Lihatlah, Jokowi sudah 'Pindah Meja' mendekati partai baru. Sementara sang penantang masih belum satu. (FT/IST)

JAKARTA | duta.co – Sulitnya mengalahkan diri sendiri. Inilah yang terlihat dari dinamika koalisi para penantang Jokowi di Pilpres 2019. Dengan bahasa ‘dinamis’ koalisi yang terdiri dari  Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS bahkan terancam ‘mrotoli’ alias amburadul. Jika itu yang terjadi, bukan tidak mungkin jago yang disorong keluar tidak layak tarung.

“Kelewat ego. Sementara Jokowi sendiri sudah masuk jalur baru, menemui pimpinan partai baru,” demikian sumber duta.co di Jakarta Sabtu (28/7/2018).

Gerindra misalnya, tetap menjagokan Ketum Prabowo Subianto. Meski Prabowo siap ‘minggir’, nyatanya, tidak semudah itu alasannya.Sementara Partai Demokrat mendorong Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Meski tidak memasang posisi Capres, tetapi, Demokrat berharap AHY dapat tiket Cawapres. Tanpa itu, gerbong partai ini akan ‘parkir’.

PAN juga mendorong ketum Zulkifli Hasan untuk maju. Sementara PKS tetap mengunci di sembilan nama, dan ngotot memasukkan Ahmad Heryawan, mantan Gubernur Jawa Barat.

Padahal, ada nama Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo yang muncul sebagai jalan tengah kubu oposisi untuk melawan Jokowi. Tetapi, keduanya (Anies dan Gatot) bukan kader dari keempat parpol tersebut. Ini yang membuat mereka ‘mumet’.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center – Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai, mengusung Anies-Gatot bisa jadi jalan tengah. Asal keempat partai tersebut mengalah. Ini juga merupakan jalan supaya keempatnya bisa setara.

“Nah ditambah lagi pernyataan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang mengatakan kita tidak memaksakan AHY, tidaklah harga mati, itu sinyal yang kedua. Jadi memang peta baru lagi kalau seperti itu. Kalau kita lihat peta lama memang tidak ada kejutan kan, Prabowo-Aher, Prabowo-AHY, Prabowo-Zulhas. Tapi kalau peta baru bisa Gatot-Anies, ini sangat mengejutkan,” kata Pangi kepada merdeka.com.

“Kalau baca peta baru berarti kemungkinan Prabowo enggak maju, tapi kalau peta lama kita baca, Prabowo-AHY atau Prabowo-Ahmad Heryawan atau Prabowo Zulhas misalnya itu peta lama,” sambungnya.

Selain pernyataan SBY yang menyebut AHY bukan harga mati sebagai cawapres, PAN juga dinilai Pangi tidak memaksakan Zulkifli Hasan. Kader PAN pun sering terdengar menyebut nama Gatot dan Anies sebagai capres alternatif. Tinggal dari Gerindra dan PKS mau kompromi mengalah atau tidak.

Kuncinya Mau Mengalah

Pangi juga menyebut kehadiran Demokrat paling mendominasi koalisi penantang Jokowi ini. Artinya bila Demokrat lebih dominan, maka mundurnya Prabowo sebagai capres bisa terjadi. Sehingga koalisi ini bisa memunculkan peta baru memasangkan figur lain.

“Tapi masuknya Demokrat itu memperlemah posisi PKS. Dan memperkuat posisi Demokrat. Seolah olah terjadi belakangan seolah olah Demokrat memimpin koalisi ini kan, kesannya pak SBY terlalu dominan dan menonjol dibanding pak Prabowo, nah sinyal (peta baru) itu ketika Prabowo lemah,” terang Pangi.

Namun Pangi menilai, Gerindra dan PKS sulit legowo bila memunculkan peta baru mengusung pasangan lain. Sebab keduanya tidak mendapatkan coat tail effect di Pemilu 2019 nanti. Kendati demikian, ia menilai kesepakatan baru ini bisa terbentuk.

“Tapi kalau petanya baru itu belum tentu (Geindra PKS tidak mau mengalah) karena ada equality, kesetaraan. Peta baru itu sepanjang Gerindra mengalah, Demokrat mengalah, PKS mengalah, PAN mengalah jadi. Tapi kalau enggak, gak bakal,” ucapnya.

Pangi juga yakin dana logistik tidak masalah bila peta baru terjadi dan memasangkan kader non partai politik di Pilpres. “Partai itu kan logistik nya udah banyak lah, mereka iuran kader partai aja besar sekali, kalau partai itu sebenarnya tidak bicara soal logistik,” tutupnya.Tanpa melepas ego, koalisi penantang Jokowi diyakini bakal mrotoli. (za,jj,merdeka.com)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry