Bustanus Salatin, Pengamat Ekonomi dan Budaya.

JOMBANG | duta.co – Lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dialami warga Jombang, hingga lebih dari 400% dari Rp400 ribu menjadi Rp1,35 juta menjadi sinyal keras bahwa kebijakan fiskal daerah belum sepenuhnya adaptif terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat.

Memang, pembaruan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah kewajiban hukum. Namun, pelaksanaannya seharusnya berlandaskan prinsip keadilan sosial dan keterbukaan publik, agar tidak menambah beban rakyat di tengah situasi ekonomi yang kian sulit. Dan perlu adanya kajian terlebih dulu.

“Apa yang terjadi dengan saudara Fatta wujud ketidakadilan Pemkab Jombang dan tidak berpihak kepada rakyat,” kata Pengamat Ekonomi dan Budaya, Bustanus Salatin, Rabu (13/8).

Pria lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini lebih lanjut menjelaskan, jika bicara soal pajak memang tidak hanya daerah saja namun menyeluruh, juga harus membaca ekonomi nasional yang saat ini melemah, basis pajak tergerus.

“Data terkini menunjukkan realisasi penerimaan pajak daerah per Februari 2025 baru 31,2% dari target APBD bahkan lebih rendah dibandingkan periode pandemi 2020. Lemahnya daya beli, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, dan penurunan produktivitas dari 2,3% menjadi 1,2% menjadi penyebab utama,” ujarnya.

Kondisi ini, lanjutnya, harus menjadi pertimbangan serius bagi pemerintah daerah sebelum menaikkan tarif pajak properti. Jika terlalu terburu-buru, bukan hanya kepatuhan pajak yang turun, tapi juga potensi kebocoran penerimaan daerah dalam jangka panjang.

Dan risiko kebijakan pajak di tengah krisis dengan indikasi ekonomi melemah, rendahnya penerimaan pajak menandakan aktivitas ekonomi lesu produksi, konsumsi, dan investasi menurun, disertai PHK masif. Terjadi ketimpangan melebar serta kelompok bawah lebih cepat terdampak pelemahan ekonomi, membuat jurang kaya-miskin makin dalam dan basis pajak semakin sempit.

“Hal ini tentunya memuncul potensi korupsi meningkat karena tekanan ekonomi sering membuka celah praktik korupsi, dari tingkat birokrasi hingga bisnis, untuk mempertahankan atau menambah pendapatan pribadi,” bebernya.

Lebih lanjut, direktur Polygon konsultan manajemen ini menjelaskan, kebijakan pajak harus berpihak pada rakyat, karena dalam situasi daya beli yang melemah, menaikkan PBB-P2 secara drastis hanya akan memperburuk beban masyarakat. Pemda perlu mencari skema alternatif, seperti penyesuaian bertahap, pemberian insentif bagi wajib pajak patuh, atau skema perlindungan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.

“Saya mendesak dewan harus kritis dan mendesak supaya pajak turun, dan harus ada keberanian dari rakyat jika pajak yang naik pada tahun 2024 harus turun,” tegasnya, sembari menjelaskan dan dalam menentukan nilai pajak harus ada kajian terlebih dulu. (din)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry