Endang Suprihati – Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
ETERNAKAN di Indonesia merupakan sektor yang menjadi pilar penting dalam mendukung pembangunan dan penguatan ekonomi masyarakat.
Sejak 2017 sampai sekarang, pemerintah melalui Kementrian Pertanian Republik Indonesia semakin gencar melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan sektor peternakan.
Yang dilakukan salah satunya melalui program peningkatan populasi sapi potong untuk mencapai swasembada daging. Namun, program tersebut tidak akan tercapai secara signifikan apabila hewan ternak terserang oleh berbagai penyakit.
Salah satu penyakit yang banyak menyerang sapi disebut penyakit Surra. Penyakit yang disebabkan oleh parasit dari jenis protozoa darah pada ternak ini dilaporkan masih menjadi kendala yang serius dalam industri peternakan dari berbagai wilayah.
Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penyakit tersebut berupa terhambatnya pertumbuhan ternak, penurunan aktivitas, penurunan bobot badan, penurunan daya reproduksi, dan produksi susu cukup signifikan.
Berdasarkan laporan Ekaswati dkk. (2014), kerugian ekonomi akibat wabah penyakit Surra di wilayah Sumba Timur pada diperkirakan mencapai 300 milyar rupiah lebih. Perhitungan kerugian tersebut belum termasuk biaya pengobatan oleh dokter hewan dan biaya pengendalian serangga pembawa penyakit (vektor) di sekitar kandang, sehingga kerugian ekonomi tersebut dapat melebihi dari hasil perhitungan yang diperkirakan.
Berbagai metode diagnosis telah diterapkan untuk mendeteksi adanya parasit darah dalam tubuh ternak, namun yang umum dan sering digunakan adalah metode pemeriksaan ulas darah, yaitu dengan cara mengambil sampel dari pembuluh darah perifer dan dilanjutkan dengan metode perwarnaan Giemsa.
Namun, metode tersebut memiliki kelemahan, yaitu bisa muncul hasil negatif palsu bila tingkat parasitemia atau adanya parasit dalam darah tergolong rendah. Selain itu, ukuran parasit yang sangat mikroskopik sulit dibedakan dengan sel-sel darah.
Akibatnya, diperlukan ketelitian tinggi oleh operator yang memeriksa dan bisa juga berpotensi terjadi kesalahan diagnosis dengan hasil positif palsu. Metode diagnosis lain yang sering digunakan untuk peneguhan diagnosa Surra melalui sampel darah yaitu Micro-haematocrite Centrifugation Technique (MHCT), uji serologis dengan Card Agglutination Technique for T. evansi (CATT T. evansi), dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA).
Metode lain yang lebih akurat untuk pemeriksaan Surra adalah dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Namun, metode PCR yang digunakan sampai saat ini Sebagian besar bersifat konvensional dan membutuhkan suatu bahan spesifik yang disebut primer.
Jika primer yang digunakan tidak tepat, maka PCR tidak akan memunculkan hasil yang akurat. Data di lapangan juga menunjukkan bahwa ternak berpotensi terinfeksi lebih dari satu jenis parasit darah (Babesia spp., Theileria spp. dan Trypanosoma spp).
Sehingga jika deteksi penyakit pada kasus-kasus tersebut masih bertumpu pada metode PCR konvensional, maka akan membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang mahal karena harus dilakukan lebih dari satu kali pengujian.
Modifikasi PCR perlu dilakukan untuk mendeteksi lebih dari satu jenis penyakit dengan mengkombinasikan lebih dari satu jenis primer molekuler. Teknik ini relatif lebih murah dan cepat dibandingkan dengan PCR konvensional, sehingga dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit yang disebabkan oleh parasit darah terutama Trypanosoma spp. yang sering terdeteksi pada ternak di Indonesia.
Trypanosomiasis atau lebih dikenal dengan sebutan Surra merupakan salah satu jenis penyakit parasitik pada hewan mamalia terutama sapi, kerbau, dan kuda. Hewan ternak lain yang rentan terhadap infeksi surra yaitu kambing, domba, dan rusa, namun hewan-hewan tersebut terkadang tidak terlihat gejala klinis yang signifikan sehingga dapat menjadi hewan pembawa parasit (reservoir).
Angka morbiditas penyakit Surra mencapai 30% dan angka mortalitas diprkirakan sebesar 3%. Kerugian di negara-negara Asia tiap tahun diperkirakan sekitar 1,3 milyar dolar. Kerugian ini diduga lebih tinggi dibandingkan dengan yang dialami negara-negara di Afrika dan di dunia diperkirakan ada 500 juta sapi, 100 juta kerbau dan 12 juta onta yang berisiko tertular Surra.
Kerugian secara langsung penyakit Surra adalah karena mortalitas dan biaya intervensi dalam melakukan terapi berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut, trypanosmoniasis juga ditetapkan menjadi salah satu penyakit Hewan Menular Strategis berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No: 4026/Kpts/OT.140/04/2013.
Kunci pengendalian penyakit Surra di Indonesia beserta angka persebarannya, terletak pada deteksi dini menggunakan pendekatan diagnostik. Penentuan diagnosa penyakit Surra mayoritas hanya didasarkan pada gejala klinis yang terlihat dan didukung oleh uji ulas darah untuk mendeteksi morfologi parasit dalam darah.
Metode diagnosa yang lebih akurat adalah dengan penerapan uji molekuler Polymerase Chain Reaction (PCR) karena hasil yang didapatkan lebih akurat dan bisa diterapkan untuk semua fase infeksi.
Dalam menerapkan PCR khusus deteksi penyakit Surra, digunakan primer yang spesifik yaitu ITS-1 dan TBR-1/2, hanya saja jika dijadikan sebuah gold standard diagnosa maka harus kita tentukan primer mana yang paling sensitif.
Karena itu, saya bersama tim pernah melakukan inisiasi penelitian eksperimental untuk mengetahui dan membuktikan perbandingan sensitivitas antara primer ITS-1 dan TBR-1/2 yang sering digunakan untuk deteksi molekuler penyakit Surra pada ternak di Indonesia.
Menurut saya, riset untuk mengetahui dan membandingkan sensitivitas primer seperti ITS-1 dan TBR-1/2 sangat penting dilakukan untuk meningkatkan akurasi diagnostik molekuler menggunakan PCR baik di lapangan maupun di laboratorium.
Hasil riset yang saya dapatkan bersama tim juga mengkonfirmasi bahwa diagnostik molekuler menggunakan primer TBR1/2 lebih efisien jika diterapkan sebagai gold standard untuk Identifikasi T. evansi, terutama pada isolat lapangan.
Hal tersebut dikarenakan primer TBR-1/2 tidak hanya terbukti spesifik tetapi juga lebih sensitif jika dibandingkan dengan primer ITS-1.
Temuan pada penelitian tersebut memberikan data awal untuk mempelajari sensitivitas dan efisiensi primer yang berbeda jika diterapkan secara praktis sebagai tes diagnostik standar untuk trypanosomiasis, terutama pada berbagai hewan ternak di Indonesia.
Namun, metode yang diterapkan pada penelitian saya tersebut hanya terbatas pada satu spesies parasit Trypanosoma dan masih harus diteliti lebih lanjut apakah masih efektif jika diterapkan pada lebih dari 1 spesies parasit Trypanosoma yang dideteksi.
Hasil penelitian saya ini juga memberikan data yang bermanfaat untuk eksplorasi riset yang akan datang dengan menggunakan spesies Trypanosoma yang berbeda, serta rekomendasi untuk tindakan pencegahan penyakit parasitik dengan menggunakan pendekatan pemetaan molekuler sebagai standar metode diagnostik di Indonesia *