Oleh Mustofa

 

SEKITAR 24 tahun silam tepatnya 1993 ada peristiwa yang memilukan di Banyuates Sampang Madura yaitu Tragedi Waduk Nipah. Meskipun tidak banyak yang tahu karena sejarah selama ini hanya ditempati tokoh-tokoh besar dan monumental peristiwa tersebut sangat tragis empat orang tewas diberondong timah panas karena memerjuangkan haknya. Mutirah, Nindin, Simuki dan Muhammad serta luka-luka pada korban lainnya.(Laporan Tragedi Waduk Nipah 1993, No Inventaris 151: 5). Pembangunan Waduk Nipah yang ditentang oleh semua masyarakat setempat karena menghilangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah agar sejarah tidak “berulang”.

Tragedi Waduk Nipah adalah potret kegagalan pemerintah melakukan komunikasi persuasif dengan masyarakat. Selain itu, banyaknya permainan seperti calo, Administrasi dan koordinasi yang kacau, pendekatan represif yang meminggirkan martabat kemanusiaan, serta kegagalam memahami kehendak rakyat. Martin Heidegger telah mengingatkan kita agar kita belajar dan memaknai peristiwa sejarah, menurutnya sejarah bukan semata-mata narasi tentang masa lalu, artinya bagaimana narasi masa lalu dibentangkan di masa kini untuk dimaknai sekaligus memaknai masa kini.

Perjuangan petani Kendeng Rembang telah mengusik rasa kemanusiaan kita sekelompok petani yang tak mengenal lelah dengan mengecor kakinya meminta belas kasihan Presiden agar permintaanya dikabulkan. Hati kita semakin tersayat disaat menyimak berita kematian Ibu Padmi salah satu pejuang Kendeng, tentu saya tidak ingin mengait-ngaitkan kematian Ibu Padmi dengan aksinya karena menurut beberapa berita ia memang memunyai penyakit. Tapi dalam kondisi seperti itu ia masih berjuang untuk melawan ekspansi pemilik modal yang mengatas namakan pembangunan ekonomi dan infrastruktur.

Tanah bagi petani atau rakyat kecil tidak sekadar memiliki nila produktif namun tanah memiliki nilai-nilai adat dan budaya yang selalu dikait-kaitkan dengan para leluhur. Tanah dalam suatu masyarakat agraris tidak hanya menjadi salah satu faktor produksi, tetapi juga memiliki arti penting lainnya baik menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Oleh karenanya masalah tanah bukan semata-mata merupakan hubungan antara manusia dengan tanah, bukan juga hanya urusan makan, tetapi manifestasi antara hubungan manusia dengan manusia dan bahkan dengan leluhurnya. Tanah adalah simbol kehormatan yang harus dijaga dan dipertahankan. Maka tak heran apabila petani selalu memertahankan tanahnya dengan berbagai perlawanan, jangankan gas air mata tembakan peluru pun tak cukup menghentikan mereka. Kita sudah banyak belajar dari berbagai tragedi yang sering terjadi di Indonesia salah satunya tragedi Waduk Nipah.

Kesalahan yang mendasar dan ini fatal pemerintah selalu melihat peristiwa tersebut dengan sudut pandangnya sendiri. Inilah bentuk nyata kegamangan pemerintah dalam memahami keinginan rakyat. Ada dua logika yang bersebrangan dan ini penting untuk diperhatikan, yaitu antara logika pemerintah dan logika petani. Logika ekonomi yang rasional dari pemerintah, dan logika untuk menghindari risiko karena keterbatasan yang dimiliki petani. Dalam benak pemerintah, membangun Pabrik Semen adalah pembangunan ekonomi yang rasionaal, kemudian terbayang dalam benak mereka betapa besar manfaat bangunan tersebut.

Berbeda dengan logika petani yang menggantungkan hidupnya pada tanah sebagai petani subsisten tidak mau ambil risiko. Bagi mereka, apa manfaatnya pabrik semen, tanah mereka digunakan untuk pembangunan. Mereka berpikir selain bertani apa yang bisa mereka lakukan, bagaimana menghidupi anak-anaknya, apalagi tanah warisan bagi mereka sesuatu yang sakral yang harus dipertahankan. Mereka sudah menggantungkan hidupnya bertahun-tahun secara turun temurun pada tanah. Kita harus belajar dari sejarah jangan sampai rakyat menjadi korban kebiasaan ini harus dihentikan. Pemerintah harus melakukan pendekatan secara bijaksana dan persuasif jangan mengabaikan hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam melakukan pendekatan dengan melihat kultur, sosial, dan keagamaan.

Pendekatan kemanusiaan harus menjadi prioritas. Bukankah filsafat yang mendasari demokrasi adalah pemuliaan harkat manusia, baik sebagai perorangan atau sebagai kelompok masyarakat, bukan penggusuran bahkan peminggiran hak untuk hidup layak dan terhormat. Demokrasi merupakan hasil pengalaman berabad-abad berbagai peradaban dalam mengelola kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Kemanusian dan keadilan jangan sebatas terminologi bukan makna yang diagungkan. Hentikan atas nama pembangunan mengabaikan kemanusiaan yang kemudian disembunyikan dibalik justifikasi  estetika dan ketertiban serta penegasan klaim-klaim modernisasi yang berkait dengan konsep tentang pembangunan.

Penggusuran lahan secara paksa sesungguhnya menegasikan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dimuliakan oleh Pancasila (Kemanusiaan yang adil dan beradab), dan merendahkan martabat petani yang setiap hari berjuang menghidupi seluruh bangsa ini. Kita seolah-olah lupa dan abai bahwa setiap hari kita makan dari hasil cucuran keringat petani. Sehingga apabila ada darah yang menetes dari tubuh mereka terasa menyayat dan melukai segenap bangsa Indonesia. Petani tidak mengharapkan apa-apa dari pemerintah bisa keluar setiap hari mengolah tanahnya bagi mereka adalah kebahagiaan. Mereka tidak peduli dengan hiruk pikuk kehidupan kota yang penuh dengan kemunafikan dan keserakahan.

Saya teringat lagu Koes Plus yang berjudul “Kolam Susu” lagu yang ingin mengungkapkan dan melukiskan tentang kekayaan alam Indonesia gemah ripah loh jinawi. “Bukan lautan hanya kolam susu kail dan jala cukup menghidupimu” Orang bilang tanah “kita tanah surga tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Dua penggal lagu tersebut cukup melukiskan batapa Indonesia adalah surga, kata surga adalah metafora paling tinggi dalam ukuran kebahagiaan, mari kita wujudkan Indonesia menjadi negeri kebahagiaan buka jalan penderitaan. Semoga bukan dongen menjelang malam.

 

Penulis adalah Dosen Universitas NU Surabaya, Fungsionaris Masika ICMI Jawa Timur

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry