JOMBANG | duta.co – Kamis (16/11/23) malam berlangsung doa yasin-tahlil 40 hari Cak Anam (Drs H Choirul Anam) di kampung asalnya, Kemirigalih, Sawiji,  Jogoroto, Jombang. Ratusan orang duduk bersimpuh mendoakan Cak Anam.

“Alhamdulillah. Paginya, santri-santri Kiai Karim menghatamkan Alquran di halaman pesarean. Malamnya seluruh warga Kemirigalih hadir doa bersama,” demikian Amiruddin, keponakan Cak Anam kepada duta.co, Jumat (17/11/23).

Menurut wartawan MetroTV ini, biasanya yang menghatamkan Alquran santri-santri PP Hamataul Quran. Kali ini, diminta santri-santri Al-Manshuriyah. Hadir sejumlah sahabat Cak Anam. Tampak pula KH Abdul Karim Elmuna, Pengasuh PP Al-Manshuriyah dan KH Salahudin Karim. “Bedanya dengan di Surabaya, 40 hari di sini (Jombang) tidak kebagian buku in-memoriam Cak Anam,” tegas Udin panggilan akrabnya.

Tampak Prof Dr KH Moh Ali Aziz, besan Cak Anam dari anak yang pertama, saat memberikan sambutan atas nama keluarga di Surabaya. (ft/ist)

Dalam buku kesan dari sahabat Cak Anam, banyak kabar yang bisa dikutip kembali. Misalnya, kisah sekotak amplop Mbah Faqih (almaghfurlah KH Abdullah Faqih – Langitan Tuban) yang harus dibuka Cak Anam sendiri. Kisah ini terdapat dalam cerita panjang bertajuk “Yang Sering Disebut Sebagai Mentor Politiknya.

Dikisahkan, bahwa, seorang santri Langitan ingin menerbitkan kumpulan kitab klasik yang membahas tentang fikih siyasah (politik). Cak Anam sangat setuju, paling tidak bisa menjadi referensi politisi santri. Bahwa, politik itu, tidak selalu kotor. Cak Anam juga menyebut kitab Ahkamus Shulthaniyah  yang dalam buku tersebut tertulis karya Jalaluddin as-Shuyuthi. Yang benar Al-Ahkaam Al-Shultania arya Al-Mawardi Assyafi’I dan Imam Abu Ya’la Alhanbali.

Suatu ketika, Cak Anam berkisah (setelah Mbah Faqih kapundut). Katanya, ia dipanggil keluarga almaghfurlah. Masih dalam suasana berkabung, Cak Anam datang ke Langitan, Tuban. Di luar dugaan, ternyata dia diminta membuka sebuah kotak, yang merupakan wasiat almaghfurlah.

Cak Anam deg-degan. Begitu kotak tersebut dibuka, subhanallah, isinya penuh dengan amplop berikut isinya yang masih utuh. “Saya lihat satu persatu. Banyak sekali. Ada amplop dari para pejabat seperti Bupati, Gubernur, Menteri-menteri. Bahkan amplop dari saya sendiri,” demikian Cak Anam berkaca-kaca.

Artinya, tegas dia, yang selama ini diberikan kepada Mbah Faqih — dengan maksud  untuk meringankan sedikit beban beliau dalam menyambut tamu-tamu politiknya — tidak dipakai sama sekali. “Ya Allah! Saya benar-benar bersyukur. Bersyukur karena bisa mengaji politik kepada beliau. Mbah Faqih sangat telaten menjelaskan prinsip-prinsip politik dalam Islam,” tambah Cak Anam.

Cak Anam juga mengutip pesan Mbah Faqih: Biarlah orang menyebut kita kotor. Biarlah orang menyebut kita preman. Persetan dengan sebutan korak. Karena Allah SWT lebih tahu, apakah yang kita kerjakan ini kotor atau premen? “Saya tidak pernah sibuk mengurus komentar orang,” katanya.

Selain Mbah Faqih, Cak Anam sering berkisah tentang Gus Dur. Dalam guyonan Cak Anam, hisab Gus Dur di akhirat nanti paling ringan. Saking ringannya, sampai malaikat tidak tertarik mencecarnya di alam kubur. “Beliau tidak pernah berpikir uang. Padahal, tanpa uang, kita sulit berjuang,” katanya.

Gus Dur pula yang banyak mewarnai langkah politiknya. Suatu ketika, ada wartawan yang bertanya tentang konflik kepemilikan bangunan, Cak Anam menjawabnya dengan santai.

“Seluruh yang berada di atas bumi, di bawah langit, adalah milik Allah SWT. Semua akan kembali kepadaNya,” seraya menukil ayat Alquran yang berbunyi: Allażīna iżā aṣābat-hum muṣībah, qālū innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’un. Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).” (QS. Al-Baqarah: 156).

Di depan awak redaksi Duta Masyarakat, ia pernah menjelaskan, bahwa, ‘sukses dunia’ itu (hakekatnya) tidak ada. Yang ada sukses setelah kematian. Dunia, katanya, adalah mazroatul akhiroh, tempat menanam, bukan memanen. “Hidup itu masalah. Jangan hidup, kalau takut masalah,” katanya memotivasi.

Cak Anam juga sering menyampaikan pentingnya sebuah proses ketimbang hasil. Menurutnya, proses itu adalah jerih payah. Inilah yang diapresiasi Allah SWT. Sementara hasil adalah ketetapan Allah SWT. “Jangan jadikan hasil sebagai tujuan. Tetapi, bagaimana kita berproses secara benar, disertai ridho Allah SWT.,” jelasnya. (bersambung)