Agama apa pun pada hakikatnya mengajarkan kebajikan pada dimensi kemanusiaan. (FT/warta)

Oleh: Munawir Aziz*

Politik dan agama menjadi dua ranah yang saling berkelindan. Agama mempengaruhi politik dalam konsepsi dan nilai-nilainya. Konsepsi agama, dengan rujukan kepemimpinan (imamah) ataupun kemaslahatan publik, menjadi akar dari kebajikan berpolitik. Sementara nilai-nilai keadilan, kebijaksanaan, serta kearifan yang menjadi syarat penting pemimpin bersumber dari pemaknaan nilai dasar agama. Tentu saja, agama apa pun pada hakikatnya mengajarkan kebajikan pada dimensi kemanusiaan. Bukan pada ranah keimanan, namun lebih pada interaksi kemanusiaan yang lahir di dalamnya.

Pada proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, kita menyaksikan bagaimana agama menjadi amunisi untuk kontestasi politik. Pilkada DKI Jakarta seolah menjadi pertarungan akbar, terutama dalam pemberitaan media dan perbincangan media sosial, yang menenggelamkan informasi politik dari kawasan lainnya. Kontestasi politik di Ibu Kota Jakarta, di ring pertarungannya, menggunakan sentimen agama, etnis, ideologi hingga persebaran informasi palsu (hoax) yang massif.

Politisasi Agama

Pada Pilkada Jakarta, jika kita renungkan secara mendalam, menjadi hingar bingar politik yang menyobek tenunan kebangsaan. Untuk memenangkan pasangan calon (paslon) Gubernur-Wakil Gubernur yang didukung, para buzzer rela memainkan genderang politik dengan menebar informasi palsu dan cenderung fitnah. Perebutan isu dan wacana, baik di media mainstream maupun sosial media, menjadi palagan pertarungan yang bising.

Sementara, di kalangan elite agama, terjadi komodifikasi untuk menggunakan isu-isu dalam bidang keimanan sebagai jualan politik. Label-label keagamaan, diperebutkan sekaligus dipasarkan untuk mengeruk kepentingan segelintir elite. Pada titik ini, isu penistaan agama menemukan momentumnya, yang terus bergerak dalam label politisasi agama.

Paradoks juga terjadi dalam kontestasi politik di Jakarta. Isu pemimpim muslim-non muslim membelah masyarakat Jakarta. Mereka tercabik-cabik dalam emosi sekaligus sentimen-sentimen rasial. Isu-isu agama bergulir kencang. Fatwa-fatwa berseliweran, yang didukung oleh gerakan pengawal fatwa. Sebuah gerakan, yang oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), sebagai sesuatu yang aneh, karena hanya di Jakarta fatwa ormas agama dikawal menjadi gerakan politik.

Di ranah politik, PKS tidak konsisten dalam mengusung jargon politiknya. Jika di Jakarta, PKS menggunakan sentimen Islam untuk mendukung Anies-Sandi bertarung melawan Ahok-Djarot. Elite-elite partai ini meminggirkan klaim toleransi beragama maupun isu-isu kebhinekaan dalam bentangan NKRI.

Sementara, di Indonesia Timur, PKS mendukung beberapa calon pemimpin dengan pertimbangan perspektif lintas agama untuk meraup dukungan pemilih. Inilah standar ganda dalam politik yang dimainkan untuk mengeruk keuntungan, bukan fatsoen maupun ideologi politik. Secara ringkas, isu-isu agama yang digunakan para elite partai dalam kompetisi Pilkada DKI lebih cenderung sebagai jargon untuk menggalang suara dari komunitas-komunitas dan menggiring persepsi publik. Inilah agama yang menjadi komodifikasi dari isu-isu politik.

Partai-partai yang menggunakan jargon keislaman-keagamaan, yang berkolaborasi di Indonesia Timur tidak selamanya memakai klaim agama. Justru, isu-isu lintas agama menjadi strategi kampanye yang jitu. Dari 101 Pilkada, ada 22 calon kepala daerah yang beragama non-muslim, diusung oleh partai Islam. Mereka didukung oleh partai-partai Islam maupun yang mengkampanyekan keislaman, baik berkoalisi dengan partai lain ataupun mengusung sendiri.

Di Kabupaten Boolang Mongondow, Partai Keadilan Sejatera (PKS) berkoalisi dengan PDI-Perjuangan, Partai Amanat Nasional (PAN), Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Koalisi ini mengusung duet pemimpin Hj Yasti Soepredjo Mokoagow dan Yanny Ronny Tuuk yang merupakan kombinasi muslimah-Kristen. Pasangan ini memperoleh suara 64,88 persen, mengalahkan pasangan yang didukung koalisi Demokrat-Gerindra-Golkar.

Koalisi PKS dengan Golkar mendukung pasangan calon dari Protestan-Islam. Kesepakatan politik dari partai ini,Jansen Monim yang bergandengan dengan Abdul Rahman Sulaiman.

Kondisi serupa terjadi di Papua Barat. Pasangan calon Irene Manibuy-Abdullah Manaray didukung oleh koalisi PKS, Partai Hanura, PKB dan PPP. Koalisi partai politik ini mengusung pasangan pemimpin lintas agama untuk membangkitkan dukungan dari elite politik, tokoh adat dan lintas kelompok masyarakat.

Di beberapa kawasan lain, kondisi serupa terjadi dengan konfigurasi yang berbeda-beda, baik latar belakang pasang calon yang maju dalam Pilkada maupun koalisi partai yang bergerak. Kompetisi politik yang terjadi di negeri ini, masih menggunakan isu-isu agama dan sensitivitas etnis untuk menggiring persepsi publik. Apa yang terjadi di Jakarta menjadi anomali dari isu-isu kebangsaan yang digerakkan partai Islam di kontestasi politik di kawasan Indonesia timur. Inilah realitas politik negeri ini, apakah menjadi paradoks atau strategi politik yang mencerminkan pragmatisme?

Sudah saatnya agama menjadi nilai-nilai etis dalam pergerakan kepemimpinan, bukan komodifikasi yang dibarter dengan kepentingan elite-elite. Sudah selayaknya warga negeri ini dewasa dalam realitas politiknya, dengan meminggirkan kampanye negatif menggunakan sekte, agama dan etnis sebagai amunisi.

Islam mengajarkan kaidah-kaidah politik kebangsaan dengan kaidah kepemimpinan yang menjunjung kemaslahatan publik. Tasharruful al-Imam ‘ala ar-raiyyah manuthun bil mashlahah. Nilai-nilai inilah yang menjadi kerangka moral sekaligus visi untuk memunculkan kampanye politik yang sehat, dengan berbasis prestasi dan misi politik kebangsaan.

* Penulis adalah Periset Kaukus Aliansi Kebangsaan, Dosen di UNIRA MALANG.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry