
PATANI | duta.co – Dalam perbincangan tentang demokrasi di Asia Tenggara, kelompok minoritas sering kali diposisikan semata sebagai objek kebijakan, penerima dampak, atau bahkan sumber persoalan. Jarang sekali mereka dilihat sebagai subjek moral yang mampu menawarkan nilai dan arah bagi kehidupan demokrasi.
Namun, pengalaman masyarakat Muslim di Thailand Selatan— khususnya Patani—menunjukkan gambaran yang berbeda. Di tengah status sebagai minoritas dalam negara mayoritas Thai Buddhis, justru muncul inisiatif etis yang relevan bagi praktik demokrasi secara lebih luas.
Salah satu isu utama yang disorot adalah politik uang atau risywah, praktik yang kerap dianggap lumrah dalam kontestasi elektoral di banyak negara berkembang. Dalam perspektif Islam, risywah merupakan perbuatan yang dilarang karena merusak prinsip keadilan dan amanah. Rasulullah SAW mengecam praktik suap dalam urusan publik dan hukum, baik dari pihak pemberi maupun penerima (HR. Abu Dawud). Larangan ini menegaskan bahwa kekuasaan tidak boleh diperoleh melalui transaksi materi, melainkan melalui kepercayaan dan tanggung jawab moral.
Pandangan ini sejalan dengan teori demokrasi normatif yang menempatkan kebebasan memilih dan kesetaraan politik sebagai fondasi utama. Robert Dahl menyatakan bahwa demokrasi kehilangan maknanya ketika proses politik didominasi oleh ketimpangan sumber daya, termasuk uang (Dahl, 1989). Politik uang menjadikan suara rakyat sebagai komoditas, bukan ekspresi kehendak bebas warga negara. Akibatnya, representasi politik menjadi timpang dan kebijakan publik cenderung melayani kepentingan segelintir elite (UNDP, 2016).
Kesadaran akan persoalan inilah yang mendorong sebagian masyarakat sipil Muslim Patani di Thailand Selatan untuk bersuara. Pada 25 Desember 2025, perwakilan pemuda Patani bersama jaringan komunitas dan kelompok Projek Sama Sama mengajukan surat terbuka kepada pimpinan lembaga keislaman di wilayah selatan Thailand. Surat tersebut meminta adanya kejelasan dan penegasan hukum agama (hukm) terkait praktik jual beli suara dalam konteks pemilu lokal dan nasional yang akan berlangsung pada awal 2026 (Wartani, 2025).
Langkah ini berangkat dari realitas sosial bahwa di tingkat akar rumput masih terdapat perbedaan tafsir. Sebagian masyarakat memandang uang atau barang dari kandidat sebagai sedekah atau bantuan sosial, sementara sebagian lain menilainya sebagai suap politik yang diharamkan. Perbedaan pandangan ini menciptakan kebingungan normatif dan melemahkan sikap kolektif masyarakat dalam menjaga integritas demokrasi (Wartani, 2025). Dalam kerangka fiqh siyasah, kondisi semacam ini menuntut kejelasan norma demi menjaga kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah) dan mencegah kerusakan sosial (mafsadah) (AlGhazali, 1993).
Dukungan terhadap kampanye etika politik ini juga datang dari para aktivis lokal. Zahri Ishak, salah satu aktivis masyarakat di Patani, menyampaikan melalui media sosial bahwa kampanye menolak risywah mulai menyebar luas dan mendapat respons positif. Ia mengungkap bahwa kesepakatan publik untuk tidak menerima uang pemilu perlu terus diperluas dan dijaga konsistensinya (Zahri, 2025). Pernyataan ini mencerminkan tumbuhnya kesadaran kolektif bahwa menjaga etika politik adalah tanggung jawab bersama, bukan semata tugas negara atau lembaga resmi.
Menariknya, gerakan ini tidak hanya mengandalkan pendekatan moral tradisional, tetapi juga memanfaatkan ruang digital sebagai arena politik baru. Projek Sama Sama mendorong generasi muda untuk menggunakan media sosial sebagai ruang deliberasi publik: mengumpulkan aspirasi warga, melakukan pemeriksaan fakta atas informasi yang beredar, serta membangun narasi komunitas dari sudut pandang masyarakat sendiri (Projek Sama Sama, 2025). Dalam konteks ini, demokrasi tidak hanya berlangsung di bilik suara, tetapi juga di ruang digital yang dikelola secara sadar dan bertanggung jawab.
Dari sudut pandang etika Islam kontemporer, praktik ini sejalan dengan pandangan Yusuf alQaradawi yang menegaskan bahwa korupsi politik, termasuk suap dalam pemilu, merupakan pengkhianatan terhadap amanah publik dan bertentangan dengan tujuan utama syariat (maqasid al-shari‘ah), khususnya dalam menjaga keadilan dan kemaslahatan masyarakat (AlQaradawi, 1997). Dengan demikian, penolakan terhadap politik uang bukan sekadar idealisme moral, melainkan bagian dari upaya menjaga tatanan sosial yang adil.
Pengalaman Muslim Patani memberikan pelajaran penting bahwa posisi sebagai minoritas tidak identik dengan sikap pasif atau eksklusif. Sebaliknya, melalui pendekatan etika, minoritas justru dapat berkontribusi pada penguatan demokrasi secara substantif. Ketika suara minoritas digunakan untuk menegaskan nilai kejujuran, amanah, dan martabat politik, demokrasi menemukan kembali maknanya sebagai sarana keadilan sosial, bukan sekadar arena perebutan kekuasaan.
Dalam konteks masyarakat multikultural, pelajaran dari Patani relevan melampaui batas geografisnya. Ia mengingatkan bahwa demokrasi yang sehat tidak hanya ditopang oleh institusi dan hukum, tetapi juga oleh kesadaran moral warga. Ketika minoritas berani berbicara tentang etika, sesungguhnya mereka sedang mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga martabat demokrasi itu sendiri.





































