Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin yang notabene Rais Syuriyah PBNU (dua dari kiri). (FT/PANJIMAS.COM)

JAKARTA | duta.co – Terlepas apakah umat beragama kecolongan atau tidak, yang jelas, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), sehingga mengharuskan pemerintah mencantumkan penghayat kepercayaan dalam kolom agama Kartu Keluarga (KK) dan KTP elektronik (KTP-el) menuai protes keras.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin yang notabene Rais Syuriyah PBNU menilai, pemenuhan hak dan pengakuan aliran kepercayaan tidak harus dengan pencantuman identitas di KTP.

Menurut Kiai Ma’ruf, selama ini sudah terdapat kesepakatan bahwa yang bisa dicantumkan sebagai identitas kependudukan adalah agama. “Agama yang shohibul maqom di KTP, aliran kepercayaan bukan maqom-nya agama,” ujarnya saat pertemuan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di Kantor MUI Pusat, Jakarta.

Bahkan, masih menurut Kiai Ma’ruf, putusan MK yang membolehkan pencantuman aliran kepercayaan di KTP dan Kartu Keluarga (KK), bisa merusak kesepakatan atau consensus tersebut. “Indonesia negara kesepakatan yang merupakan solusi kebangsaan. Kalau dibongkar berbahaya, NKRI bisa bubar,” tuturnya serius.

Sementara, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri) masih maju mundur. Saat ini masih mencari solusi atas putusan MK tersebut. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakrullah mengatakan, saat ini instansinya masih melakukan kajian untuk mencari jalan keluar terbaik dalam mengakomodasi kepentingan para penghayat kepercayaan.

“Kajian ini penting dilakukan agar terwujudnya tertib adminduk setelah putusan MK itu diberlakukan,” ujarnya saat memberikan pemaparan di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Jakarta, Jumat (17/11).

Dia menuturkan, sedikitnya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan pemerintah dalam melaksanakan putusan MK. Yang pertama adalah perspektif yuridis. Dari aspek ini, kata dia, pemerintah dituntut untuk segera berkoordinasi dengan Komisi II DPR RI guna melakukan revisi terhadap UU Adminduk. Ini dikarenakan putusan MK bersifat final dan mengikat dan berlaku efektif setelah dibacakan oleh majelis hakim konstitusi.

Yang kedua, perspektif manajemen pemerintahan. Dari aspek ini, kata Zudan, putusan MK bakal berdampak pada sejumlah kegiatan administrasi di lingkungan pemerintah pusat hingga pemerintah di daerah-daerah. Dampak itu mencakup perubahan pada data penduduk untuk pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, serta pencegahan kriminal dan penegakan hukum.

Ketiga, perspektif teknis. Ditinjau dari aspek ini, pemerintah jelas perlu melakukan berbagai persiapan untuk melaksanakan putusan MK tersebut. Beberapa langkah persiapan itu di antaranya adalah mengubah aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), KTP-el, dan KK; membuat formulir kependudukan baru, serta; melakukan sosialisasi ke 514 kabupaten kota di 34 provinsi.

Di samping itu, kata Zudan, Kemendagri juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag) RI dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI untuk merumuskan apa saja yang harus disiapkan untuk mengakomodasi putusan MK tersebut.

“Ini dikarenakan pelayanan publik untuk para penganut aliran kepercayaan tidak berada di bawah Kemenag, melainkan di bawah Kemdikbud. Selain itu, kami juga sedang mempertimbangkan istilah yang tepat untuk dicantumkan pada kolom KTP nantinya. Sebab, di Kemdikbud tidak dikenal istilah ‘penghayat kepercayaan’. Yang ada hanyalah ‘Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa’,” ucap Zudan. (rep,net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry