Prof Ali bersama mahasiswa, dosen, dan pekerja. (FT/DOK)
“Dunia terkejut dan marah. Sebab korban yang meninggal 1.514 orang, sebuah bencana terbesar dalam sejarah pelayaran dunia.”
Oleh Moh Ali Aziz

SETELAH mengunjungi kota Glasgow di Skotlandia, dataran tertinggi di Inggris Raya dua pekan sebelumya, kini giliran menyusuri kota Southampton, dataran yang paling rendah.

Nama kota ini tidak asing bagi saya, sebab ketika kuliah bahasa Inggris tahun 1975, dosen memberi tugas untuk presentasi tentang tenggelamnya kapal raksasa Titanic setelah berangkat dari pelabuhan Southampton.

Titanic adalah nama kapal penumpang terbesar, tercanggih dan terhebat di dunia milik Britania Raya yang dibangun di Irlandia mulai tahun 1909, dan selesai tahun 1911.

Kapal dengan daya tampung 2.224 penumpang ini dirancang senyaman dan semewah mungkin, bahkan anti tenggelam. Wow.

Tapi, apa yang terjadi? Lima hari setelah perjalanan perdana dari Southampton menuju New York, persisnya tanggal 15 April 1912, ia tenggelam di Samudra Atlantik setelah menabrak gunung es.

Dunia terkejut dan marah, sebab korban yang meninggal 1.514 orang, sebuah bencana terbesar dalam sejarah pelayaran dunia. Penumpangnya juga bukan orang sembarangan, melainkan orang-orang terkaya dunia.

Mungkin orang Inggris lupa kata bijak mereka sendiri, “Man proposes, God disposes.” (manusia membuat perencanaan, Tuhanlah yang membuat keputusan).

Gegara kisah kapal itulah, selama dalam perjalanan menuju Southampton dari London, saya teringat pesan Nabi SAW kepada Abu Dzarrin Al Ghifari tentang kapal. Pesan itu disebutkan dalam kitab Nasha-ihul ‘Ibad yang dikaji hampir di semua pesantren di Indonesia, “Wahai Abu Dzarrin, perbaruilah kapalmu, sebab lautan amat dalam.”

“Pak, saya tinggal menjemput sekolah anak. Bapak nanti dijemput istri saya di stasiun,” teks WA dari Bapak Nurwahyudi, yang biasa dipanggil ustad Didik, salah satu panitia pengajian.

Ia adalah pegawai Bank Indonesia, alumni Ponpes Jombang yang sedang menyelesaikan program doktor di Universitas Southampton. Teks WA itu dikirim, sebab ia sudah menunggu dua jam keterlambatan kereta saya, sedangkan dua anaknya sudah menunggu pulang di sekolahnya.

“Maaf, rumah saya sempit pak. Bapak nanti bermalam di rumah teman yang lebih luas,” kata ibu Latifah, istri Bapak Nurwahyudi, di atas mobil dari stasiun menuju kampus.

Teman yang dimaksud adalah Wan Adiansyah, pelajar Indonesia yang sedang menyelesaikan doktor bidang serat optik atas beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) Kementerian Keuangan RI. Sebelumnya, ia lebih dari 10 tahun mengajar di salah satu perguruan tinggi di Malaysia.

Menjelang magrib, saya diajak panitia memasuki Gedung Teater di kampus Southampton untuk memberi kajian Islam. Seperti di kota-kota lainnya, saya jelaskan bagaimana shalat yang menambah ketenangan dan kebahagiaan di tengah berbagai persoalan hidup, sekaligus menguatkan optimisme.

Makan malam bersama lintas agama. Tampak Prof Ali bersama sejumlah non muslim. (FT/dok)

“Kita harus menguatkan mental sebelum terjadi cobaan atau tantangan berat, segawat tenggelamnya Kapal Titanic,” kata saya. “Dan ketenangan, bahkan optimisme itu bisa kita raih melalui shalat yang benar dan berkualitas,” tambah saya sambil turun dari podium.

Peserta pengajian tidak banyak, sebab mulai tahun 2023, semua beasiswa ke Universitas Southampton dibatasi hanya untuk jurusan kelautan dan perkapalan.

“Tahun kemarin, ratusan pelajar kita sudah lulus dan kembali ke Indonesia dari berbagai jurusan,” kata Bapak Nurwahyudi di sebelah kanan istrinya yang baru saja kembali dari Indonesia untuk operasi rahim.

Beberapa penduduk asli Inggris juga ikut mengikuti kajian sore itu. Antara lain, Mr. Ralph, suami ibu Effie, wanita Indonesia yang sangat aktif dalam kegiatan keagamaan di Southampton.

“Luar biasa, ajaran shalat yang membahagiakan amat persis yang sudah saya jalankan selama ini,” kata ibu Effie.

Di gedung teater itu memang saya jelaskan, jika ingin bahagia, silakan zoom-in (ingatlah dan perbesar gambar) kelebihan dan kebaikan pasangan hidup dan anak Anda. Juga zoom-out (lupakan dan perkecil gambar) kekurangan dan keburukannya.

“Anda pasti lebih bahagia, lebih sabar, dan lebih apresiatif,” tambah saya meyakinkan sambil mendekati satu persatu peserta di barisan kursi terdepan.

Prof Ali memberikan Pendalaman Terapi Salat Bahagia (PTSB) di Universitas Southampton. (FT/DOK)

“Setiap shalat, saya selalu bersyukur, sebab suamiku, Ralph luar biasa baiknya. Dialah yang memberangkatkan haji bapak ibuku, ketika saat itu saya merasa berdosa belum bisa memberangkatkannya,” kata ibu Effies dengan mata yang berkaca-kaca dan menunjuk suaminya.

“Itu pengajaran shalat yang paling menyenangkan bagi saya. Benar-benar new,” kata Ralph menambahkan dalam Bahasa Indonesia yang masih tersendat-sendat.

Dalam kajian Terapi Shalat Bahagia sore itu, saya amat terbantu oleh Denny Kurniawan, pembawa acara yang jauh lebih fasih berbahasa Inggris untuk menerjemahkan sejumlah istilah dalam shalat.

Pegawai Kementerian Keuangan RI yang sedang menyelesaikan doktor di bidang politik dan hubungan internasional di Universitas Southampton itu juga humoris dan selalu siap untuk praktik beberapa gerakan shalat.

Beberapa teman yang non-muslim juga ikut hadir pada acara itu. Tapi, di luar ruangan dan bergabung pada sesi makan malam. Antara lain Prof. Stephen Onggo, Ph.D, alumni ITS yang diangkat sebagai dosen di Universitas Souhthampton.

Saya kaget, ketika guru besar yang akrab, muda dan tampan itu menanyakan banyak hal kepada saya selama di Inggris Raya. Rupanya ia mencari tahu siapa saya di medsos setelah mendapat undangan dari panitia.

Menurut pengakuan dari sejumlah mahasiswa, guru besar yang ketika kuliah di ITS sekelas dengan atase Pendidikan dan kebudayaan KBRI London, Prof. Dr. Khoirul Munadi itulah yang amat banyak membantu kesulitan pelajar Indonesia di Southampton.

Ketika makan bersama, suasana keakraban amat terasa seperti dalam satu keluarga sendiri tanpa membedakan agama dan etnis sama sekali. Seperti biasanya kebanyakan orang Indonesia: “Pohon kapas, pohon kurma. Belum puas jika belum foto bersama.”

“Mohon maaf pak, saya tidak bisa ikut mengantar ke stasiun, sebab harus presentasi di depan supervisor di kampus,” kata Wan Adiansyah, tuan rumah tempat saya menginap ketika saya berpamit kembali ke London.

Ia adalah keponakan Prof. Dr. Din Syamsuddin, mantan pimpinan Muhammadiyah. “Ma’as salamah,” kata panitia dengan ekspresi yang luar biasa tulus, hormat dan mengesankan ketika melepas saya memasuki kereta api kembali ke London. (bersambung)

 

 

Keterangan gambar: (1,2, 3 ) kajian Shalat di Universitas Southampton (4) bersama mahasiswa, dosen, dan pekerja (5) Makan malam bersama lintas agama.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry