Arifin hanya bisa berbaring.

JOMBANG | duta.co – Di sebuah kamar sederhana di Dusun Menganto, Desa Menganto, Mojowarno, Jombang, Mohamad Arifin (34) hanya bisa menatap kosong. Tubuhnya terbaring kaku, tak mampu bergerak, tak mampu bicara, dan sudah setahun ini ia hanya mengenal dunia dari atas kasur tipis tempat ia terbujur lemah.

Arifin lahir dengan disabilitas. “Matanya nggak normal sejak bayi, gerak terus. Pernah operasi, tapi sarafnya kena,” cerita Elik Narodo (39), kakak ipar yang kini merawatnya, Kamis (27/11).

Meski memiliki kekurangan, Arifin dulu masih bisa berjalan. Namun sejak setahun terakhir kondisinya makin memburuk hingga lumpuh total. “Kakinya lemes, bengkak, ada luka. Mirip diabetes basah,” tambahnya.

Kehidupan Arifin berubah drastis setelah kedua orang tuanya meninggal dunia. Ia sempat dirawat ibunya, tetapi setelah sang ibu wafat usai Lebaran 2025, ia benar-benar kehilangan tempat bergantung.

Yang menyedihkan, Arifin justru sempat terlantar di rumahnya sendiri. “Ditinggal sendiri, pintu terkunci dari luar. Makan minum pun nggak dikasih,” ucap Elik lirih.

Padahal rumah Arifin dikelilingi keluarga besar kakek, paman, bibi. Namun tak satu pun tergerak menolong. Bantuan sembako yang dulu diterima saat ibunya masih hidup pun kini berhenti.

Tak tega melihat Arifin sendirian, Elik dan suaminya membawanya ke rumah mereka pada September 2025. Sejak itu, semua kebutuhan Arifin ada di tangan Elik. “Saya kasih makan tiga kali, meski seadanya. Kalau buang air pakai pampers,” katanya.

Namun perjuangan itu tidak mudah. Elik sendiri sedang sakit dan harus rutin kontrol ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya, sementara suaminya bekerja di luar kota. “Kalau saya kontrol, saya sampai bayar orang buat jagain dia. Karena nggak ada saudara yang peduli,” ujar Elik dengan mata basah.

Arifin belum pernah dibawa ke rumah sakit karena terkendala biaya dan transportasi. Tak ada kursi roda, tak ada kendaraan, dan tak ada tenaga medis yang membantu memindahkan tubuhnya.

Yang lebih mengiris, hingga kini Arifin tidak menerima bantuan sosial. “Dulu dapat beras dari pemerintah waktu ibunya masih hidup. Sekarang berhenti,” ujar Elik.

Di rumah sederhana itu, Elik terus bertahan merawat Arifin, meski tubuhnya ikut letih. Yang ia punya hanyalah doa dan harap. “Dia nggak bisa apa-apa. Harapan saya pemerintah turun tangan. Bantuan sosial, BLT, atau pendampingan disabilitas. Apa saja yang bisa meringankan,” pintanya.

Kisah Arifin menjadi cermin bahwa di balik ramainya pembangunan dan program bantuan sosial, masih ada warga disabilitas yang luput dari perhatian. Dari kamar kecil di Menganto, Jombang, Arifin menunggu kepedulian—menunggu tangan yang sudi menolongnya keluar dari sunyi dan ketidakberdayaan. (din)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry