
“Jatim menemukan ritme elegan. Sikap Khofifah yang mengimbau agar PBB tidak dinaikkan sembarangan adalah tanda kedewasaan sebuah tata kelola. Pembangunan sejati bukan rakyat dipaksa menanggung beban sendirian, melainkan mereka diajak tumbuh bersama.”
Oleh: Dr H ROMADLON, MM*
LAGI-LAGI, di tengah gelombang kebijakan fiskal yang acapkali mengabaikan denyut nadi masyarakat kecil, muncul sosok Gubernur Jawa Timur yang memilih berjalan di lintasan berbeda — dengan kesadaran dan kepedulian. Melalui sapaan penuh nurani yang menyeberang jarak birokrasi, Khofifah Indar Parawansa menyampaikan pesan tegas: “Jangan menaikkan PBB yang tidak sesuai kemampuan masyarakat.”
Kata-kata ini bukan sekadar aba-aba administratif, melainkan cermin keteguhan hati seorang pemimpin yang memahami bahwa pajak adalah urat nadinya pembangunan, bukan beban meredam napas rakyat.
Dalam narasi ini, kita menelusuri lebih dalam: bagaimana kebijakan ini hadir sebagai oasis kebijakan publik, mengurai ketegangan antara kewajiban fiskal dan kepekaan kultural, membandingkan prestasi Jatim dengan provinsi lainnya, dan memahami landasannya melalui data yang kuat dan perspektif para ahli.
***
Di Jawa Timur, kabar kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sempat mengalun tak harmonis—seakan lupa bahwa ia dibayar oleh petani di kaki pegunungan, pedagang batik di lorong pasar, hingga guru honorer menyiapkan anak bangsa.
Benar, PBB bukan wewenang provinsi—tanggung jawab itu ada di kabupaten/kota, sebagai bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun ketika sebagian pemerintah daerah mulai menggulirkan kenaikan tarif tanpa kompas empati, Khofifah tampil sebagai oase kepekaan di tengah debur pragmatisme fiskal.
Dalam pertemuan daring dan tatap muka dengan bupati dan wali kota se-Jatim, Gubernur Khofifah mengingatkan betapa mendesaknya menakar beban pajak dengan lirih rakyatnya. Kebijakan ini bukan semata pil pahit administrasi, tetapi upaya menegakkan harmoni antara keberlanjutan pembangunan dan daya tahan masyarakat.
Bahkan, beberapa daerah menindaklanjutinya dengan diskon hingga 35 persen—sebuah pelukan fiskal kepada warga yang berjuang di balik angka-angka statistik. Imbauan serupa datang dari Wakil Gubernur Emil Dardak, menandakan bahwa keteguhan hati ini adalah gema yang merata di lembaga provinsi.
-
Kepekaan Dibalik Angka
Dalam diskursus kebijakan publik, angka bukan sekadar deretan nominal yang kaku, melainkan cerminan dari denyut kehidupan masyarakat. Pandangan ini ditegaskan oleh Dr. Ayu Kartika pakar kebijakan publik sekaligus pengamat fiskal dari Universitas Airlangga, yang menuturkan dengan lugas: “Pajak harus dijalankan dengan mata yang peka dan hati yang ramah. Ketika pemerintah daerah menyadari konteks sosial-ekonomi dalam menetapkan tarif, legitimasi dan kepatuhan pajak tumbuh secara organik.”
Pernyataan tersebut mengandung pesan penting: keberhasilan fiskal tidak hanya diukur dari tingginya angka penerimaan, tetapi dari sejauh mana kebijakan itu berakar pada rasa keadilan masyarakat. Pajak yang ditetapkan tanpa sensitivitas sosial berisiko menimbulkan resistensi, sebaliknya kebijakan yang lahir dari empati akan dipandang sebagai instrumen gotong royong untuk membangun bersama.
Inilah yang membedakan Jawa Timur dari provinsi lain. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pendekatan fiskal masih cenderung menekankan pada kuantitas penerimaan—target tinggi dikejar, namun sering melahirkan keluhan di lapangan, terutama dari kelompok masyarakat kecil yang merasa terbebani. Resistensi dan ketidakpatuhan masih kerap muncul sebagai konsekuensi kebijakan yang kurang menyerap realitas sosial-ekonomi warga.
Sebaliknya, Jawa Timur di bawah kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa menghadirkan wajah baru kebijakan fiskal: peka, ramah, dan berkeadilan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), misalnya, tidak hanya dijadikan instrumen pemasukan, melainkan sekaligus instrumen kepedulian. Kebijakan relaksasi, insentif bagi kelompok rentan, hingga program sosial yang dibiayai dari penerimaan pajak menjadi bukti bahwa angka-angka fiskal di Jatim memiliki ruh kemanusiaan.
Inilah alasan mengapa Jawa Timur layak disebut role model nasional. Ketika daerah lain masih berkutat pada logika “setoran” dan angka-angka kering, Jatim justru menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang peka bukan hanya meningkatkan kepatuhan warga, tetapi juga memperkuat legitimasi sosial pemerintah. Pajak di Jawa Timur tidak lagi sekadar kewajiban administratif, melainkan simbol solidaritas, keadilan, dan kepercayaan rakyat.
Dengan pendekatan ini, Jawa Timur tidak hanya unggul secara angka, tetapi juga berkelas secara moral. Sebuah pelajaran penting bahwa di balik setiap angka fiskal, selalu ada wajah rakyat yang harus dihormati.
- Diskon 35 %: Kebijakan Bermartabat
Kebijakan diskon hingga 35% terhadap Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang digagas melalui dorongan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa merupakan langkah visioner yang sarat nilai kemanusiaan. Bukan sekadar strategi fiskal, kebijakan ini adalah wujud nyata keberpihakan pemerintah daerah kepada rakyatnya. Di tengah kebutuhan pembangunan yang besar, keputusan memberikan keringanan pajak menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat tetap ditempatkan sebagai prioritas utama.
Lebih dari itu, kebijakan ini mencerminkan kepemimpinan yang bermartabat dan elegan. Dengan memberi ruang kelonggaran, masyarakat merasa dihargai sekaligus didorong untuk tetap patuh membayar kewajiban. Di sisi lain, pemerintah daerah tetap mampu menjaga penerimaan fiskalnya dengan basis kepatuhan yang lebih sukarela, bukan paksaan. Inilah harmoni antara kebutuhan negara dan daya tahan ekonomi rakyat—sebuah keseimbangan yang jarang dimiliki oleh banyak daerah lain.
Kebijakan diskon PBB 35% juga menegaskan Jawa Timur sebagai pionir inovasi fiskal yang mengedepankan keadilan sosial. Efek ganda yang tercipta sangat jelas: kepatuhan masyarakat meningkat, daya beli tetap terjaga, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin kuat. Dengan model kebijakan yang empatik namun tetap rasional ini, Jawa Timur sekali lagi membuktikan diri sebagai role model nasional dalam mengelola keuangan daerah secara berkelas, beradab, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama.
- Data PAD & PBB: Tantangan dan Realitas
Jawa Timur hari ini meneguhkan posisinya sebagai salah satu kekuatan fiskal terbesar di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jatim pada periode 2021–2022 berada di kisaran Rp 18–19 triliun, menempatkannya sebagai salah satu provinsi dengan kapasitas keuangan daerah yang paling tangguh. Besarnya PAD ini menjadi fondasi penting bagi Jawa Timur untuk terus bergerak maju dalam menopang pembangunan, memperkuat daya saing ekonomi, serta menjaga peran strategisnya sebagai lokomotif pertumbuhan nasional.
Namun, di balik kekuatan itu, terdapat realitas tantangan yang sekaligus membuka peluang besar. Studi terbaru mencatat bahwa rata-rata rasio pajak daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota di Jatim masih berkisar 0,30–0,32%. Angka ini relatif rendah, tetapi juga menandakan adanya ruang pertumbuhan fiskal yang amat luas. Kota Batu yang mampu menyumbangkan pajak lebih dari 80% terhadap PAD memperlihatkan bagaimana inovasi lokal bisa menjadi teladan, sementara daerah lain seperti Trenggalek dan Tulungagung menyimpan potensi besar untuk ditumbuhkan melalui strategi yang lebih adaptif dan inklusif.
Dari sinilah Jawa Timur bisa menegaskan diri bukan hanya sebagai “raksasa fiskal”, tetapi juga sebagai laboratorium keadilan dan keberlanjutan pembangunan. Menguatkan PAD tidak cukup hanya dengan menaikkan tarif, melainkan dengan membangun sistem fiskal yang modern, adil, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat di semua wilayah. Jika langkah ini terus ditempuh dengan kebijakan yang cermat dan visioner, Jawa Timur akan tampil bukan sekadar sebagai provinsi dengan angka-angka yang besar, melainkan juga sebagai model global dalam mengelola potensi fiskal yang kuat sekaligus merata dan berkelanjutan.
- Perbandingan Strategis dengan Provinsi Lain
Gambaran fiskal antarprovinsi di Pulau Jawa menunjukkan betapa pilihan kebijakan dapat berimplikasi luas pada relasi antara pemerintah daerah dan rakyat.
Di Jawa Tengah, publik dikejutkan oleh kontroversi kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250% di Kabupaten Pati. Kebijakan ini menuai kecaman langsung dari Gubernur Ahmad Luthfi karena dinilai tidak elok dan tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat, apalagi di tengah inflasi dan tekanan ekonomi. Kasus ini menunjukkan bahwa keputusan fiskal yang terburu-buru dan tidak berempati berpotensi merusak kepercayaan sosial, meski secara angka tampak ingin memperbesar PAD.
Sementara itu, di Jawa Barat, langkah berbeda diambil. Pemerintah Kabupaten Bandung Barat, misalnya, lebih memilih untuk menghapus tunggakan PBB senilai Rp 400 miliar. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat yang terdampak krisis ekonomi. Namun, konsekuensi fiskalnya cukup besar: *PAD berkurang signifikan, yang berpotensi membatasi ruang fiskal pembangunan daerah.* Strategi ini menonjolkan aspek sosial, tetapi mengorbankan kapasitas fiskal jangka menengah.
Berbeda dengan keduanya, Jawa Timur tampil dengan strategi yang lebih elegan dan berkelas. Gubernur Khofifah Indar Parawansa mengambil posisi tengah yang visioner: menahan laju kenaikan PBB agar tidak membebani rakyat, sekaligus menghadirkan diskon yang proporsional. Strategi ini menandai sebuah kebijakan fiskal yang tidak kaku, melainkan responsif dan empatik.
Inilah keunggulan Jawa Timur: tidak terjebak pada kontroversi fiskal yang memicu resistensi sosial seperti di Jateng, dan tidak pula kehilangan ruang fiskal besar seperti di Jabar. Melainkan, Jatim menghadirkan jalan tengah yang strategis—memadukan kepedulian sosial dengan keberlanjutan fiskal. Dengan pendekatan ini, Jawa Timur berhasil membangun modal sosial berupa kepercayaan publik sekaligus menjaga stabilitas PAD sebagai sumber daya pembangunan.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa Jawa Timur tidak sekadar bermain pada level teknokratis, melainkan menghadirkan kelas kepemimpinan masa depan: fiskal yang berkeadilan, pembangunan yang berkelanjutan, dan empati yang nyata. Sebuah keseimbangan yang patut dijadikan rujukan nasional.
- Keunggulan Jawa Timur dalam Lanskap Fiskal Nasional
Jawa Timur memiliki PAD yang besar, namun dengan tax ratio yang masih rendah. Fakta ini bukan kelemahan, melainkan ruang fiskal potensial yang bisa terus dikembangkan. Justru di sinilah letak keunggulan Jatim: ada cadangan energi fiskal yang belum sepenuhnya tergarap, namun dapat dioptimalkan dengan kebijakan yang ramah masyarakat.
Khofifah membaca kondisi ini dengan jernih. Ia memahami bahwa menaikkan pajak secara serampangan hanya akan memicu resistensi sosial, bahkan berisiko menggerus ketaatan sukarela rakyat (voluntary compliance). Karena itu, imbauannya untuk menahan diri, tidak gegabah menaikkan PBB, adalah langkah yang visioner sekaligus penuh empati.
Inilah titik pembeda Jawa Timur dibanding daerah lain. Di saat sebagian provinsi memilih pendekatan fiskal kaku, Jatim menempuh jalan humanis—membangun hubungan timbal balik yang sehat antara pemerintah dan rakyat. Pajak diposisikan bukan sebagai beban, tetapi sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan bersama.
Kebijakan publik berbasis empati semacam ini bukan sekadar strategi politik jangka pendek, melainkan fondasi sosial yang kokoh untuk pertumbuhan jangka panjang. Ketika masyarakat merasa didengar, dihargai, dan tidak diperas oleh angka-angka, maka kesadaran kolektif untuk taat pajak tumbuh alami, bukan karena tekanan, melainkan karena kepercayaan.
Dengan pendekatan ini, Jawa Timur berhasil menempatkan diri sebagai provinsi yang tidak hanya unggul dalam angka, tetapi juga dalam kualitas relasi negara dan rakyatnya. Inilah bentuk kepemimpinan kelas tinggi: membangun tanpa membebani, memimpin dengan hati, dan menumbuhkan fiskal dengan rasa percaya.
Dengan bahasa yang lain,bahwa Provinsi Jawa Timur menyimpan daya fiskal yang besar. PAD yang kuat namun dengan tax ratio yang masih rendah ibarat mesin masa depan yang belum dipacu pada putaran penuh. Artinya, ada energi yang belum sepenuhnya dimanfaatkan—sebuah potensi yang, bila dikelola dengan tepat, akan menjadi sumber daya berkelanjutan layaknya energi terbarukan yang tak pernah habis.
Ibu Khofifah Indar Parawansa membaca kondisi ini bukan dengan kalkulasi kering, melainkan dengan mata hati. Ia memahami, menaikkan pajak secara sembrono bagaikan membakar mesin dengan panas berlebihan: cepat, tetapi merusak. Sebaliknya, kebijakan fiskal yang ramah masyarakat justru akan menyalakan mesin itu secara bertahap, konsisten, dan tahan lama.
Imbauannya agar PBB tidak dinaikkan sembarangan adalah bentuk kebijakan visioner: meredam potensi resistensi sosial sekaligus menjaga bahan bakar kepercayaan rakyat. Dalam dunia fiskal, kepercayaan adalah energi paling murni—lebih kuat daripada aturan, lebih tahan lama daripada paksaan. Ketika rakyat percaya, mereka akan patuh bukan karena takut, tetapi karena merasa memiliki.
Inilah keunggulan Jawa Timur dibanding provinsi lain. Jika sebagian daerah terjebak dalam kebijakan fiskal jangka pendek—menguras rakyat demi angka di laporan—maka Jawa Timur membangun strategi jangka panjang. Pajak diperlakukan bukan sebagai beban, tetapi sebagai investasi sosial, sebagai energi yang menggerakkan mesin pembangunan kolektif.
Hasilnya, Jawa Timur tidak hanya unggul dalam besarnya PAD, tetapi juga dalam kualitas relasi antara pemerintah dan rakyat. Kebijakan berbasis empati ini menjadikan fiskal Jawa Timur bukan sekadar alat birokrasi, tetapi “mesin sosial masa depan”—yang bahan bakarnya adalah kepercayaan, dan tenaganya adalah kebersamaan.
Inilah kelas kepemimpinan Khofifah: membangun tanpa membebani, menyalakan mesin fiskal tanpa menguras rakyat, dan mengarahkan Jawa Timur menuju masa depan yang berkelanjutan, elegan, dan penuh keberkahan.
- “Fiskal Humanis 5.0: Pajak Sebagai Jembatan Kepercayaan, Bukan Beban”
Ketika seorang pemimpin memilih mendengar lebih dari sekadar berteriak ke statistik, di situlah lahir sebuah kepemimpinan yang manusiawi. Khofifah Indar Parawansa tidak menafsir angka sebagai sekadar tabel kaku, tetapi sebagai refleksi wajah rakyatnya. Di balik data ada kisah: ibu-ibu yang menyulam tenun untuk menghidupi keluarga, kuli sawah yang sudah bangun sebelum fajar, anak desa yang belajar menulis di teras rumah di bawah lampu redup.
Gaya kepemimpinan seperti ini membalik paradigma lama. Pajak bukan lagi sekadar instrumen negara yang “membebani” rakyat, melainkan berubah menjadi simbol kepercayaan dan kolaborasi. Kebijakan diskon Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diluncurkan Khofifah bukanlah gestur teknokratis dingin, melainkan pernyataan empati politik—sebuah pesan yang sederhana namun dalam: “Saya memahami beban Anda, saya bersama Anda.”
Dalam pusaran antara kebutuhan pembangunan yang terus menggedor dan sensitivitas sosial yang menuntut keadilan, Jawa Timur menemukan ritme elegan. Sikap Khofifah yang mengimbau agar PBB tidak dinaikkan sembarangan adalah tanda kedewasaan sebuah tata kelola. Pembangunan yang sejati bukanlah ketika rakyat dipaksa menanggung beban sendirian, melainkan ketika mereka diajak tumbuh bersama dengan semangat saling percaya.
Bandingkan dengan beberapa provinsi lain yang terguncang polemik kebijakan fiskal—ada yang terjebak dalam kontroversi kenaikan pajak, ada pula yang terpaksa mengorbankan potensi PAD demi popularitas sesaat. Jawa Timur justru memilih jalur yang tenang, rasional, dan sarat pertimbangan moral. Inilah kelas politik masa depan: ketika keberanian mengambil keputusan berpadu dengan empati sosial.
Secara statistik, potensi pajak daerah di Jawa Timur masih sangat besar. Tax ratio memang menunjukkan ruang optimalisasi yang lebar. Namun dengan pendekatan fiskal yang berperasaan ini, pertumbuhan PAD dan tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) diprediksi tidak hanya meningkat secara numerik, tetapi juga didorong oleh kesadaran kolektif rakyat. Pajak bukan dipandang sebagai kewajiban yang dipaksakan, melainkan kontribusi sukarela yang lahir dari rasa memiliki terhadap pembangunan.
Sebagai penutup, narasi ini menegaskan bahwa kebijakan publik dengan wajah humanis, inklusif, dan empatik seperti yang diperlihatkan Khofifah adalah perilaku berkelas yang pantas menjadi teladan nasional. Dalam langkah menuju masa depan, suara rakyat tidak boleh diperlakukan sebagai angka yang dingin, apalagi beban yang terabaikan. Ia harus terus menjadi kompas, cahaya, dan energi pembangunan.
Inilah fiskal masa depan Jawa Timur: humanis, visioner, dan penuh kepercayaan. Sehingga, “Dari angka menuju rasa, fiskal humanis Khofifah adalah wajah masa depan.”
- Provinsi Jawa Timur Sebagai Role Model
Dalam percaturan kebijakan fiskal di tingkat nasional, Jawa Timur tampil bukan hanya sebagai provinsi besar, tetapi juga sebagai provinsi penentu arah. Di tengah dinamika ekonomi yang penuh ketidakpastian, langkah-langkah kebijakan fiskal sering kali diuji oleh dua kutub ekstrem: terlalu keras menekan rakyat dengan beban pajak, atau terlalu longgar hingga menggerus kemampuan fiskal daerah.
Jawa Tengah memberikan contoh nyata ketika kenaikan PBB hingga 250% di Kabupaten Pati justru menimbulkan gelombang penolakan publik dan kecaman dari gubernurnya sendiri. Ini membuktikan, pendekatan fiskal yang tanpa sensitivitas sosial dapat menimbulkan resistensi luas, bahkan mengikis legitimasi pemerintah daerah.
Jawa Barat menempuh jalur sebaliknya. Dengan menghapus tunggakan PBB senilai Rp 400 miliar di Kabupaten Bandung Barat, kebijakan ini memang menunjukkan empati sosial, tetapi dengan harga mahal: hilangnya ruang fiskal yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kesinambungan pembangunan daerah. Strategi ini lebih bersifat reaktif, tanpa kalkulasi keberlanjutan yang matang.
Di antara dua ekstrem tersebut, Jawa Timur di bawah kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa berhasil menghadirkan keseimbangan yang elegan dan berkelas dunia. Kebijakan menahan kenaikan PBB serta menghadirkan diskon terukur adalah bentuk kepemimpinan fiskal yang humanis sekaligus visioner. Tidak jatuh ke dalam kontroversi yang melemahkan legitimasi, tidak pula mengorbankan kapasitas fiskal demi populisme sesaat.
Inilah alasan mengapa Jawa Timur layak disebut role model. Strateginya membuktikan bahwa pembangunan tidak harus lahir dari pemerasan rakyat, tetapi bisa tumbuh dari kepercayaan publik yang dikelola dengan bijak. Bahwa fiskal bukan hanya soal angka, melainkan tentang membangun jembatan kepercayaan antara negara dan rakyatnya.
Bagi pihak-pihak yang masih nyinyir terhadap kepemimpinan Khofifah, fakta ini adalah jawaban paling telak: kepemimpinan berkelas tidak diukur dari nyaringnya kritik, tetapi dari tenangnya solusi yang mampu menyeimbangkan rasa dan angka, empati dan strategi, rakyat dan pembangunan.
Jawa Timur bukan hanya sukses menjaga PAD tetap besar dengan tax ratio yang masih menyimpan potensi, tetapi juga berhasil menata ruang fiskal dengan wajah kemanusiaan. Itulah sebabnya, Jawa Timur tidak sekadar menjadi provinsi kuat, melainkan menjadi provinsi teladan—sebuah laboratorium kebijakan publik yang bisa menginspirasi provinsi lain di Indonesia, bahkan dunia.
- “Membangun tanpa membebani—itulah kelas Jawa Timur.”
Pada akhirnya, setiap kebijakan adalah amanah, dan setiap amanah kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ. Maka, ketika pemimpin berani menempatkan empati di atas ego, rasa di atas angka, itu sejatinya adalah jalan ibadah.
Semoga kebijakan yang lahir dari hati ini menjadi shodaqoh jariyah bagi pemimpin dan rakyat Jawa Timur. Semoga Allah ﷻ meneguhkan langkah-langkah kita, menjadikan pajak sebagai sarana keberkahan, bukan beban yang menyiksa.
Kita panjatkan doa, sebagaimana doa para ulama: Allahumma aj‘al baladana baladan āminan mutma’inna, ya’tīhi rizquhu ragadan min kulli makān. Ya Allah, jadikanlah negeri kami negeri yang aman, tenteram, dan limpah rezeki dari segala arah.”
Dengan begitu, Jawa Timur bukan hanya tumbuh dalam pembangunan, tapi juga dalam keberkahan. Dan Khofifah bukan hanya menjadi gubernur bagi rakyatnya, tetapi juga saksi amal shalih di hadapan Rabbnya. Wallahu A’lamu Bisshawab.
*DR. H. ROMADLON, MM adalah Pemerhati Kebijakan Publik, Kolumnis Pengembangan SDM, Lingkungan Hidup, Ekonomi Kerakyatan, dan Isu Strategis Pembangunan Daerah.





































