
“Salah satu bentuk perjuangan aspirasi umat muslim terlihat ketika Pak Ud menyelamatkan Revisi Undang-Undang Perkawinan, yang ditengarai merupakan rekayasa Operasi Khusus (Opsus).”
Oleh Aguk Irawan MN
SATU tahun setelah Sumpah Pemuda, tepatnya 3 Agustus 1929, lahirlah satu sosok yang kelak jadi pemuda pemberani, pembela tanah air, agama, bangsa dan negara. Ia adalah Muhammad Yusuf Hasyim, putra Hadratusyeikh Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqoh. Nama Yusuf dipilih tabarrukan atas Nabi Yusuf, negarawan sejati Mesir kuno dalam mengelola perbendaharaan negeri.
Muhammad Yusuf Hasyim memang layak untuk dinobatkan sebagai pahlawan. Setidaknya ada 5 (lima) pertimbangan penting. Pertama, ia lahir di keluarga pahlawan, dengan kultur Nahdliyyah, dan pelanjut tradisi-Sunni keagamaan ala Walisongo.
KH Muhammad Yusuf Hasyim adalah adik KH Abdul Wahid Hasyim, juga bisa disebut paman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dari sini, keluarga besar KH Yusuf Hasyim adalah keluarga pahlawan; ayah, kakak, dan ponakan semua para pejuang. Keluarga pejuang melahirkan keturunan pahlawan.
Kedua, KH Yusuf Hasyim adalah pejuang tanah air. Perjuangan heroisme Muhammad Yusuf Hasyim bisa diurut sejak usianya yang ke-16. Ia mendaftar sebagai anggota Laskar Hizbullah, yang sedang buka pendaftaran antara Desember 1944-Januari 1945. Ia pun memantapkan langkahnya menjadi pejuang, tentara sukarela bukan wajib militer, yang bertugas mempertahankan Pulau Jawa. Muhammad Yusuf Hasyim mengabdi di Batalyon 39 Condromowo.
Setelah dua tahun di Hizbullan dan kemerdekaan sudah tercapai, Muhammad Yusuf Hasyim yang akrab disapa Pak Ud ini pun dipercaya untuk menjabat Komandan Kompi II dengan pangkat Letnan Satu. Awal karier pengabdian Pak Ud adalah keringat dan darah perjuangan.
Tepat pada tanggal 25 Juli 1947, Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari meninggal. Sebagai seorang anak, hati ingin berkabung, mensalati, dan mengiring jenazah ke pemakaman. Namun, tugas memanggil dan Pak Ud harus segera kembali ke medan perang untuk mengamankan Pulau Jawa dari penyerbuan Belanda pimpinan Van Der Plass, yang sudah memasuki wilayah Tebuireng.
Dalam pertempuran itu, beberapa peluru sempat menusuk bahu Pak Ud. Ia mengamankan pasukannya untuk mundur dan melawan dengan cara bergerilya. Pak Ud dan Tentara Republik bergerilya di wilayah Wonosalam, Jombang, hingga desa-desa di Tretes, Mojokerto.
Setelah percobaan pertama gagal, Belanda berusaha kembali untuk merebut Pulau Jawa pada tahun 1949. Pesantren Tebuireng kala itu masuk dalam daftar hitam yang diincar Belanda kali ini. Pak Ud dan pasukannya pun berhasil memukul mundur Belanda di Desa Cukir, Tebuireng. Akhirnya Belanda menyerah, dan Pak Ud sudah memasuki usia yang ke-20.
Ketiga, pahlawan peredam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Satu tahun sebelum percobaan terakhir Belanda itu, tepatnya pada tahun 1948, bangsa Indonesia menghadapi ujian. Kali ini bukan datang dari bangsa asing melainkan datang dari bangsa sendiri yang terpengaruh pikiran asing. PKI melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia yang berkonsentrasi di Madiun.
Ketika pemberontakan PKI meletus di Madiun, Muhammad Yusuf Hasyim kala itu sedang berada di Magetan. Ia bersilaturahmmi kepada KH. Muhammad Nur, pendiri Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin di Takeran, Magetan. Yusuf Hasyim yang baru berusia 19 tahun kala itu memperkuat jaringan pesantren dan mengatur segala strategi mempertahankan tanah air yang baru merdeka.
Mendengar pemberontakan PKI meletus, Yusuf Hasyim pun kembali ke Tebuireng. Ia bergabung dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang bertugas meredam PKI. Kala itu, Yusuf Hasyim ditemani kakanya KH. Kholik Hasyim. Yusuf Hasyim berhasil membebaskan tawanan PKI, di antaranya Kapten Hambali dari Tentara Republik, serta KH. Imam Zarkasi dan KH. Abdullah Sahal yang keduanya pimpinan Pondok Modern Gontor, dan pasukan Condromowo yang dipimpinnya berhasil mempertahankan serbuan Pesantren Gontor dari penggayangan PKI.
Setelah PKI kembali melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia pada tahun 1965, KH Yusuf Hasyim sebagai Pimpinan Ansor kala itu segera menganalisa situasi dan kondisi. KH.Yusuf Haysim berkumpul dengan rekan-rekannya di Jl. Cut Meutia No.1, Jakarta Pusat, Dalam rapat demi rapat itu, Ansor mendapat informasi lebih detail bahwa Gerakan 30 September (Gestapu) adalah perbuatan makar.
Keesokan harinya, Yusuf Hasyim dan rekan-rekannya menuju kediaman Ibu Wahid Hasyim di Jl. Taman Amir Hamzah, yang kemudian dijadikan sebagai pos komando (posko). Rumah tersebut berseberangan dengan kediaman Mayjen Alamsyah Ratuperwiranegara yang dijaga oleh sejumlah prajurit. KH. Yusuf Hasyim menyatakan setuju PKI dibubarkan.
Keempat, pejuang aspirasi Islam. Dua tahun kemudian, 1967, KH Yusuf Hasyim meniti karier pada jalur politik pemerintahan. Ia menerima tawaran Orde Baru untuk menggantikan anggota PKI di DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Pada mulanya, Pak Ud ini menolak. Tapi, karena disebut menggantikan posisi yang ditinggalkan anggota PKI, maka Pak Ud pun menerima dengan dasar untuk memperjuangkan aspirasi Islam.
Salah satu bentuk perjuangan aspirasi umat muslim terlihat ketika Pak Ud menyelamatkan Revisi Undang-Undang Perkawinan, yang ditengarai merupakan rekayasa Operasi Khusus (Opsus). Pak Ud melakukan pemetaan pasal-pasal bermasalah, yang dinilai bertentangan engan akidah Islam. KH. Muhammad Yusuf Hasyim bisa dibilang corong akidah Islam.
Kelima, pendidik yang visioner. KH. Muhammad Yusuf Hasyim telah merintis dan mendirikan Sekolah Tinggi ketika ia menduduki posisinya sebagai aggota DPR-GR. Perguruan Tinggi itu pun mendapatkan izin operasional pada 22 Juni 1967. Dua dekade kemudian, Sekolah Tinggi berubah menjadi Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) pada tahun 1988.
Muhammad Yusuf Hasyim wafat pada tahun 2007. Sementara perubahan nama IKAHA baru terjadi 6 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2013. IKAHA menjadi Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY). Beliau memang tidak sempat menyaksikan buah manis perjuangannya, tetapi generasi kita dan anak cucu kita bisa menikmatinya. Inilah jejak perjuangan seorang berjiwa pahlawan yang memiliki visi jangka panjang.(*)