Oleh Yudha Hari Wardhana

 

Secara normatif, tujuan pendidikan nasional menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasar rumusan pasal ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan intelektual bukan menjadi tolok ukur satu-satunya dari kesuksesan penyelenggaraan pendidikan. Religiusitas, karakter, dan perilaku juga menjadi aspek utama.

Lahirnya visi pendidikan nasional tersebut tidak terlepas dari berbagai bentuk kerusakan moral yang banyak melanda kalangan pelajar usia remaja. Inilah persoalan besar di internal masyarakat yang oleh Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas disebut sebagai “lost of adab”  yang dimaknai sebagai “lost of dicipline – the dicipline of body, mind, and soul; the dicipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potentials; the recognition and acknowledgement of the fact that knowledge and being are ordered hierarchically.”

Persoalannya, siapakah yang bertanggung jawab atas proses menuju tercapainya visi tersebut? Apakah lembaga pendidikan formal seperti sekolah seharusnya dijadikan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas masa depan anak-anak bangsa di tengah potensi lost of adab?

Membaca realita yang ada, masih banyak yang memiliki pemikiran bahwa urusan pendidikan adalah urusan sekolah. Banyak orang tua yang memilih untuk menjadi sosok minimalis dalam menjalankan peran edukatifnya kepada anak-anak mereka. Padahal  mereka bisa berperan lebih besar daripada sekadar mengantar dan menjemput, membiayai keperluan sekolah anak, dan juga memasukkan anak ke lembaga bimbingan belajar jika dirasa anak masih kurang menguasai materi di sekolahnya. Di sisi lain, tuntutan mereka teradap sekolah sangat tinggi. Implikasinya, para pendidik di sekolah kerap diposisikan sebagai sau-satunya pihak bersalah atas segala kondisi negatif peserta didiknya. Mucullah situasi dilematis. Sebagian pendidik di sekolah memilih “mencari aman” daripada harus terlibat urusan panjang dengan orang tua siswa. Guru menjadi enggan untuk memberikan nilai kognitif dan psikomotor  sesuai kapasitas sesungguhnya dari tiap siswa. Guru juga menjadi tidak mudah untuk memberikan nilai afektif di bawah B. Itulah mengapa kemudian terbentuk persepsi bahwa dunia pendidikan sangat permisif terhadap perilaku menyimpang para pelajar, khususnya remaja. Sekolah dipandang bukan lagi menjadi solusi atas persoalan pembangunan karakter anak bangsa.

Menghadapi tantangan zaman yang semakin menggelisahkan, seharusnya ada kesadaran besar bahwa persoalan pendidikan bukan hanya dibebankan kepada para pendidik di sekolah. Munculnya keluarga-keluarga edukatif menjadi kebutuhan krusial di era gadgetisme, khususnya untuk mengantisipasi masa pubertas yang selalu dijadikan alasan pemakluman atas terjadinya lost of adab, khususnya di kalangan remaja. Dari sikap permisif inilah sesungguhnya pubertas dengan segala kesan negatifnya kemudian berkembang seolah-olah menjadi sebuah keniscayaan. Padahal, jika merujuk pada penelitian yang dilakukan DR Khalid Ahmad Asy Syantut (pakar pendidikan) di dua kota, Mekkah dan Madinah (tanah hijaz), bisa ditemukan adanya belahan dunia yang tidak terserang hantu pubertas. Potret anak-anak muda disana jauh dari kesan negatif. Hari-hari mereka diisi dengan aktivitas-aktivitas bermanfaat, mereka rajin ibadah sejak masuk masa baligh, hubungan dengan orang tua juga harmonis. Semua ini ternyata tidak terlepas dari keterlibatan orang tua dalam mendidik serta menjaga anak-anaknya dalam pergaulan.

Berpijak pada hasil riset tersebut, bisa dibangun pemahaman baru bahwa pubertas bukanlah fenomena global, bukan pula suatu fase yang pasti dialami anak muda. Pubertas sejatinya hanya dialami oleh kalangan yang berparadigma liberal, penyanjung-nyanjung kebebasan tanpa ada tata nilai dan norma yang membatasi. Bagi keluarga yang memiliki visi edukatif, pubertas tak lebih dari sebuah mitos. Bagi para orang tua yang berkiblat ke tanah hijaz, mereka akan menjalankan lebih banyak perannya sebagai pendidik untuk anak-anaknya. Mereka akan berperan sebagai teladan yang baik, motivator, pembimbing yang akan memberi alternatif-alternatif kegiatan bermanfaat sekaligus memfasilitasinya, menjadi sahabat yang akan selalu mengapresasi karya anak-anaknya, sekaligus menjadi penjaga anak-anaknya dari segala virus yang disebarkan oleh berbagai media maupun lingkungannya.

 

Penulis adalah pengajar di Primagama Surabaya dan Sidoarjo

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry