Dr. Ahmad Hasan Afandi, Akademisi Universitas Islam Majapahit Mojokerto.

Sejak 2024, masyarakat Kabupaten Jombang dikejutkan oleh lonjakan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Kenaikan yang semula diperkirakan wajar, ternyata membengkak antara 400% hingga 1.202% dibanding tahun sebelumnya.

Oleh: Dr. Ahmad Hasan Afandi, Akademisi Universitas Islam Majapahit Mojokerto

Protes pun bermunculan. Salah satunya datang dari aktivis Joko Fattah Rochim yang memilih membayar pajak dengan menumpahkan koin hasil tabungan anaknya dalam galon air. “Ini simbol protes, beban pajak sudah tidak manusiawi,” ujarnya. Aksi itu menjadi gambaran nyata keresahan rakyat kecil.

Pemkab Jombang sendiri menjanjikan pendataan ulang, membuka ruang keberatan, serta memastikan tidak ada kenaikan di 2026. Namun janji itu belum cukup meredam gelombang kritik.

Era Kerajaan: Pajak sebagai Tanggung Jawab Moral

Pada masa kerajaan atau pemerintahan lokal tradisional, pajak dipandang bukan semata kewajiban fiskal, melainkan juga tanggung jawab moral dan sosial. Raja atau kepala adat lazimnya menyesuaikan pungutan dengan kondisi masyarakat: berbasis hasil panen, tenaga, atau kesanggupan individu.

Dengan demikian, pajak tidak menimbulkan keterasingan, melainkan justru mengikat solidaritas. Jika dibandingkan, kenaikan PBB-P2 di Jombang yang melonjak 400% tanpa sosialisasi, jelas bertolak belakang dengan semangat inklusif pemerintahan tradisional.

Era Kolonial: Pajak sebagai Alat Eksploitasi

Berbeda lagi di masa kolonial. Pajak diberlakukan semata demi efisiensi administrasi dan target pendapatan. Pajak tanah dan komoditas dikenakan tanpa mempedulikan nasib rakyat. Akibatnya, beban sosial menumpuk dan sering kali memicu pemberontakan.

Kebijakan di Jombang memang bukan kolonialisme. Namun lonjakan tarif tanpa mengindahkan kesejahteraan rakyat, menciptakan kesan serupa: teknokratis, represif, dan minim keadilan.

Kritik untuk Pemkab Jombang dan DPRD

Kebijakan di bawah Bupati H. Warsubi dan Wakil Bupati Salman dinilai terburu-buru. Tidak ada sosialisasi yang layak, padahal pembaruan NJOP sejak 2009 memang perlu. DPRD Jombang di bawah pimpinan Hadi Admaji pun seolah hanya melegitimasi kebijakan tanpa membuka ruang dialog publik.

“Seharusnya ada konsultasi publik, kajian lapangan, serta pelibatan masyarakat. Bukan sekadar meneruskan perda lama dengan alasan administratif,” kritik saya.

Tanpa partisipasi warga, kebijakan ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial—seperti tragedi pajak di Kabupaten Pati yang berujung kerusuhan.

Alternatif: Cari Sumber Pendapatan Lain

Daripada mengandalkan pajak yang melonjak tak terkendali, Pemkab Jombang bisa menggarap sumber pendapatan lain, diantaranya optimalisasi retribusi, pungutan non-pajak, kerjasama ekonomi daerah.

Saya yakin pemerintah pusat juga memberi ruang inovasi keuangan daerah selama masih rasional dan berpihak pada rakyat.

Jangan Ulangi Pola Kolonial

Kenaikan PBB-P2 hingga 1.202% adalah alarm keras: kebijakan fiskal bisa kehilangan legitimasi jika abai pada keadilan, transparansi, dan partisipasi publik.

Jika era kerajaan menekankan adaptasi sosial, dan era kolonial menekankan efisiensi eksploitatif, maka kebijakan sekarang justru jatuh pada teknokrasi dingin yang miskin nilai kemanusiaan.

Kunci perbaikan ada pada reformasi administratif: transparansi, keterlibatan warga, restrukturisasi tarif, dan distribusi beban fiskal yang adil. Dengan begitu, pajak tidak lagi dipersepsikan sebagai simbol penindasan, melainkan instrumen pembangunan yang berkeadilan.

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry