TELANTAR: Sidjem, jamaah haji nonkuota yang ditelantarkan travel haji di Tanah Suci. (ist)

JEDDAH | duta.co – Tanggung jawab petugas haji tidaklah ringan. Mereka harus menahan lelah karena dituntut terus melayani jamaah. Perasaan haru dan sedih kadang-kadang tak bisa mereka tahan karena beragam permasalahan yang dihadapi jamaah haji Indonesia.

Apalagi, jamaah nonkuota yang beberapa kali ditemukan diterlantarkan di Makkah oleh travel yang memberangkatkan mereka. Kisah ini bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat yang ingin pergi haji tapi tidak melalui jalur resmi.

Juga jadi gambaran bagaimana beratnya beban moril yang harus ditanggung petugas haji terhadap jamaah nonkuota yang sebenarnya bukan tanggung jawab mereka. Tapi karena korban juga orang Indonesia, petugas haji juga harus ikut menyelesaikan masalah mereka.

Sabtu malam, 19 Agustus 2017, suasana di Kota Makkah masih terasa ramai. Mendekati puncak haji, kesibukan di Tanah Haram memang mulai meningkat. Begitu juga suasana di kantor misi haji Indonesia di daerah kerja Makkah. Padahal sudah jam 11.00 lebih waktu Arab Saudi.

Antara riuhnya suasana kantor misi haji, tiba-tiba masuk Evarmon Lubis dan drg. Lutfi. Keduanya adalah petugas haji asal Aceh yang bertugas di sektor 1. Di antara mereka ada sosok wanita tua yang wajahnya tampak sangat lelah. Di lehernya terkalung tas hitam dan kartu identitas bertuliskan Cahaya Indah Wisata.

Dari kartu berwana hijau yang dikenakan itu, tertulis nama Sidjem Mukmin Durahman. Wanita tua itu tampak terus dituntun. Sidjem memang terlihat lemas, untuk duduk saja harus dibantu.

Dengan sigap, petugas piket perlindungan jamaah (Linjam) kemudian mendekati. Gelas plastik putih berisi air zam-zam disodorkan kepada Sidjem. Sejurus kemudian, sejumlah petugas lain ikut menghampiri untuk memastikan apa yang dialami Sidjem. “Saya tersesat, ditinggal rombongan lalu dibawa ke sini,” kata Sidjem mengawali ceritanya.

Setelah air zam-zam diminum, dia justru banyak diam dan melamun. Sorot mata wanita yang diperkirakan 60 tahun itu tidak fokus, seperti memberi isyarat kalau dia sangat lelah.

Seorang petugas wanita secara perlahan mulai mengajaknya bicara. Dia sambil memegang sepiring nasi goreng hangat yang baru dibagikan untuk petugas yang piket malam. “Ibu makan ya, kalau tidak mau makan nanti tidak diantar pulang,” kata Siska.

Sidjem hanya mengangguk dan tidak bicara. Siska kemudian mulai menyuapi nasi goreng tadi. Setelah sendok keenam, Sidjem justru menggelengkan kepala. Dia tidak mau makan dan kembali melamun.

“Ayo satu suap lagi Ibu, kalau tidak mau makan nanti tidak saya antar pulang. Ibu dari mana, katanya orang Sumatera ya, saya juga orang Sumatera, saya dari Palembang,” kata Siska lagi.

Mendengar perkataan Siska, Sidjem tersenyum. Matanya berbinar-binar. Dia lalu bicara dan menyampaikan kalau dia berasal dari Kuala Tungkal, Jambi. Perlahan Sidjem mulai bercerita.”Saya dari Jambi, berangkat dari hari Rabu dan sampai di Makkah tadi sore (Sabtu, 19 Agustus 2017),” katanya.

Kata Sidjem, dia terbang dari Aceh pada hari Kamis dan kemudian ke Jakarta. Dari Jakarta dia turun lagi di Malaysia dan terbang lagi ke Filipina. Dari Filipina baru Sidjem terbang ke Jeddah. Apa pesawat yang dinaiki dan apakah berganti pesawat, Sidjem mengaku tidak tahu.

Menurut Sidjem, dia harus membayar Rp150 juta kepada perusahaan travel di Jambi agar dapat pergi ke Makkah. Dia dijanjikan berangkat dua tahun, tapi hingga tahun ketiga belum diberangkatkan. Setelah menunggu lima tahun, Sidjem baru berangkat. “Dari Jambi saya sendiri, di Aceh ada dua orang dan di Jakarta banyak yang satu pesawat,” kata Sidjem.

Dalam pesawat, kata dia, ada 25 orang lebih yang juga pakai kalung identitas yang sama. Begitu tiba di Bandara Jeddah, Sidjem langsung dibawa ke Makkah dan diturunkan di terminal Mahbas Jin. Sidjem bukan masuk ke hotel seperti yang dijanjikan. Dia justru ditinggalkan begitu saja. “Katanya saya tidak ada rombongannya. Jadi saya disuruh cari rombongan sendiri,” katanya.

Sidjem kebingungan, dia tak jelas arah. Dia tak mengerti apa yang harus dilakukan. Sidjem kemudian diantar petugas transportasi ke kantor sektor 1. Dari sana baru dia diantar ke kantor Daker Makkah.

Petugas kemudian memeriksa tas yang dibawa Sidjem. Rupaya dia tidak memegang paspor dan identitas lainnya. Dia juga tidak mengenakan gelang haji, seperti haji reguler atau haji khusus yang diberangkatkan secara resmi oleh pemerintah. Dia juga tidak tahu siapa yang pegang paspornya saat ini. Kemungkinan dia adalah jamaah haji furodah dengan yang datang menggunakan visa yang diperjualbelikan.

Dari dalam tasnya, ada uang Rp6 juta yang disimpai di dompet merah. Baju satu setel, obat, dan surat keterangan dari dinas catatan sipil Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Selain itu ada kertas yang memuat tiga nomor telepon dengan tulisan telepon rumah Sidjem. Petugas kemudian mencoba menghubungi. Dua nomor telepon tidak tersambung, tapi satu nomor terhubung. Di Jambi saat itu masih pukul 03.00 pagi, tapi terdengar seorang wanita menjawabnya.

Setelah diberitahu petugas soal kejadian yang dialami Sidjem, wanita itu terdengar menangis. Karena itu tidak banyak cerita yang didapat dari wanita tersebut. Telepon kemudian diberikan kepada Sidjem. Kini giliran dia yang menangis.

“Aku ditinggalin, tidak boleh ikut sama rombongan. Suruh cari rombongan sendiri. Tapi ibu dibantu sama temen-temen di sini (Daker Makkah). Tolong dikasihkan nomor Ibu Ana ya,” kata Sidjem sambil mengusap air matanya.

Evarmon kemudian berusaha untuk berkomunikasi lagi dengan wanita yang diketahui anak Sidjem. Dengan informasi awal yang diperoleh, Evarmon yang merupakan anggota Polri kemudian akan berkomunikasi dengan kepolisian tempat tinggal Sidjem untuk mengungkap persoalan yang sebenarnya dialami Sidjem.

Karena sudah terlihat lelah, petugas kemudian membawa Sidjem ke kamar untuk beristirahat. Dia dibawa ke kamar 316 dan tinggal sementara bersama petugas.

Belum lima menit menangani masalah Sidjem, mendadak taksi masuk kantor Daker Majkah. Taksi membawa seorang wanita yang merupakan jamaah haji Indonesia yang ditemukan lemah di jalan.

Wanita itu kemudian dibawa masuk, dokter kemudian memberikan pertolongan segera. Karena kondisinya yang sangat lemah, dokter senior di Daker Makkah kemudian memberikan cairan infus. Ambulans segera dihubungi.

Tidak kurang dari 10 menit, ambulans kemudian datang. Wanita yang diperkirakan berusia 55 tahun itu kemudian dibawa ke rumah sakit. Begitulah, petugas makin sibuk saat mendekati puncak haji. Meski lelah, pertolongan dan bantuan untuk para jamaah tidak boleh tertunda, apalagi ditolak. hud, viv

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry