
“Tidak ada makan siang yang gratis dalam politik- elektoral, semakin menguat dan makin telanjang bulat. Semuanya berbayar.”
Oleh Sean Choir
BAIK pilihan legislatif, presiden hingga pilkada serentak tahun 2024, sama-sama terpandu oleh bekerjanya logika demokrasi-kapital.
Secara sederhana, bekerjanya logika kapital dalam pilkada serentak 27 Nopember yang lalu, terjelaskan oleh fakta politik dari semua tahapan pilkada itu sendiri. Kapital dan uang-lah yang banyak bicara. Bukan visi-misi paslon, bukan pula program kerja paslon. Apalagi idealisme pemilih!
Visi-misi dan program kerja paslon, tidak kurang dan tidak lebih sebatas sebagai dekorasi politik dalam formalisme demokrasi.
Bahkan dalam pemilih yang rasional dengan ekonomi yang mapan sekalipun, visi-misi dan program kerja paslon bukan menjadi pertimbangan utamanya untuk menetukan pilihan. Kalaupun ada, jumlahnya pun tidak banyak.
Tidak ada makan siang yang gratis dalam politik- elektoral, semakin menguat dan makin telanjang bulat. Semuanya berbayar. Mulai mendapatkan surat tugas partai hingga rekomendasi pencalonan-pun tidak ada yang gratis. Bahkan harganya sangat mahal. Ada yang per kursi DPRD berharga 500 juta hingga 1 milyar rupiah. Ngeri kan?
Jika suatu partai dapat kursi 10 misalnya, maka rekom akan turun jika paslon membayar 5 milyar. Ironisnya, partai yang gembar-gembor tidak pakai mahar-pun, tetap berbayar.
Belum lagi di tahapan kampanye. Paslon yang memegang sumber kapital-lah yang bisa kampanye dengan cakupan wilayah dan konstituen yang luas.
Sebaliknya, bagi paslon yang minim kapital, pasti sekedarnya untuk melakukan kampanye. Menariknya, masyarakat pun senang dan bahagia, jika paslon hadir ke rakyat tidak sekedar obral janji dan misi. Tapi langsung melakukan aksi sosial nyata dan bisa dirasakan langsung manfaatnya. Praksis bukan? Apakah rakyat salah. Saya pastikan tidak!
Lebih miris lagi, saat memasuki tahap masa tenang dan pemungutan suara. Kinerja logika politik-kapital memasuki tahap yang paling menyeramkan. Adu strategi di ujung kompetisi politik, mencapai puncaknya. Saling intip antar paslon, soal berapa jumlah uang “sedekah politik” ?
Lalu, bagaimana uang “sedekah politik” itu di sebar? Adalah pertanyaan yang hanya bisa jawab melalui hasil kerja-kerja intelejen yang mumpuni.
Pada titik di tahap krusial ini, uang memang bukan segala-galanya untuk memenangkan kompetisi. Ada banyak faktor yang bisa memastikan kemenangan di jauh hari sebelum tahap pemungutan suara.
Tapi yang pasti, hampir 50 persen pemilih menunggu “sedekah politik” itu. Ini semua terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan menurut LSI Denny JA, di wilayah Daerah Khusus Jakarta (DKJ), hampir 60% pemilihnya menanti uang “sedekah politik” itu.
Bukankah DKJ dihuni oleh komunitas yang lebih rasional dari yang lain? Bukankah di sana pemilihnya dengan tingkat ekonomi lebih baik dari wilayah yang lain di negeri ini? Ironi bukan?
Jadi sekali lagi, fakta-fakta politik di atas, makin menegaskan bahwa kontestasi politik-elektoral kita benar-benar terpandu oleh bekerjanya logika politik kapital yang credo utamanya adalah pragmatisme dan traksaksionisme. Karena itulah sebenarnya watak asli bekerjanya demokrasi kapital. Kamu jual, aku beli!
Dan yang pasti, elit politik dan rakyat sama-sama menikmatinya. Terus piye ayo?
*Sean Choir adalah Khadam Kultural NU, tinggal di Jombang.