YOGYAKARTA | duta.co – Ini memang maneuver ‘gila’. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) tiba-tiba digeruduk para pendemo, mereka menjadikan halaman masjid UGM menjadi ‘mimbar’ bebas oleh ratusan orang mengatanamakan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), Selasa, 15 April 2025.

Uniknya, mereka datang untuk menyuarakan aspirasinya soal polemik ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Baik Presiden Jokowi maupun UGM didesak memberikan klarifikasi soal keaslian ijazah mantan presiden dua periode itu. “UGM jujur saja!! Demi bangsa dan negara, untuk apa bela Jokowi?” demikian bunyi salah satu spanduk yang mereka bawa.

Ada juga doa bersama. Tampak puluhan emak-emak antusias mengikutinya. Koordinator aksi, Syukri Fadholi mengatakan, klarifikasi dari pihak universitas penting di tengah beredarnya dokumen ijazah dan skripsi Jokowi dari Fakultas Kehutanan yang disebut dan diduga palsu.

“Kami berharap apa yang kami lakukan ini ada nilai-nilai dan makna yang menjurus kepada proses bagaimana ujungnya, Presiden Jokowi kita harapkan punya etikat baik,” tegas Syukri kepada wartawan.

Warganet ikut berkomentar. “Kecut! Negara sebesar ini geger soal keaslian ijazah presiden. Sudah begitu tidak kunjung selesai,” katanya.

Ahmadie Thaha pengasuh Ma’had Tadabbur al-Qur’an dalam kolomnya yang dikirim ke redaksi duta.co juga mengaku heran dengan kejadian ini. Tapi? “Ambil saja hikmah di balik kasus (ijazah Jokowi) ini. Negara yang masih bisa ribut tentang ijazah adalah negara yang masih ingin bermoral. Bandingkan dengan negara yang bahkan sudah tidak peduli siapa yang memimpin, asal nasi goreng tetap tersedia,” tulisanya.

Ia juga heran, bagaimana jutaan orang heboh oleh satu lembara ijazah. “Bayangkan, sebuah negara besar dengan 270 juta penduduk, ribuan pulau, ratusan suku, beragam bahasa, geger dengan satu ijazah yang mencurigakan. Begitulah Indonesia hari ini: hampir kehabisan energi nasionalnya demi membuktikan keaslian selembar kertas ukuran A4, yang konon milik mantan Presiden dua periode, Joko Widodo,” tegasnya.

Ijazah ini, katanya yang mestinya sederhana — dokumen sakral untuk tiap warga negara dalam membuktikan dirinya “pernah sekolah”—  kini telah berubah menjadi jimat politik, artefak investigasi, bahkan bahan bakar nasionalisme baru: berbagai demo, tuntutan di sidang pengadilan, dan investigasi forensik digital.

“Terakhir, Sentana Podcast memantik bara api itu kembali. Dengan membawa hasil analisis forensik wajah, mereka mengklaim ada ketidaksesuaian antara wajah di ijazah dengan wajah Pak Jokowi. Lantas, wajah yang dipasang, namanya siapa? Bukan Joko Widodo, melainkan Dumatno Budi Utomo, yang orangnya masih hidup,” tulisnya heran.

Cak AT juga mengutip pendapat Roy Suryo. Dalam analisis terbarunya, Roy menggunakan teknologi face comparison analysis berbasis kecerdasan buatan untuk mendeteksi ketidakcocokan visual. Ia memakai metode biometric facial recognition yang mengukur jarak antar titik-titik khas wajah (seperti sudut mata, posisi hidung, dan garis rahang) lalu membandingkannya dengan database citra wajah Jokowi di masa muda.

“Roy tak hanya mengecek keakuratan aplikasi pada kasus Jokowi, tapi juga membuktikannya pada beberapa wajah lain. Hasilnya? Roy menyimpulkan, dengan parameter similarity score tertentu, bahwa wajah pada ijazah yang diedarkan kader sebuah partai pendukung Jokowi itu mismatched alias tidak cocok secara biometrik dengan wajah asli Jokowi.”

Orang-orang, terangnya, pasti terhenyak dengan temuan ini. Namun, tentu saja, negara hukum tak bisa hidup hanya dari analisis perorangan atau podcast. Maka, jalan peradilan pun ditempuh. Gugatan demi gugatan pun disidangkan. Sebagian sudah diputus, sebagian lagi masih bergulir. Bayangkan betapa hebatnya negara ini: sampai perlu sidang bertahun-tahun hanya untuk membuktikan keaslian satu ijazah. “Sekarang, mari berandai-andai: bagaimana jika ijazah itu benar-benar palsu?,” ujarnya.

Pertama, menurut Cak AT, ini akan menjadi tamparan keras—bukan hanya untuk Presiden, tetapi untuk seluruh ekosistem politik, birokrasi, hingga rakyat yang memilihnya dua kali dengan penuh percaya diri dan harapan. Legitimasi pemerintahan pun akan roboh, seperti jembatan gantung yang talinya digigiti tikus.

Kedua, ini akan membuka pertanyaan lebih besar: bagaimana mungkin sebuah negara sebesar ini bisa ditipu selama dua periode penuh? Di mana sistem verifikasi kita? Apakah saat proses pendaftaran jadi presiden, KPU hanya melihat foto dan mengucapkan, “Aman, cakep, lanjut!”? Ataukah, seperti biasa, semuanya tenggelam dalam lautan politik transaksional dan budaya “asal bapak senang”?

Ketiga, ini akan menjadi pelajaran sejarah yang mahal. Jika hari ini kita tidak serius menjaga integritas orang yang akan menjadi pemimpin kita, besok lusa kita mungkin dipimpin oleh siapa saja: mungkin oleh admin group WhatsApp keluarga, atau seleb TikTok yang viral karena joget sambil mengutip Pancasila setengah hafal.

“Ambil saja hikmah di balik kasus ijazah Jokowi ini. Negara yang masih bisa ribut tentang ijazah adalah negara yang masih ingin bermoral. Bandingkan dengan negara yang bahkan sudah tidak peduli siapa yang memimpin, asal nasi goreng tetap tersedia,” tegasnya. (mky)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry