FT/izzamedia

Oleh: Mokhammad Kaiyis

NAMANYA sangat layak dijejer dengan nama orang-orang sholeh. Dialah Abu Ali, pemilik nama panjang Fudhail bin Iyadh at-Tamimi al-Khurasani. Ulama besar yang menjadi salah seorang junjungan para zahid.

Dia lahir dan besar di daerah Samarkand. Sebelum Allah SWT. memasukkan hidayah ke dalam hatinya, Fudhail dikenal sebagai lelaki kasar, keras, bahkan perampok yang suka mengganggu keamanan di jalan.

Suatu ketika, dia panjat rumah orang. Tetapi, belum juga menggarong barang-barang, tubuh Fudhail bin Iyadh tiba-tiba bergetar. Hatinya luluh, begitu mendengar pemilik rumah membaca Alquran surat al-Hadid (57) ayat 16. “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?”.

Mendengar ini, Fudhail pelan-pelan turun dari atap (rumah) orang itu. “Benar, wahai Tuhanku! Engkau memang Maha Benar!” katanya dalam hati.

Niat jahatnya dibuang jauh. Dia kembali dengan tangan kosong. Saat itu juga diputuskan untuk berkelana mencari ilmu menuju Makkah, dan bertekad menghabiskan hidupnya di samping Baitulllah al-Haram.

Dijalani hidupnya dengan perasaan takut dan zuhud. Dia membasahi dahinya dengan keringat malu kepada Allah SWT. Kesungguhan Fudhail bin Iyadh membuat ulama-ulama di Makkah hormat kepadanya.

“Aku tidak melihat ada seseorang yang meletakkan Allah lebih besar di dadanya dari pada Fudhail,” kata Ibrahim bin Asy’ats.

Hal yang sama disampaikan Sufyan bin ‘Uyainah. “Aku tidak melihat seseorang yang lebih takut kepada Allah SWT dari pada Fudhail.”

Keilmuan dan kewaraannya membuahkan hikmah yang menyelinap dalam kalbunya. Suatu ketika, ia ditanya santrinya tentang apa itu zuhud, wara dan ibadah?

Apa jawabnya? “Zuhud itu adalah qonaah, wara itu jauh dari perkara haram, ibadah adalah menjalankan perkara fardlu, sementara yang disebut tawadhu adalah tunduk dan patuh kepada kebenaran,” demikian fatwanya.

Masih dalam pesan Fudhail, meninggalkan suatu amal karena manusia, adalah riya, dan menjalankan suatu amal karena manusia, adalah syirik.

Fudhail terkenal kecintaannya pada khalwat. Di dalam hatinya terpatri sifat introspeksi diri. Bila menyendiri, dia pegang tongkat nasihat untuk mendidik diri sendiri.

“Kamu berhias untuk manusia. Kamu berlagak untuk mereka, bersiap-siap juga untuk mereka. Kamu senantiasa terus riya sampai mereka mengenalmu dan mengagungkanmu. Rugilah engkau! Begitu buruk keadaanmu bila demikian sifatmu!” begitu ia menasihati dirinya.

***

Dia tidak gila hormat, tetapi kebersihan hatinya sungguh layak mendapatkannya. Dia pernah berkhotbah dan mengatakan: ”Dunia bukanlah negeri tempat tinggal. Tahukah kita bahwa Nabi Adam as. dijatuhkan ke dunia ini sebagai hukuman. Haram rasanya menikmati manisnya iman, sebelum kita zuhud terhadap dunia,” katanya.

Khalifah Harun al-Rasyid memuji kewara’annya. Menurut khalifah, ialah ulama besar yang patut menjadi rujukan. “Mataku belum pernah melihat seseorang seperti Fudhail bin Iyadh,” katanya.

Suatu hari, kata khalifah, aku menemuinya. Lalu Fudhail membisikkan pesan: “Kosongkan hatimu untuk rasa sedih dan takut sampai keduanya mengakar di hatimu, sehingga keduanya memutusmu dari maksiat dan menjauhkanmu dari neraka.”

Pada musim haji, Amirul Mukminin Harun al-Rasyid bertolak ke Masjidil Haram. Kepada ajudannya (Ibnu Rabi’) ia minta dicarikan seseorang yang bisa ditanya tentang berbagai hal. Konon, Sufyan bin ‘Uyainah termasuk ulama yang didatanginya. Harun mendapat penghormatan. “Amirul Mukminin, engkau cukup mengutus orang ke mari, maka kami siap datang ke rumahmu,” kata Sufyan.

Tetapi, tidak bagi Fudhail bin Iyadh. Ketika Ibnu Rabi’ mengetuk pintunya, dan mengatakan telah datang ke rumahmu orang besar Amirul Mukminin Harun al-Rasyid, Fudhail justru tidak menyambutnya. Ia bertanya apa mau sang khalifah. “Apa urusannya amirul mukminin dengan ku, wahai Ibnu Rabi’?” tanya Fudhail.

Ajudan sang khalifah sedikit geram. “Subhanallah! Bukankah engkau wajib taat kepadanya, wahai Fudhail,” jawabnya dengan nada tinggi.

Dia kemudian keluar. Khalifah bersama ajudannya diminta masuk. Ruang tamunya luar biasa gelap, sampai-sampai harus meraba untuk mengetahui posisi tuan rumah. Tangan Harun al-Rasyid lebih dulu menyentuh tubuh Fudhail.

Apa katanya? “Betapa lembutnya tangan ini bila esok ia benar-benar selamat dari azab Allah,” katanya.

Lalu, kalimat yang keluar berikutnya: “Ingat! Saat Umar bin Abdul Aziz menerima jabatan khalifah dia menyebutnya sebagai ujian. Sementara engkau, terutama teman-temanmu menganggapnya sebagai nikmat,” begitu nasihatnya.

Mendengar ini, Harun al-Rasyid menangis bahkan sampai pingsan. Ibnu Rabi’ pun gelagapan. “Wahai Fudhail, kasihanilah amirul mukminin? Engkau keterlaluan.”

Apa jawab Fudhail? “Wahai Ibnu ummi Rabi’, engkau dan teman-temanmu telah membunuhnya. Sementara aku hanya kasihan kepadanya.”

Setelah itu, sang khalifah sadar, dan berharap Fudhail berkenan untuk menjadi penasihatnya. Subhanallah! Semoga Allah SWT. senantiasa melimpahkan rahmat kepadanya, amin. (dari berbagai sumber)