Ketiga ahli saat dihadirkan di ruang Cakra PN Surabaya guna dimintai keterangan dalam sidang. Dua petinggi PT Sipoa Group, Ir Klemens Sukarno dan Budi Santoso saat akan didudukkan di kursi terdakwa, Kamis (13/9/2018). (DUTA,CO/Henoch Kurniawan)

SURABAYA | duta.co – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kembali menggelar sidang dugaan perkara penipuan dan penggelapan yang melibatkan dua petinggi PT Sipoa Group, Ir Klemens Sukarno dan Budi Santoso jadi terdakwa.

Sidang di ruang Cakra PN Surabaya ini digelar dengan agenda mendengarkan keterangan tiga ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rahmad Hari Basuki dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, Kamis (13/9/2018).

Tiga ahli tersebut antara lain, Prof Sadjijono dari Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya dan dua dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Bambang Suheriyadi dan Agus Wahyudi.

Pada intinya, menurut jaksa, keterangan ketiga ahli ini makin menyudutkan posisi kedua terdakwa.

Seperti yang diterangkan ahli Prof Sadjijono, guru besar ini mengatakan bahwa penipuan dalam bidang hukum pidana kerap menggunakan jabatan. “Dan saat ini banyak pidana penipuan bermodus sebuah akte perjanjian, yang tentunya itu berbeda dengan hukum perdata,” terangnya.

Menurut ulasan keterangan ahli, status jabatan seperti yang disandang kedua terdakwa ini (sebagai direksi, red) bisa dimintai pertanggung jawaban pidana atas dugaan perbuatan melawan hukum. Karena keduanya  sebagai direksi PT Sipoa mendapat gaji serta terlibat dalam rangkaian dalam peristiwa dugaan tindak pidana.

Ia pun menegaskan, tindak pidana koorporasi merupakan suatu kejahatan dengan delik khusus. Berkaitan dengan pertanggung jawaban koorporasi. Sedangkan pengurus adalah pihak yang bertanggung jawab atas adanya dugaan tindak pidana dalam koorporasi.

“Sesuai KUHP, kelalaian koorporasi adalah tanggung jawab dewan direksi. Konsekuensi hukum melekat pada tanggung jawab direksi namun tak lepas dari pemetaan secara konkrit terkait individu pelaku tindak pidana,” terangnya.

Sedangkan, niat (mensrea) melakukan tindak pidana pelaku itu baru bisa ditentukan setelah adanya rangkaian peristiwa hukum.

Hal yang menarik dalam sidang kali ini bukan hanya karena menariknya materi pemaparan keterangan ahli saja, melainkan adanya sikap penolakan yang dilakukan pihak tim penasehat hukum terdakwa terkait kehadiran ahli Prof Sadjijono dalam sidang.

Awalnya, pria yang mengajar Magister Forensik ini ditolak untuk memberikan keterangan karena dinilai keahlian yang dimiliki tidak sinkron dengan materi perkara yang disidangkan.

“Pada Curicullum Vitae disebutkan bahwa gelar magister yang ahli raih terkait bidang hukum administrasi, bukan hukum pidana. Jadi tidak pas keterangannya didengarkan pada sidang perkara ini. Kita menolak keterangan ahli,” ujar Franky, salah satu anggota tim penasehat hukum terdakwa.

Penolakan ini pun mendapatkan balasan jawaban dari ahli, menurutnya gelar magister ilmu hukum administrasi yang dimiliki itu hanya status keilmuan belaka. “Dalam prakteknya saya mengajar dan menguji para polisi pada bidang ilmu hukum pidana. Gelar itu hanya soal mengikuti perkembangan dunia keilmuan yang dahulu magister ilmu hukum itu masih masuk pada bidang ilmu sosial,” bebernya.

Hal ini sempat disoal panjang oleh pihak tim PH terdakwa, namun hakim memutuskan bahwa keterangan ahli tetap diperdengarkan dan keberatan tim PH terdakwa bisa dilampirkan pada berkas pembelaan mereka nantinya.

Dampak dari penolakan ini, membuat ahli juga ikut-ikutan menolak kesempatan mengajukan pertanyaan yang diberikan hakim terhadap tim PH terdakwa.

“Karena sejak awal tadi keberadaan saya ditolak, jadi saya pun tidak mau menjawab pertanyaan dari tim PH terdakwa,” tegas ahli.

Mendapati hal itu, tim PH terdakwa kembali melayangkan protes. Namun sia-sia, karena ketua majelis hakim memberikan hak tidak menjawab seperti yang diminta oleh ahli.

“Penolakan (menjawab) itu hak yang besangkutan (ahli), kita harus menghargai dan menghormati. Yang pasti tetap kita catat pada berita acara sidang,” ujar ketua majelis hakim I Wayan Sosiawan.

Usai sidang, saat dikonfirmasi jaksa mengatakan bahwa keterangan ketiga ahli tersebut makin menguatkan adanya unsur pidana yang dilakukan oleh para terdakwa.

“Semua sudah kita ungkapkan sesuai hukum acara terkait ketentuan-ketentuan pidananya terhadap pasal persangkaan sudah terbukti,” ujar jaksa Hari.

Terpisah, Franky menambahkan bahwa ahli ketiga yaitu Agus Wahyudi, ahli bidang hukum perseroan memberikan keterangan yang meringankan terdakwa. “Keterangan ahli mengatakan bahwa pengurus (direksi) sebelumnya yang patut bertanggung jawab, bukan para terdakwa. Karena status direktur yang disandang terdakwa didapat setelah kondisi perseroan sudah tidak teratur dan ada pembiaran yang dilakukan direktur lain,” ujarnya.

Yang dimaksud direktur lama yang bertanggung jawab adalah Yudi Hartanto yang menjabat sejak Februari 2014 hingga April 2015. Sedangkan status Yudi Hartanto hingga saat ini masih sebagai saksi dalam perkara ini.

Senada dengan Franky, saat dikonfirmasi Andry Ermawan, salah satu tim PH terdakwa mengatakan bahwa para terdakwa hanya sebagainkorban yang dibebani jabatan sebagai direktur setelah kondisi perseroan amburadul.

Dan yang lebih membuat pihak tim PH terdakwa kecewa adalah ketidakmampuan jaksa menghadirkan Yudi Hartanto dalam persidangan untuk dimintai keterangan sebagai saksi fakta.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, kasus ini berdasarkan laporan Syane Angely Tjiongan dengan nomor laporan LPB/1576/XII/2017/UM/JATIM. Mewakili sebagian pembeli apartemen Royal Avatar World di Jl Wisata Menanggal Waru Sidoarjo, dirinya melaporkan kedua terdakwa.

Perkara ini terkait dugaan penipuan jual beli apartemen Royal Avatar World. Penyebabnya, janji pihak developer yang akan menyelesaikan bangunan apartemennya pada 2017 ternyata tidak ditepati. Padahal, tahun itu juga dijadwalkan dilakukan serah terima unit apartemen.

Bahkan hingga saat ini tahap pembangunan apartemen ini juga belum dilaksanakan. Padahal sebagian pembeli sudah melakukan pembayaran dan total uang yang masuk developer diperkirakan sekitar Rp 12 miliar sesuai bukti kuitansi pembelian. (eno)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry