“Gema itu sudah terkikis di dalam tubuh PMII.  PMII hari ini hanya menjadi konsumen penguasa, sudah tidak lagi  memiliki perspektif gerakan yang terstruktur dan terukur.”

Oleh: Kholili Pashter

NILAI merupakan ilustrasi besar di setiap kehidupan manusia yang sudah terakomodasi dalam system. PMII merupakan organisasi yang memiliki sistem pemberdayaan dan pengembangan pengetahuan seputar agama, sosial, pendidikan, budaya dan politik. Ini terbungkus rapi dalam ajaran Ahlus Sunnah wa Aljamaah, sekaligus sebagai fondasi dasar dalam memandang dunia. Sedangkan mahasiswa merupakan proyeksi besar yang menjadi tugas  PMII,  bagaimana PMII harus mampu mengindoktrenisasi keindonesiaan dan keaswajaan guna meng-counter radikalisme, liberalisme dan fundamentalisme di bumi Pertiwi.

PMII sebagai organisasi besar yang ada di Indonesia, harus menjadi aktor, garda terdepan dalam membangun kesejahteraan rakyat kecil, menciptakan kedamaian di dunia politik yang semakin hari jauh dari etika politik. Bahkan isu SARA sudah berhemburan di dunia sosial yang sudah menjadi tontonan yang menginabobokan akar rumput. Tentu, semua itu menjadi tugas besar PMII, bagaimana PMII mengambil bagian dalam menjaga kekondusifan keberlangsungnya negara kesatuan.

Dalam usia ke 62, PMII ibarat manusia, sudah tua. Refleksi dan bahan evaluasi kader PMII sangat penting sekali guna menyoal keberadaan dan keperpihakan PMII selama ini? Apakah PMII yang lahir dari rahim NU sudah menjadi aktor perubahan di negeri ini? Jangan-jangan hanya menjadi penikmat penguasa sehingga keperpihakan kepada rakyat kecil sudah tidak ada.

Gaung suara yang lantang dalam menyuarakan hak rakyat, apakah masih akan mengema pasca harlah PMII? Pertanyaan-pertanyaan di atas seakan hanya angin lewat.

Standing Position PMII

Sebagai kader PMII, saya yakin bahwa semua kader PMII akan menjawab secara lugas dan baik, bahwa PMII hari ini sudah ada pada titik nol dalam skema keperpihakan dalam pergerakan.

Institusi atau organisasi yang merayakan hari lahirnya hari ini sudah jauh dari nilai-nilai pergerakan “melawan tertindas dan bersua tegas kepada penguasa penindas”. Gema itu sudah terkikis di dalam tubuh PMII.  PMII hari ini hanya menjadi konsumen penguasa sudah tidak lagi  memiliki perspektif gerakan yang terstruktur dan terukur.

Sedangkan standing position merupakan bagian skema penting dalam setiap gerakan sosial. Standing position pada gerakan sosial akan menentukan keberpihakan. Dan keberpihakan memiliki dua kanal; keberpihakan pada elit atau masyarakat pada kelas bawah kalau istilah Karl Marx kaum Borjuis (elit) dan proletar (kelas bawah), dan posisi PMII saat ini sudah menjadi bagian dari kaum elite. PMII tak lagi menjadi advokasi rakyat kecil. Aswaja dan pengetahuan hanya menjadi akomoditi saat Harlah PMII tiba dengan mendatangkan para penguasa. Sedih, ketika PMII saat ini hanya menjadi ‘babu’ bukan ratu atau raja para penguasa.

Hentikan ratapan dan tangisan, sungguh tak ada guna lagi, saat rakyat kecil masih tersenduh meratapi nasibnya, sementara PMII hanya menjadi penonton karena hegomoni penguasa. Harlah PMII sebatas hura-hura dan seremonial saja.

PMII yang seharusnya menjadi aktor perubahan. Saat ini hanya mempertontonkan bahwa PMII hidup dengan penguasa mulai dari presiden dan menteri, tentu sikap seperti ini adalah sikap  organisasi yang tak  layak menjadi  refrensial di  negeri  ini.

Di hari dan bulan yang sakral ini (Ramadhan) seharusnya PMII mengundang semua tokoh agama dan petani untuk dijadikan bahan evaluasi dan aspirasi dalam menata gerak laju PMII ke depan. Bukankah begitu? Waallahu’alam.(*)

#KemanaPMII
#harlahpenguasa.

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry