Keterangan foto kemenag.go.id

Oleh Aguk Irawan MN*

KEBIJAKAN pelayanan Kementerian Agama tentang Murur di Muzdalifah patut diapresiasi. Hal itu senafas dengan spirit Haji Ramah Lansia dan Disabilitas. Lebih-lebih hukum fikih memberikan perhatian khusus untuk jemaah lansia, penyandang disabilitas, bahkan orang-orang yang sakit dan memiliki halangan tertentu untuk tidak melakukan  Mabit.

Kebijakan Murur ini tidak semata-mata mengikuti arahan hukum fikih, tetapi juga mengandung pertimbangan kemanusiaan. Dalam rangka menghindari kepadatan, desak-desakan, dan kelelahan para jemaah, maka, kebijakan Murur adalah pilihan yang paling tepat dan strategis. Jemaah tetap berada di dalam kendaraan, selama kendaraan melewati arena mabit.

Inovasi pelayanan haji di tahun 2024 ini sebagai upaya perbaikan dibandingkan pelayanan haji di tahun sebelumnya, 2023. Tahun lalu, masih banyak jemaah haji Indonesia yang telantar di Muzdalifah setelah menunaikan ibadah wukuf di Arafah. Para Jemaah haji harus duduk di trotoar jalan, di bawah suhu matahari yang mencapai 42 derajat celcius, tanpa bekal makanan dan minuman yang cukup.

Jemaah telantar sejak dini hari sampai sore, hanya karena menunggu jemputan bus ke Mina yang terlambat datang. Keterlambatan bus jemputan ini disebabkan macetnya jalan. Tahun silam, jumlah jemaah Indonesia mencapai 209 ribu, sehingga menjadi faktor pengangkutan yang lebih lama dibanding negara lain. Namun, di tahun 2024 ini, Kemenag telah melakukan perbaikan layanan, dengan mengeluarkan kebijakan murur, yang berhasil mengatasi kemacetan dan tragedi terlantar.

Kebijakan murur dari Kemenag telah selaras dengan pandangan empat mazhab. Rukun haji hanya ada empat macam; ihram, tawaf ifadah, sa’i dan wukuf. Hanya Syafi’iyah yang menambahkan dua rukun lagi, yaitu bercukur dan tartib. Rukun haji berarti ritual (nusuk) yang harus dilakukan, tidak boleh ditinggalkan. Jika ditinggalkan, ibadah hajinya batal dan tidak bisa diganti dengan dam (denda).

Di antara empat atau enam macam rukun haji, tidak ada satupun ulama yang memasukkan Mabit  (menginap) di Muzdalifah dan Mina sebagai rukun. Sebaliknya, ulama empat mazhab sependapat bahwa hukum Mabit adalah wajib. Sebagai ibadah wajib, berarti ibadah Mabit boleh ditinggalkan dengan syarat membayar dam.

Namun, ulama empat mazhab mencatat dua hal: pertama, pelaksanaan _Mabit_ tidaklah harus berlama-lama. Menurut Syafi’iyah, yakfii mujarradul muruur (cukup dengan sebatas melewati). Menurut Hanafiyah, walau saa’atan (cukup sesaat saja). Menurut Malikiyah, bi qadri hatthir rihaal (sekedar turun dari perjalanan). Dan menurut Hanabilah, fii ayyi lahzhatin minal lail (yang penting malam, berapa detik pun).

Dengan begitu, ibadah di Muzdalifah cukup dengan melewati saja, tidak harus berhenti. Jika pun memilih berhenti, cukup turun dari kendaraan tidak harus menetap. Ibadah _Mabit_ dengan aturan yang ringan nan sederhana itu berlaku bagi jemaah dengan kondisi prima, bukan bagi orang yang sakit, lebih-lebih lansia dan penyandang disabilitas.

Kedua, hukum Mabit di Muzdalilah dan di Mina bagi jemaah lansia dan disabilitas mukhtalaf ‘alaih. Menurut Hanafiyah, illaa idzaa kaanat bihi ‘illatun aw maradhun falaa syai-a ‘alaihi (bagi orang cacat atau sakit tidak harus bayar daam ketika tidak mabit).

Menurut Hanabilah, ‘ala ghairis suqaat war ru’aat (wajib bagi selain petugas akomodasi seperti makan-minum dan pembimbing). Begitu pun pendapat Malikiyah, wa illa falaa yajibu ‘alaihin nuzuul biha (bagi yang punya halangan, boleh meninggalkan Mabit).

Dengan demikian, bagi jemaah lansia, penyandang disabilitas, bahkan bagi para petugas haji yang bertugas membimbing dan menyediakan akomodasi (suqaat wa ru’aat), ibadah Mabit boleh ditinggalkan tanpa harus bayar dam (Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 1/599-602).

Memilih hukum fikih yang paling ringan, lebih-lebih bagi jemaah lansia dan penyandang disabilitas, merupakan keputusan teknis dan strategis. Kebijakan ini cukup inovatif, sehingga tidak tertutup kemungkinan di tahun-tahun mendatang Kemenag akan melakukan inovasi lain yang lebih praktis. Semisal jemaah lansia dan disabilitas sama sekali tidak dianjurkan untuk murur di Muzdalifah dan Mina.

Dalam I’laaus Sunaan dikatakan, ada sebuah hadits tentang rukhshah (keringanan) yang diberikan Nabi Muhammad saw kepada Abbas bin Abdul Mutthalib. Nabi meminta Abbas untuk tetap tinggal di Makkah. Rukhshah yang diberikan Nabi kepada pamannya, Abbas, menurut Ahmad AL-Usmani, bukan udzur yang dihadapi oleh Abbas, melainkan karena memang hukum Mabit tidaklah wajib.

Udzur yang dihadapi oleh Abbas bin Abdul Mutthalib kala itu bukan udzur syar’i, seperti sakit, lansia, atau disabilitas melainkan udzur profesi, yaitu sebagai suqaat (penyedia minimuman, akomodasi). Andaikan rukhshah diberikan kepada Abbas bin Abdul Muththalib ini karena udzhur, tentu Abbas tidak mendapat rukshah ketika pelaksanaan ibadah lempar jumrah. Menut Al-Usmani, mabit memang tidak wajib (Zhafar Ahmad Al-Usmani, I’laaus Sunan, 5/239).

Kebijakan murur Kemenag tersebut sangat tepat dan solutif, terlebih menyangkut hukum ibadah yang \mukhtalaf  ‘alaih (debatable). Misalnya, hukum Mabit saja ada tiga macam: wajib bagi semua orang, tidak wajib bagi sebagian orang, dan sama sekali tidak wajib. Terkait ibadah yang debatable semacam ini, inovasi kebijakan yang meringankan beban jemaah haji sangatlah dibutuhkan.

Allah swt berfirman: “Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan,” (Qs. Al-Maidah: 6). Rasulullah saw juga bersabda: Innad diina yusrun, wa lan yusyaddad dina ahadun illa ghalabahu. “Agama itu ringan, siapapun yang memberatkan diri pasti akan terbebani,” (HR. Muslim, no. 2816).

Alhasil, ibadah yang masih debatbale tidak boleh membuat citra agama berat diamalkan. Kebijakan murur dari Kemenag pada pelayanan Haji Ramah Lansia dan Disabilitas 2024 ini adalah upaya menjadikan agama Islam lebih mudah dan ramah, terutama bagi jemaah lansia dan disabilitas.(*)

*Aguk Irawan MN adalah Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah dan Anggota Timwas Haji 2024.
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry