Oleh Fajar Kurnianto

 

KEJUJURAN adalah prinsip dan jiwa politik. Maka ia menjadi urgen dan penting. Apa yang dikatakan sesuai dengan hal sesungguhnya (fakta). Tidak menutup-nutupi kebenaran dengan kebohongan. Karena, sekali berbohong, orang akan berusaha menutupinya dengan kebohongan lainnya. Pada akhirnya, lahir kebohongan demi kebohongan baru. Kebenaran pun sulit ditemukan, terselubungi kebohongan. Bagaimana jika seseorang diam tidak mengatakan apa pun. Alasannya, daripada berbohong, lebih baik diam tidak mengatakan apa pun. Diam itu emas, katanya.

Sikap diam atau tak berkomentar untuk sesuatu yang dianggap penting oleh publik, sejatinya adalah sikap tidak kesatria dan cenderung menunjukkan sikap pengecut, tiada nyali dan keberanian. Khalifah Umar bin Al-Khathab pernah mengatakan, ungkapkan yang benar meskipun itu pahit. Bagi Umar, kebenaran harus dijunjung tinggi. Ia harus diungkapkan kepada siapa pun, apa pun akibat atau imbas yang mungkin bisa terjadi nantinya. Apa pun risiko yang mesti ditanggung. Toh, hidup sesungguhnya selalu mengandung risiko. Apalagi ketika seseorang telah naik ke ring politik, itu berarti siap menghadapi risikonya.

Kejujuran dalam politik kadang memang sulit dilakukan. Apalagi ketika ada tekanan dari banyak pihak yang punya kepentingan politik. Atau, karena ada ikatan emosional dan kedekatan secara politik. Atau, ada balas budi yang membuatnya perlu menyelamatkan orang yang telah berjasa itu. Atau, mungkin juga karena berkaitan dengan keselamatan diri sendiri. Dalam politik segala sesuatu bisa terjadi, bahkan hingga titik ekstrem. Demi menyelamatkan seseorang, kadang orang lain dikorbankan. Orang pun kemudian berpikir, supaya ia tidak menjadi korban, lebih baik mengorbankan prinsip hidup, yakni kejujuran.

Tentang kejujuran ini, Nabi Muhammad pernah mengatakan, sesungguhnya kejujuran itu membawa kebaikan, dan kebaikan itu membawa kepada surga (kehidupan yang penuh kebahagiaan, kesenangan, dan kenikmatan). Seseorang yang terbiasa jujur, lanjut Nabi, akan dicatat oleh orang lain sebagai orang yang jujur. Sebaliknya, kebohongan itu membawa kepada keburukan, dan keburukan itu membawa kepada neraka (kehidupan yang penuh kesulitan, penderitaan, kesengsaraan dan ketidakpastian). Seseorang yang terbiasa berbohong akan dicatat oleh orang lain sebagai pembohong.

Sebuah pesan etik dan moral luhur yang penting diperhatikan para politisi yang berkecimpung di dunia politik. Bahwa kejujuran itu akan membawa pada kebaikan. Sementara kebohongan akan membawa kepada keburukan. Pesan ini seperti menjungkir-balikkan atau menjadi semacam antitesis bagi anggapan bahwa kebaikan bisa lahir dari suatu keburukan. Justru, keburukan melahirkan keburukan lain. Semakin banyak keburukan, semakin banyak pula keburukan lain yang bermunculan. Politik hakikatnya adalah sesuatu yang mulia, pengabdian untuk mengurus kemaslahatan banyak orang. Politik, kata Aristoteles, adalah jalan menuju kebahagiaan.

Makanya akuntabilitas dan transparansi (keterbukaan) yang jujur menjadi hal yang amat penting dalam politik dan penyelenggaraan pemerintahan. G.E. Caiden (1988) mendefinisikan akuntablitas sebagai “memenuhi tanggung jawab untuk melaporkan, menjelaskan, memberi alasan, menjawab, menjalankan kewajiban, memperhitungkan dan menyerahkan apa yang dilakukan dan diminta sebagai pertanggungjawaban atau yang ingin diketahui oleh pihak di luar organisasi”, terutama oleh publik yang dilayani. Pejabat publik harus bertanggung jawab terhadap semua yang telah dilakukan dengan membuka dan memberi informasi atau laporan apa yang telah dilakukan dan yang gagal dilakukan dengan harapan siap untuk mengoreksi atau menanggung sanksi secara hukum dan moral setelah dievaluasi oleh pihak internal maupun pihak luar (Haryatmoko, Etika Publik, 2011)

Partai politik (parpol) sebagai institusi publik yang dibangun dari rakyat (akar rumput) dan membawa kepentingan rakyat yang menurut ungkapan Bung Karno “sebagai penyambung lidah rakjat”, perlu akuntabel dan terbuka kepada rakyat. Itulah bentuk tanggung jawab parpol kepada rakyat. Laporan kegiatan dan keuangan parpol perlu dibuka lebar tanpa ada yang disembunyikan, tanpa ada yang ditutup-tutupi, tanpa ada yang dimanipulasi, dan sejenisnya. Parpol perlu jujur jika memang ada kadernya atau jajaran pengurusnya, yang berurusan dengan hukum karena terlibat suatu kasus, tanpa perlu melindungi atau membelanya mati-matian jika memang terbukti bersalah.

Akuntabilitas dan keterbukaan juga harus berlaku di semua institusi pemerintah, dari pusat hingga daerah. Karena hakikatnya, pemerintah adalah pelayan publik. Publik berhak mengetahui apa yang telah dilakukan pemerintah dalam segala bidangnya. Seperti dikatakan B. Guy Peters (2007), akuntabilitas adalah nilai dasariah sistem politik. Warga negara memiliki hak untuk mengetahui tindakan pemerintah karena kekuasaan itu mandat warga. Warga negara seharusnya mempunyai sarana untuk melakukan koreksi ketika pemerintah melakukan sesuatu yang melawan hukum, moral atau cara-cara yang tidak adil. Setiap warga negara berhak menuntut ganti rugi bila hak mereka dilanggar oleh pemerintah atau mendapatkan pelayanan memadai yang seharusnya diterima.

Upaya menutup-nutupi kebenaran, baik itu dilakukan oleh parpol maupun pemerintah, adalah bentuk ketidakjujuran yang sangat membahayakan. Dalam akuntabilitas dan keterbukaan, kejujuran adalah prinsip dasar yang harus dipegang kuat dan dijunjung tinggi. Parpol dan pemerintah yang tidak jujur bukan hanya menunjukkan kerja dan kinerja yang buruk melainkan juga memperlihatkan secara gamblang degradasi moral yang akut dan jatuh di titik nadir. Tanpa akuntabilitas dan keterbukaan, situasi politik bisa menjadi kacau, karena tidak ada informasi yang benar diperoleh rakyat. Rakyat hanya mendapatkan “kabar burung” yang simpang-siur atau hoax.

Kejujuran adalah basis politik paling asasi dan menjadi prinsip atau jiwanya. Ketika kejujuran ini ditanggalkan bahkan dicampakkan, yang tinggal adalah raga politik tanpa jiwa. Raga yang selalu menjadi penyaluran bagi hasrat-hasrat destruktif yang tak pernah berhenti bereproduksi. Hasrat-hasrat yang tak pernah mengenal kata puas, atau yang dalam ungkapan Nabi Muhammad, “makan namun tak pernah kenyang” dan “hasrat memiliki selembah penuh emas, dan saat itu telah didapatkan, muncul lagi hasrat untuk memiliki selembah penuh emas yang lainnya, begitu seterusnya, tanpa pernah berhenti”. Hanya kematian yang mengakhirinya.

 

Penulis adalah Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tinggal di Depok

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry