
“Kritiknya pedas mengiris kesadaran kolektif. Ia blak-blakan menyebut separuh pengurus PBNU saat ini mentalnya politisi. Kalau nggak ada jabatan, mungkin nggak bakal datang ke PBNU. Ini bukan sekadar sentilan, tetapi alarm keras.”

Oleh Aguk Irawan MN
SEJARAH Nahdlatul Ulama (PBNU), dalam rentang panjangnya, adalah sebuah mozaik perjuangan. Bukan sekadar deretan tanggal dan nama, melainkan napas panjang dari sebuah civil society yang tumbuh dari rahim pesantren, berdenyut bersama denyut nadi rakyat jelata.
Ia adalah sejarah perjuangan kultural, keumatan, yang pada intinya menempatkan khidmah—pengabdian tulus—di palung terdalam eksistensinya. NU, pada mulanya, adalah tentang keberpihakan: keberpihakan pada kaum lemah, pada tradisi yang terancam, pada kedaulatan yang terpasung.
Kita mengenang zaman KH Idham Chalid sebagai episode ketika NU, meski bermain di medan politik praktis (ia bahkan menjadi politikus ulung dan menjabat berbagai posisi tinggi negara), tak pernah kehilangan jangkar keumatannya. Politik adalah medium, bukan tujuan. Tujuannya tetap mengayomi, membela, dan memastikan suara kaum santri terdengar di gedung kekuasaan.
Lalu, datanglah era KH Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur. Ia membawa khidmah ke aras yang lebih universal: kemanusiaan, demokrasi, dan pluralisme. Gus Dur menunjukkan bahwa NU bukan hanya milik satu komunitas, melainkan milik semua yang percaya pada keadilan. Ia menegaskan, politik yang dilandasi kemanusiaan akan membawa keadilan.
Pesan utamanya jelas: keterlibatan di panggung global dan politik harus dilandasi niat khidmah, bukan alat politik sesaat atau sarana memperkaya diri. Karena itu wajar, tetangga yang non islam dulu amat bangga dengan NU, bahkan ada yang mengaku NU Cabang Nasrani, Hindu, Konghucu dan seterusnya. Inilah salah satu warisan Gus Dur.
Namun, sejarah, kata orang, cenderung berulang dalam ironi. Di era pasca-Reformasi, ketika leverage politik NU menguat, godaan itu membesar. Suara-suara sumbang mulai terdengar, dan salah satunya datang dari dalam, dari Mohamad Syafi’ Ali alias Savic Ali.
Kritiknya pedas, setajam silet yang mengiris kesadaran kolektif. Ia blak-blakan menyebut separuh pengurus PBNU saat ini “mentalnya politisi”. Katanya, “kalau nggak ada jabatan, mungkin nggak bakal datang ke PBNU”. Ini bukan sekadar sentilan, melainkan alarm keras tentang krisis orientasi.
Savic menunjuk pada realitas yang mengkhawatirkan: banyak pihak yang mendekat ke PBNU hari ini karena silau oleh potensi “jatah” jabatan—entah itu menteri, komisaris BUMN, menjadi mitra dengan DPRstaf ahli dan khusus ini itu atau posisi menjanjikan lainnya. Fokusnya telah bergeser dari perjuangan ke negosiasi posisi, dari khidmah ke pragmatisme.
Jika kritik Savic Ali ini benar, maka NU sedang menghadapi ancaman serius terhadap khittah-nya (garis perjuangan). Organisasi yang didirikan untuk mengabdi kepada umat ini, perlahan tapi pasti, bisa terkooptasi oleh mentalitas kekuasaan. Ia bisa berubah dari lokomotif perjuangan menjadi sekadar stasiun transit bagi para pencari kerja politik. Maka wajar jika rentan pada gesekan dan saling sikut.
Tentu saja, NU dijaga oleh Gusti Allah, kata Savic Ali sendiri dalam konteks lain. Tapi penjagaan itu seringkali melalui kesadaran kritis dari warganya sendiri. Maka sekecil apapun kita, harus saling mengingatkan dan menerima autokritik, bahwa khidmah sejati tidak mengenal jabatan, pangkat, atau negosiasi. Ia mengenal keikhlasan, seperti yang dicontohkan para pendahulu, yang berjuang dalam sunyi demi tegaknya martabat umat dan bangsa. Wallahu’alm bishawab.(*)






































