“Kebanggaan ini tentu bukan hanya kepiawaian leading sektor Kementerian Agama, namun ada sentuhan-sentuhan halus para petugas haji. Terdapat tiga keunikan yang mereka berikan.”
Oleh Limas Dodi/Ade, Dosen IAIN Kediri sekaligus PPH Kloter SUB 62

PENYELENGGARAAN haji tahun 2024 bukan hanya sukses, namun di luar espektasi banyak orang. Jumlah besar jemaah haji bahkan ditambah 20 ribu oleh pemerintah Arab Saudi, mulanya membuat banyak kalangan ketar ketir berkaca pada pengalaman tahun lalu, namun nyatanya, Kementerian Agama mampu menjawab dengan gagah dan menakjubkan.

Dua kunci keberhasilan Kemenag; program Mecca Route yang menghemat energi dan waktu jemaah dan -jangan lupa- keberadaan pendamping haji (PPIH) yang tangguh dan dahsyat, dihuni oleh kaum muda muslim milenial.

Tentu masih melekat diingatan, Mei lalu, nenek berusia 76 tahun bernama Nurmi Hasan Ndua asal Bima Nusa Tenggara Barat, tersesat di kerumunan jemaah asal Irak di pintu ke luar X-Ray Bandara Arab Saudi. Padahal, oombongan kloter si nenek sudah tiba di Hotel Concord Al Nazil di Sektor 1 Madinah.

Akhirnya, saat itu, PPIH berjuang dengan melakukan koordinasi melalui aplikasi kawal haji, hingga berhasil mengantar si nenek sebelum waktu ibadah wukuf di Arofah. Tak dapat dibayangkan, andaikan tidak ada petugas haji, bagaimana nasib si nenek sampai sekarang.

Kisah si nenek satu ini, adalah sekian dari kejadian haru yang dialami jemaah haji. Ini menyiratkan betapa taktis peran dari petugas haji tahun ini. Dedikasi luar biasa untuk memastikan keselamatan jemaah, menjadi pelindung dan penolong bagi semua jemaah, dengan tujuan mereka bisa aman dan tenang menjalankan rangkaian ibadah haji.

Apresiasi ini tentu bukan asap semata, data Madia Center Haji (MCH) menyebut bahwa jumlah kematian terbanyak dan jemaah hilang tahun 2022 dan 2023 dari kalangan lanjut usia dan lansia. Artinya, satu dari sekian kalangan, di tahun ini sudah mampu diselamatkan oleh petugas haji.

Tiga Sikap Petugas Haji

Meskipun jumlah petugas haji bertambah hampir dua kali lipat (437 petugas), namun perhatian kita bukan kuantitas. Tahun ini, embarsi karakter petugas haji berkarakter inheren. Mereka bukan hanya dituntut memiliki pengetahuan dan profesional, mereka harus menguasai raga, pikiran dan hati.

Pasalnya, haji bukan semata duniawi melainkan juga ukhrawi. Raga, pikiran dan hati disatukan ke dalam sikap sehari-hari untuk melayani jemaah, terutama usia lanjut dan lansia. Maka benar, bila dari data al-Haj Index Arab Saudi, Indonesia termasuk negara paling sedikit jemaah meninggal nomor dua setelah India. Namun dengan jumlah jemaah haji yang lebih tinggi dari India, semestinya, Indonesia nomor satu.

Kebanggaan ini tentu bukan hanya kepiawaian leading sektor Kementerian Agama, namun ada sentuhan-sentuhan halus para petugas haji. Terdapat tiga keunikan yang mereka berikan, yaitu: pertama, emosi sangat tenang. Peningkatan jumlah jemaah haji sama sekali beban berat, namun sebaliknya, hal itu dianggap “panggilan Tuhan”. Mereka mengelola kelompok jemaah dengan sangat telaten, mengatur transportasi, kordinasi di tempat-tempat suci bahkan memastikan semua prosedur dijalankan sesuai scedjule. Perasaan tenang di tenah keramaian, tantangan logistik dan cuaca ekstrim di Mekkah, bukanlah sebuah aral berarti. Konsep manunggaling gusti, seakan mendorong hati untuk tulus membantu para jemaah, dimana menghadirkan Tuhan dalam setiap nafas dan detak jantung menderu “Allah… Allah…. Allah”.

Gambaran ketenangan diwujukan ke dalam memori spiritualitas petugas haji, terlihat dari sikap penuh tanggungjawab saat memberikan pelayanan terbaik. Mereka memandu jemaah melakukan ritual-ritual haji, sabar menjawab pertanyaan dan memberikan semangat melaksanakan ibadah sampai tuntas. Arahan dari Menag untuk melakukan murur, dari penyampaian Menag Yaqut, “tidak mengira petugas haji menuntaskan tugas melebihi harapan kami”, seperti instruksi murur langsung cepat dan tidak perlu instruksi, mmapu diselesaikan dengan cepat. Murur adalah pendorongan sebagian jemaah haji yang teridenfikasi rentan seperti lansia dan kaum difabilitas, langsung dari Arafah ke Mina tanpa melakukan mabit (bermalam) agar menghemat energi.

Kedua, olah resiko. Di lapangan, ada 41.000 jemaah haji lansia dan disabilitas yang diberangkatkan. Namun angka sebanyak itu, sama sekali tidak ada apa-apanya, bahkan mampu diredam dengan baik oleh petugas haji. Melihat data, melalui Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (SKHT) meskipun jumah jemaah haji 2024 bertambah banyak, namun jumlah kematian merosot total. Tahun 2023, jumlah kematian 313 orang dari 221.000.000 jemaah. Namun pada tahun 2024, jumlah jemaah wafat adalah 193 orang dengan jumlah jemaah 241.000.000. Data ini membuktikan bahwa komitmen petugas haji lebih baik dari tahun sebelumnya.

Hal ini tidak lepas dari lanscap besar yang dibangun Kemenag, di mana 4.300 petugas haji diarahkan pada jemaah lansia dan disabilitas. Sehingga tahun ini, tema besar perlindungan haji adalah ramah lansia dan disabilitas. Termasuk beberapa kebijakan ke arah sana, seperti murur di mana seluruh lansia dan difabilitas tidak boleh mabit di Arafah, namun langsung ke Mina.

Keberadaan aplikasi Kawal Haji, memudahkan petugas untuk saling melaporkan jika ada kehilangan, ketertinggalan dan akomodasi hotel. Sehingga dengan murur dan aplikasi Kawal Haji tidak dijumlai keterlantaran Jemaah di Muzdalifah baik lansia, disabilitas dan penderita penyakit dengan resiko tinggi.

Skema ramah lansia dan difabilitas, melalui inovasi digital yang didukung oleh kehebatan dan ketangguhan petugas haji, kesemuanya berpatri secara bersamaan, menjadikan pelaksanaan haji 2024 patut dibanggakan. Tidak ada evaluasi berarti. Petugas haji mampu menjalankan semua skema instruksional di atas espektasi banyak pihak, mereka bukan hanya berbekal spiritualitas, emosional, melainkan juga rasa kepeduliaan (carring), menghilangkan pengetahuan dan kebiasaan tidak baik (unlearning) dan yang terpenting adalah ikhlas (ikhlas) berkhidmad untuk negeri. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry