DR H ROMADLON, MM
“Dalam situasi seperti ini, ulama tidak cukup hanya tampil sebagai penjaga moral publik; mereka harus naik kelas sebagai agen pencerahan yang mendorong umat untuk mandiri secara ekonomi, sosial, dan spiritual.”
Oleh Dr H Romadlon Sukardi, MM*

ADA saat-saat tertentu dalam perjalanan bangsa ketika pergantian kepemimpinan di sebuah lembaga bukan hanya menandai perubahan struktural, tetapi juga membuka cakrawala baru bagi masa depan peradaban.

Penetapan KH Anwar Iskandar sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2025–2030 pada Munas XI MUI di Mercure Ancol, 22 November 2025, adalah salah satu momen historis itu—momen yang menyiratkan arah baru bagi perjalanan moral, spiritual, dan intelektual umat Islam Indonesia.

Kia Anwar bukan sekadar tokoh karismatik dari pesantren, melainkan sosok yang mampu membaca gelombang perubahan zaman dengan kejernihan, kewibawaan, dan kebijaksanaan. Terpilihnya beliau melalui mekanisme musyawarah formatur—sebuah sistem yang mengutamakan kesepakatan, keadilan, dan kebersamaan—menegaskan bahwa MUI tetap setia pada tradisi Ahlul Halli wal Aqdi, musyawarah, dan prinsip syura sebagai fondasi etik kelembagaan.

Kita menyaksikan bagaimana formatur yang terdiri dari 19 tokoh dari berbagai unsur—pimpinan pusat, Dewan Pertimbangan, MUI provinsi, ormas Islam besar, perguruan tinggi Islam, dan pesantren—hadir dengan kesadaran kolektif bahwa kepemimpinan MUI bukan semata urusan organisatoris, tetapi urusan masa depan umat, masa depan bangsa, bahkan masa depan peradaban Islam di Indonesia. Inilah wajah musyawarah yang matang, inklusif, dan mencerminkan kebesaran rumah besar umat Islam Indonesia.

Kepemimpinan dan Harapan Baru

Terpilihnya KH Anwar Iskandar sebagai Ketua Umum MUI 2025–2030, bersama H. Amirsyah Tambunan sebagai Sekretaris Jenderal, H. Misbahul Ulum sebagai Bendahara Umum, serta Prof Dr KH Ma’ruf Amin dan Prof. Dr. H. Zainut Tauhid Sa’adi di pucuk Dewan Pertimbangan, menghadirkan konfigurasi kepemimpinan yang kokoh sekaligus visioner.

Formasi ini bukan sekadar perpindahan estafet, tetapi penegasan bahwa masa depan MUI ditopang oleh tiga energi utama: kedewasaan para sesepuh, ketajaman pemikiran generasi menengah, dan kreativitas generasi baru. Inilah arsitektur kepemimpinan yang memastikan kesinambungan, stabilitas, dan inovasi berjalan dalam satu tarikan nafas.

Dalam lanskap peradaban yang memasuki babak baru — era kecerdasan buatan, transformasi sosial, dan pergeseran geopolitik global — kehadiran figur-figur berkaliber nasional dalam Munas XI MUI memberi pesan yang sangat kuat. Hadirnya KH Ma’ruf Amin, Menteri Agama KH Nasaruddin Umar, Prof. Jimly Asshiddiqie, para pimpinan lembaga tinggi negara, hingga para menteri dan pejabat strategis menunjukkan bahwa MUI tetap berada pada orbitnya sebagai mitra strategis negara. Bukan sekadar mitra formal, melainkan guardian of values yang menjaga jati diri bangsa, stabilitas sosial, dan integritas moral di tengah percepatan perubahan dunia.

Dengan kepemimpinan baru ini, MUI tidak hanya diperkuat oleh legitimasi moral, tetapi juga oleh kepercayaan publik dan negara. Kolaborasi lintas-generasi dan lintas-lembaga yang terbentuk mencerminkan kesiapan MUI memasuki masa depan dengan paradigma baru: lebih inklusif, lebih strategis, lebih responsif, dan lebih terhubung dengan dinamika global. Dalam konteks ini, MUI tidak hanya menjaga harmoni umat, tetapi juga membentuk peta jalan peradaban yang menuntun bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih stabil, beradab, dan berdaya saing tinggi di kancah dunia.

Meneguhkan Kemandirian Bangsa

Tema besar Munas XI, “Meneguhkan Peran Ulama untuk Mewujudkan Kemandirian Bangsa dan Kesejahteraan Rakyat,” bukanlah slogan yang diletakkan untuk mengisi ruang pidato.

Dalam pandangan KH Anwar Iskandar, tema ini merupakan panggilan moral—seruan agar ulama kembali ke garis terdepan, mengisi ruang-ruang strategis peradaban, menuntun arah bangsa, meluruskan niat kolektif, serta memperkuat kemandirian nasional di tengah dunia yang kian saling bergantung. Di era ketika perubahan terjadi dalam hitungan jam, suara ulama harus kembali menjadi jangkar yang mengokohkan fondasi moral dan intelektual masyarakat.

KH Anwar Iskandar menegaskan bahwa Indonesia masih memiliki ketergantungan pada berbagai sektor: mulai dari ekonomi, energi, pangan, hingga teknologi digital yang sebagian besar masih dikendalikan pusat-pusat kekuatan global. Ketergantungan ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut kedaulatan dan masa depan bangsa.

Dalam situasi seperti ini, ulama tidak cukup hanya tampil sebagai penjaga moral publik; mereka harus naik kelas sebagai agen pencerahan yang mendorong umat untuk mandiri secara ekonomi, sosial, dan spiritual. Sebab kemandirian adalah syarat mutlak agar bangsa tetap berdiri tegak dalam percaturan global.

Sejarah panjang Islam mengajarkan hal serupa: bahwa kebangkitan peradaban tidak hanya lahir dari kekuatan spiritual, tetapi juga dari kemandirian ekonomi umat. Peradaban Madinah, Baghdad, Andalusia, hingga kesultanan Nusantara pernah menjadi pusat ilmu dan kemakmuran karena memiliki kekuatan ekonomi yang solid dan berbasis nilai. Di titik inilah pesan KH Anwar Iskandar menemukan relevansinya: bahwa revitalisasi ekonomi umat bukan sekadar agenda teknokratik, tetapi bagian dari misi keulamaan yang menyeluruh—misi untuk mengangkat martabat dan daya saing umat di panggung dunia.

Karena itu, sinergi antara ulama, intelektual, dan para pengusaha muslim bukan lagi pilihan, tetapi keniscayaan strategis. Ketiganya harus bergerak dalam satu ekosistem yang saling menguatkan: ulama memberikan arah moral dan etika; intelektual menyediakan kerangka pemikiran dan peta kebijakan; sementara para pelaku usaha menghadirkannya dalam bentuk inovasi dan kemandirian ekonomi. Pandangan ini secara tegas menggeser paradigma MUI dari lembaga yang sekadar mengeluarkan fatwa menjadi institusi yang membangun peradaban—institusi yang memandang masa depan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk menghadirkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam bentuk yang paling nyata bagi bangsa dan umat manusia.

Kalibrasi Peradaban di Era Digital

Bagi kami di MUI Jawa Timur, memandang dan berharap agar firum Munas ini bukan sekadar agenda lima tahunan, melainkan momen kalibrasi peradaban—sebuah ruang untuk menata ulang kompas moral bangsa di tengah derasnya gelombang perubahan global. Kita hidup di era ketika artificial intelligence menggeser cara berpikir manusia, ketika peta geopolitik dunia semakin cair dan tak terduga, ketika budaya digital membentuk pola konsumsi pengetahuan serta perilaku generasi baru, dan ketika arus globalisasi membawa peluang besar sekaligus potensi gangguan terhadap akidah, moralitas, serta kohesi sosial. Dalam pusaran perubahan yang begitu cepat ini, bangsa Indonesia membutuhkan jangkarnya: prinsip yang kokoh, etika yang terjaga, dan panduan yang tidak hanya berbasis tradisi tetapi juga berbasis visi masa depan.

Karena itu, MUI tidak boleh membatasi dirinya sebagai ruang pengambilan keputusan hukum semata. MUI harus tampil sebagai ruang ijtihad kolektif—ruang peradaban yang mengintegrasikan kearifan klasik Islam dengan tuntutan dunia modern, ruang budaya yang memelihara jati diri bangsa, dan ruang dialog lintas generasi yang menjadi sumber kecemerlangan gagasan umat. Ulama hari ini dituntut bukan hanya arif dan bijak secara moral, tetapi juga cakap secara intelektual, tangkas secara strategis, dan peka terhadap masa depan. Dengan visi inilah MUI diharapkan menjadi mercusuar yang menuntun umat melintasi era digital dengan selamat, bermartabat, dan tetap menjadi bagian mulia dari peradaban dunia.

Peta Jalan Keulamaan Masa Depan

Ada pekerjaan besar menunggu MUI di bawah kepemimpinan baru: Pertama, merumuskan etika digital bagi masyarakat muslim. Kedua, Memperkuat ekologi spiritual agar manusia tetap memiliki kedalaman di tengah modernitas. Ketiga, memperkokoh keamanan sosial dan moral di era keterbukaan informasi. Keempat, menyusun arah ekonomi syariah yang lebih kompetitif, unggul, dan global.

Semua kerja besar ini hanya mungkin dilakukan jika MUI menjadi lembaga yang diterangi hikmah, keberanian intelektual, dan keluasan pandangan.

Harapan Kepemimpinan Baru

Sebagai Ketua Komisi Hubungan Ulama–Umara MUI Jawa Timur, seraya mengangkat kedua tangan, memohon kepada Allah SWT: “Ya Allah, berikanlah kepada para pemimpin kami hikmah yang menuntun, kejernihan musyawarah, dan kekuatan untuk membawa umat ini menuju masa depan yang lebih damai, adil, dan penuh berkah. Jadikanlah MUI sebagai pelita yang tidak pernah padam, menjaga umat dari kebingungan zaman dan menuntun bangsa menuju kemuliaan.”

Penutup: Menuju Peradaban Baru

Kepemimpinan baru MUI 2025–2030 bukan hanya pergantian nama. Ia adalah gerbang baru menuju Indonesia yang: matang secara spiritual, tangguh secara intelektual, mandiri secara ekonomi, serta terhubung secara positif dengan peradaban global.

Munas XI ini menegaskan bahwa ulama tetap menjadi penyangga utama peradaban bangsa. Selama ulama bersatu, bermusyawarah, dan berpandangan jauh ke depan, maka insyaAllah umat dan bangsa ini akan tetap berjalan di jalan kemaslahatan.

Semoga langkah-langkah ke depan MUI selalu diridhai Allah SWT. Amin.

*Dr H Romadlon Sukardi, MM adalah Ketua Komisi Hubungan Ulama–Umara MUI Provinsi Jawa Timur.

 

 

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry