
Seperti kita tahu, Bir Ali, Sumur Ali, atau Zul Khulaifah, adalah miqat makani bagi calon jemaah haji dari arah Madinah, sebelum menuju Makkah. Maka Bir Ali adalah tempat yang sangat penting dalam ritual haji. Tak heran jika jemaah haji Indonesia banyak yang mengharuskan diri untuk turun di Bir Ali, melaksanakan salat sunnah taubat dan salat ihram.
Lombok Menangis
Di media sosial tengah ramai soal kebijakan haji di Lombok. Seorang warganet menulis surat terbuka untuk Menteri Agama Nasaruddin Umar. Judulnya patut untuk didengar. “Menolak Haji Zalim: Mengenang KH Ali Yafie dan Tangisan Jamaah Lombok”. Lalu, tertulis jelas: Surat Terbuka Kepada Menteri Agama RI, KH Nasaruddin Umar.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang Terhormat KH Nasaruddin Umar. Menteri Agama Republik Indonesia.
“Surat ini kami tuliskan bukan karena kebencian, tapi karena cinta. Cinta kepada kemuliaan ibadah haji, cinta kepada amanah yang suci, dan cinta kepada rakyat kecil yang suaranya kerap hilang ditelan birokrasi. Kami ingin, kelak di Padang Mahsyar, tak ada di antara kita yang terpaku karena pernah diam melihat kezhaliman di hadapan mata,” tulisnya.
Pak Menteri, lanjutnya, Anda bukan sekadar pejabat negara. Anda adalah seorang ulama. Pernah berdiri di mimbar mulia Masjid Istiqlal, melanjutkan jejak para imam besar seperti Allahuyarham KH Ali Yafie — ulama agung yang hidupnya didedikasikan untuk membela kaum lemah, menegakkan keadilan, dan menjaga kesucian ibadah dari permainan kekuasaan.
“Hari ini Lombok menangis. Banyak calon jamaah haji yang sudah menunggu bertahun-tahun, sudah syukuran, mengundang tetangga, bahkan menyiapkan bekal akhirat. Tapi di saat-saat terakhir, nama mereka raib tanpa kejelasan, tanpa siapa pun yang bertanggung jawab,” tegasnya.
Menurutnya, ada seorang pedagang pasar di Barebali, Lombok Tengah, yang kini tak berani keluar rumah. Pingsan berulang kali karena malu dan kecewa. Bukan karena dia tak mampu, bukan karena dia tak layak — tapi karena sistem dan birokrasi haji yang semrawut, yang dipenuhi permainan kuasa.
“Di waktu yang sama, kursi-kursi suci itu diisi oleh orang-orang yang berkali-kali berangkat haji. Entah itu gubernur, bupati, kepala sekolah, atau tokoh lain, dengan berbagai label ‘petugas’ atau ‘penyerta’ yang seakan bisa dimanipulasi. Padahal aturan jelas: petugas haji tak boleh membawa mahrom, tak boleh ada nepotisme. Tapi faktanya, praktik seperti itu terus berjalan, seolah tak ada yang berani menertibkan,” demikian catatannya.
Dia juga melempar kritik: Apa kerja Kanwil? Apa kerja Kepala Kantor Kemenag Daerah? Kalau mereka tak mampu bersikap adil dan profesional, Pak Menteri punya otoritas untuk mencopot. Jangan biarkan birokrasi haji menjadi ladang transaksi jabatan, panggung politik, dan arena barter kuota. “Izinkan kami mengingatkan sabda Nabi Muhammad SAW: “Takutlah kalian terhadap doa orang yang dizalimi, karena tak ada hijab antara doa itu dan Allah,” urainya.
Di depan Ka’bah, ujarnya, air mata orang-orang yang terzalimi itu akan terbang ke langit, menyebut nama-nama para pelaku kezaliman, dan mengetuk pintu keadilan Ilahi. Apakah kita tega membiarkan itu terjadi? “Kami tidak ingin haji menjadi panggung kemunafikan. Kami ingin ibadah ini tetap suci. Tetap menjadi peristiwa spiritual yang memuliakan semua anak bangsa tanpa diskriminasi dan permainan kekuasaan,” gerutunya.
“Pak Menteri, sejarah akan mencatat. Kami berharap Anda tidak meninggalkan jejak buruk dalam pengelolaan haji. Jadilah penerus KH Ali Yafie yang lurus, tegas, dan berpihak kepada kebenaran,” harapnya.
Di akhir kata, ia tidak menulis nama, tetapi menulis: Dari Umat yang Terluka, Tapi Tak Akan Lupa. Lombok, 7 Mei 2025. “Sebarkan agar sampai di baca oleh Bapak Menteri Agama,” tutupnya. (mky)





































