SURABAYA | duta.co – Jika benar, ini kali pertama dalam sejarah Kerajaan Arab Saudi, ada pengumuman dari Raja Saudi Arabia dalam hal ini Salman bin Abdul Aziz isinya tentang penetapan tanggal 30 November 2017 ini sebagai hari libur nasional, dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Kabar itu tertulis dalam situs www.elqanah-news.com dan thaqfny.com Senin (13/11/2017).
Disebutkan bahwa, tanggal 30 November bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1439 H, bertepatan dengan hari kelahiran Nabi yang mulia. Kerajaan Saudi menyatakan bahwa bisa atau boleh menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi yang mulia.
“Sesungguhnya yang demikian ini tidak diharamkan, karena ini menunjukkan kecintaan kepada Rasulullah saw dan Peringatan Maulid Nabi merupakan tradisi turun-temurun dari generasi ke generasi. Di beberapa negara bahkan hari itu sudah ditetapkan sebagai hari libur resmi,” tulisnya.
Tetapi, ada pula yang menyebut kabar itu, hoax. Meski belum ada tanggapan dari pemerintah, mereka yang menyatakan hoax tidak percaya ada perubahan sedrastis itu. “Bahwa Arab Saudi tengah berubah ya, misalnya tentang gerakan antikorupsi. Tetapi tidak pada hukum Maulid yang selama ini dihukumi bidah,” begitu sumber duta.co, Selasa (14/11/2017).
Tetapi, diakui, polemik hukum peringatan maulid di Arab sendiri bisa terkendali. Apalagi seorang ulama Hijaz modern, Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani yang wafat pada 29 Oktober 2004 sudah pernah membedah dengan tuntas hukum maulid. Kitab ini sekarang menjadi rujukan masyarakat Arab.
Bagi ulama yang akrab dikenal dengan panggilan Syekh Maliki tersebut, masalah boleh ataupun tidaknya peringatan Maulid Nabi adalah persoalan khilafiyah dan tidak termasuk kategori perkara prinsipil (ushul) dalam agama. Namun demikian, atas desakan dan permintaan dari berbagai koleganya, ia lantas tergerak mengarang sebuah risalah yang diberi judul Haula al-Ikhtifal Bidzikra al-Maulid an-Nabawi as-Syarif.
Ulama terkemuka itu menyebutkan sebanyak 21 poin argumentasi yang memperkuat pendapatnya tentang hukum diperbolehkannya maulid. Di antara dalil yang dipaparkan Syeikh pertama adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim dalam kitab Shahih-nya. Hadis dari Abu Qatadah itu menegaskan bahwa latar belakang puasa yang dijalani Rasulullah setiap hari Senin adalah ungkapan rasa syukur Rasulullah.
Nabi SAW bersabda, Hari itulah (Senin) saya dilahirkan dan diutus. Mengomentari hadis ini, Syekh mengatakan teks ini bermakna merayakan maulid sekalipun bentuk dan modelnya, seperti berkumpul bershalawat atas Nabi, mendengarkan pujian, dan saling berbagi, tetapi inti dan maksudnya sama, yaitu memperingati maulid.
Argumen kedua yang digunakan Syekh Maliki yaitu anjuran mengungkapkan rasa kebahagiaan terhadap kedatangan Rasulullah seperti yang diajarkan dalam Alquran surah Yunus ayat 58: “Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Menurut analisis Syeikh Maliki, Allah menyerukan umat manusia agar bergembira dengan rahmat yang telah diberikan. Dan, kehadiran Rasulullah ke muka bumi adalah rahmat yang terbesar bagi seluruh alam. Karenanya, dalam surah lain dijelaskan bahwa Rasulullah diutus tak lain sebagai rahmat bagi seluruh alam. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiyaa [21] : 107)
Dalam dalil berikutnya, menurut Syekh Maliki, Rasulullah memperingati beberapa peristiwa yang berkaitan dengan agama di masa silam. Salah satunya adalah peringatan hari Asyura’. Sebuah hadis sahih menyebutkan tatkala Rasulullah sampai di Madinah dan melihat kaum Yahudi berpuasa Asyura, Rasulullah bertanya tentang alasan mereka melaksanakan puasa itu.
Setelah memperoleh penjelasan bahwa maksud berpuasa di hari Asyura adalah sebagai tanda syukur karena Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan musuhnya pada hari Asyura, Rasulullah pun mengatakan: Kita lebih berhak atas (mengenang Musa) daripada kalian. Rasulullah lantas berpuasa Asyura dan menganjurkan umatnya turut berpuasa pula.
Kendati demikian, Syekh Maliki juga memberikan catatan-catatan seputar peringatan Maulid Nabi. Perayaan maulid tak jarang berlangsung berlebihan yang justru menghilangkan esensi maulid itu sendiri. Ini yang kerap disalahpahami oleh kalangan yang anti-Maulid. Bentuk perayaan yang dilakukan oleh sejumlah pihak dan dinilai berlebihan itu sering digeneralisasi lalu membuat kesimpulan yang jauh dari objektivitas.
Beberapa poin penting tentang peringatan Maulid Nabi SAW itu, antara lain, pertama, penegasan bahwasanya hukum merayakan maulid diperbolehkan dengan ragam ritual yang sarat dengan nilai, yaitu berkumpul mendengarkan sirah Nabi, pujian-pujian atas keagungannya, memberikan makanan dan berbagi kebahagian kepada sesama umat.
Kedua, sekalipun hukum maulid diperbolehkan, tidak ada ketentuan yang mengharuskan waktu perayaan bersifat temporal terbatas pada satu waktu. Artinya, semestinya peringatan maulid pada dasarnya tidak dilakukan secara terbatas pada tahun, bulan, ataupun hari tertentu saja.
Dengan demikian, jika ada yang berpendapat peringatan maulid hanya diperuntukkan di satu waktu, maka (keyakinan) ini bisa dikategorikan sebagai bidah. Meskipun memang tidak bisa dinafikan, bulan Rabi’ul Awwal mempunyai daya magnet yang cukup tinggi guna menghadirkan massa. Selain itu, kesan dan nilai yang ditangkap dari perayaan maulid di bulan kelahiran Rasululllah tersebut lebih terasa.
Sebab, menurut Syekh Maliki, keharusan mengenang dan mencintai Rasulullah adalah sepanjang zaman. Maka, di sinilah—jika ditelusuri lebih jauh lagi —adalah satu dari sekian titik kesepakatan Syekh dengan kubu yang kontra terhadap peringatan maulid Nabi.
Ketiga, menurut Syeikh Maliki, perayaan Maulid Nabi adalah momentum berharga dan kesempatan emas bagi para ulama dan dai, terutama guna mengajak umat meneladani sunah Rasulullah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya mengatasi berbagai persoalan. (mk,rep)