
“Ramadan ini meneguhkan sekaligus mengurai betapa ajaran agama mampu menggerakkan peradaban. Budaya mudik, sambang emak-bapak di pedesaan merupakan alur cerita yang dinantikan.”
Oleh Suparto Wijoyo
KUMANDANG penyuara Alquran itu terus terdengar. Bahkan terngiang. Ayat-ayat Ilahiyah mengalun dari suara sound sytem masjid-masjid. Nada dan intonasinya khas pembacaan kitab suci. Semakin Ramadan beranjak menuju garis finish, lantunan itu kian bersahutan. Kampung-kampung yang mempunyai surau-surau memasang pengeras suara sejak semula. Tempat ibadah antargang menjadi tersatukan oleh gelombang gema orang mengaji. Tadarus Al-Qur’an memasuki tahapan paripurna. Khotmil Qur’an diadakan di banyak tempat. Rumah-rumah pribadi atau musalah menyelenggaran perkhidmatan ayat-ayat Tuhan.
Ini adalah kenyataan yang terekam dari setiap areal. Saat itu Jumat 28 Maret 2025 bergerak menjemput malam. Suara mengaji dari jamaah yang usai meneguhkan shalat teraweh meluncur begitu saja. Hawa perkotaan yang dinamis seakan ditumpahkan Gusti Allah untuk mengguyur batin warga buminya di Surabaya. Sambung-menyambung suara tadarus Al-Qur’an yang tampak utuh dibalut kerumunan warga di mall-mall yang menjadi rahmat. Getar dan gelegar suara motor kawula muda terasa merajut selisik kilat-kilat lampu yang menyala. Malam merangkak menuju puncak pergantian era ke hari Sabtu 29 Maret 2025, terpotret sebagai malam yang semakin menyimpan rahasia. Adakah ini saat episode malam kemuliaan itu yang melepas kami harus mudik?
Suasananya sejuk, tapi tanpa keheningan. Orang-orang berkumpul di masjid-masjid, termasuk masjid-masjid di kampus-kampus pada Rabu malam, 26 Maret 2025. Gelombang menghadiri acara Iktikaf Kolektif menjadi forum yang penuh pemaknaan spiritual. Awak kampus dan kampung terbungkus dalam hajatan besar menjemput malam seribu bulan. Begitulah nilai malam yang telah diberi nas dalam Al-Qur’an: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al-Qadr: 1-5).
Umat menyambutnya dengan semangat. Ruang-ruang cakrawala malam-malam di hari-hari ini memendarkan semarak. Ramainya orang mengaji dibarengi dengan macetnya jalanan yang dipadati para pemudik adalah perlambang malam yang semakin berkembang. Kehidupan terbangun di tengah malam. Persujudan dan perjalanan ditempuh berbarengan. Pemudik juga sedang berargumentasi menempuh jalan malam untuk menggapai cahaya kemenangan. Saya menyaksikan gairah manusia begitu kuat, dalam strata apapun yang menundukkan dirinya dalam ajaran yang digariskan Tuhan.
Ramadan ini meneguhkan sekaligus mengurai betapa ajaran agama mampu menggerakkan peradaban. Budaya mudik, sambang emak-bapak di pedesaan merupakan alur cerita yang dinantikan. Orang-orang kota yang sudah kehilangan “obor asal-muasalnya” terasa mbrebes mili (pedih perih) ingin menikmati “jalan pulang” ke kampung kelahiran. Malam-malam ini tumpah segala doa maupun aktivitas. Aparatur negara menjaga dengan sigap. Cermatilah pengamanan yang dijadwalkan. Satpam kantor tiada libur kecuali tugas bergantian guna menjaga aset tempatnya bekerja. TNI-Polri diberi tugas khusus melalui anggaran serta pedoman yang ditata rapi. Malam-malam tiada keheningan.
Warga semburat ke luar rumah memenuhi jalanan. Ini digerakkan oleh kerinduan dan hati yang memiliki kesetiaan sosial yang terpaut pada keluarga besar yang menjadi identitasnya. Saya bersyukur atas peristiwa ini. Pada titik inilah gerakan ibadah malam di satu sisi, dan mobilitas pemudik yang diruhanikan, seolah menempuh jalan sufistik Jan-Fishan:
Kau bisa mengikuti suatu arus Pastikan bahwa arus itu menuju Samudera Tetapi jangan kacaukan arus dengan Samudera
Arus mudik mengantarkan kita ke Samudra Keluarga. Inilah yang membuat hari ini kita bergerak dari tempat-tempat urban dimana pekerjaan bersarang, kita tinggalkan untuk sejenak membersamai koordinat awal kehidupan. Mereka meramaikan malam-malam kemuliaan yang diyakini datang di Ramadan ini dengan segala rahasianya. Tetapi para pecinta yang rindu atas pahala sedang bertamasyah menggulirkan langkah ketemu sanak saudara. Hal itu merupakan ekspresi kesadaran untuk selalu ingat pada asal usul siapa dia, dan sumber kehadirannya. Ibarat air yang mengalir di sungai pada lanjutan kisahnya harus tetap berlabuh di muara luas yang bernama lautan.
Terhadap hal itu ada ungkapan puitis yang dilansir Proklamator Republik Indonesia, Soekarno:
Door de zee op te zoeken, is de rivier trouw aan haar bron.
Dengan mengalirnya ke lautan, sungai setia kepada sumbernya.
Saya menyaksikan bahwa siapa saja yang telah memberikan daya juang untuk mudik adalah manifestasi batin eksistensi dirinya. Menikmati saat-saat macet merupakan latihan kesabaran. Dalam lingkup inilah terbaca kuat tekad melakukan perjalanan ke kampung kelahiran menjadi pilihan yang diwujudkan. Rajutan tekad demikian ini membutuhkan perhatian serius dari seluruh kemampuan untuk menunjukkan keberadaan generasi yang dilahirkan. Khasanah Ramadan ini pun menjadi vibrasi melatih jiwa paseduluran untuk menoleh ke rumpun asalnya.
Apa yang telah dilakukan dan diraih para pemudik dapat dijadikan cermin yang memantulkan kekuatan baru yang penuh dedikasi. Mereka merasa dirundu dan itu butuh waktu, tenaga dan upaya. Juga biaya. Akankah pemudik beranjak ke gelanggang tetangga? Tampaknya silaturahmi selalu dinanti sebagai keterpanggilan mandat sosial dan kemanusiaan bagi perjalanan berikutnya kaum pemudik. Inilah padatan-padatan yang menjadi adonan budaya guna menyelami “amanat kerinduan umat”.
Ungkapan saya ini semakna dengan bingkai mozaik jiwa-jiwa pepohonan keluarga yang harus berbuah. Diungkapkan oleh Syeikh Musliuddin Sa’di Shirazi dalam karya sastranya Bustan:
Setiap orang yang tidak memiliki kenangan yang ditinggalkan Pohon keberadaannya tidak akan menghasilkan buah
…
Dan setiap orang mendapatkan apa yang dulu ia semaikan
Selamat mudik dan memetik buah arti penting punya keluarga. Inilah lambang kesetiaan atas yang di kampung kelahiran. (*)
*Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum, CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.