
“Mereka berangkat tidak hanya dari Sumatra Selatan, tapi dari Jawa Timur, Kalimantan, Jambi, Lampung, hingga Bangka Belitung.”
Catatan Cak AT*
LUAR BIASA. Seratus sebelas —bukan sembarang angka, tapi sebuah parade akademik yang bisa membuat kalender hijriyah pun tersipu malu. Begitulah Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah di Indralaya, Ogan Ilir, Sumatra Selatan, menutup tahun ini dengan gegap gempita: melepaskan 111 santrinya menuju Universitas Al-Azhar, Kairo. Pemandangan yang sama (mungkin) juga terjadi di pesantren lain.
Untuk kita yang terbiasa melihat kuota kampus negeri saja penuh drama dan air mata, angka 111 itu semacam “jinombo pendidikan”. Angka itu dua kali lipat dari pengiriman mahasiswa ke sana tahun lalu, seolah-olah Ittifaqiah sedang berkata, “Kami bukan main-main. Ini bukan rombongan wisata religi. Ini ekspor intelektual.”
Momen pelepasan mahasantri yang sudah diterima kuliah di Al-Azhar itu bukan sekadar seremoni penuh jubah hitam dan sorban putih. Itu bukti bahwa pendidikan pesantren era modern tidak lagi berkutat pada stereotip sandal jepit dan kitab kuning saja. Ada kurikulum, standar mutu, dan disiplin akademik yang dipersiapkan dengan serius.
Ittifaqiah memberi peluang kuliah di sana bukan dengan janji manis, tapi lewat global education dan quality assurance. Untuk ini, pesantren dengan delapan ribu santri itu menyediakan program spesialis “kelas Excellent Al-Azhar” selama tiga tahun yang tiketnya langsung bebas tes, seperti kelas VIP bandara.
Ia menyediakan pula Program Haromain yang menerima lulusan SMA sampai SMK, cukup dengan pembinaan intensif beberapa waktu sebelum tes resmi dari pihak Mesir. Pembinaan mereka mencakup bimbingan terstruktur, penyiapan bahasa, akademik, spiritual, sampai life skill—lengkap seperti paket haji plus.
Namun pertanyaan yang lebih menggelitik sesungguhnya begini: mengapa Al-Azhar? Apa hanya karena ia terdengar prestisius di telinga orang tua? Atau karena Negeri Piramida itu dianggap kiblat ilmu agama?
Indonesia punya ratusan kampus Islam, puluhan pesantren raksasa, dan ribuan program beasiswa. Tetapi Al-Azhar bukan sekadar kampus, ia institusi yang berusia lebih lama dari usia republik-republik modern.
Ia pernah menjadi pusat intelektual Islam dunia —tempat lahirnya tokoh-tokoh seperti Hassan al-Banna, Yusuf al-Qaradhawi, Thaha Husein, dan Muhammad Abduh. Para ulama kita pun banyak yang pulang dari sana membawa ilmu dan status legitimasinya.
Tak heran jika Kementerian Agama pun rutin mengirimkan putra bangsa belajar di Azhar. Tahun ini 1.223 peserta dinyatakan lulus seleksi nasional. Utusan Ittifaqiah di luar rombongan ini. Bayangkan, jika satu kelas berisi 40 anak, maka kita butuh sekitar 30 ruang kelas untuk menampung semuanya.
Pemerintah melihat ini bukan sekadar pencapaian, tapi investasi kepemimpinan keagamaan masa depan. Menurut Dirjen Pendis, ini strategi membentuk figur ulama intelektual yang mampu menjembatani tradisi klasik dan dunia modern —karena dunia agama sekarang bukan lagi hanya ceramah, tapi juga diplomasi, sains, literasi digital, dan geopolitik.
Ittifaqiah paham betul arah angin sejarah itu. Mereka mengirim santri, bukan untuk meramaikan foto grup di depan masjid Al-Azhar, tapi untuk masuk arena kompetisi global. Tradisi ini sudah berjalan lama. Ratusan alumninya kini menimba ilmu di Kairo.
Mereka berangkat tidak hanya dari Sumatra Selatan, tapi dari Jawa Timur, Kalimantan, Jambi, Lampung, hingga Bangka Belitung. Dari kampung kecil Indralaya, sebuah pesantren bicara sejajar dengan problem dan masa depan dunia Islam.
Tapi mari kita bertanya lebih jauh. Apakah Al-Azhar masih menjadi kiblat pendidikan agama? Sebagian akan berkata: iya, karena legitimasi keilmuan klasik itu tetap kuat. Yang lain berkata: dunia Islam sudah beragam, pusat-pusat keilmuan baru bermunculan di Turki, Saudi, Qatar, dll.
Maka mungkin jawabannya bukan soal kiblat, tapi perpaduan: belajar di Al-Azhar bukan sekadar memompa identitas keilmuan, tapi membangun jaringan, perspektif, dan kemampuan baca realitas dunia Islam kontemporer.
Di balik angka 111 itu, sesungguhnya kita sedang melihat transformasi pendidikan pesantren Indonesia. Dari lembaga yang dulu cuma dianggap “alternatif”, kini menjadi institusi yang mampu mengirim barisan intelektual ke panggung internasional. Dari ruang-ruang mengaji hingga aula keberangkatan internasional.
Dari kampung kecil menuju universitas tertua di dunia Islam, perjalanan ini terasa seperti metafora kehidupan kita sendiri: ilmu bukan sekadar tujuan, tapi perjalanan panjang yang penuh tantangan, doa, dan harapan.
Angka-angka yang tampak kering berubah menjadi jejak pencapaian. Dan seratus sebelas anak muda itu menjadi bukti bahwa masa depan pendidikan Islam Indonesia bukan hanya mimpi, tapi sedang tumbuh —diam-diam namun pasti, dari Indralaya sampai Kairo, dari pesantren hingga dunia. Semoga.
*Cak AT adalah  Ahmadie Thaha. Pengasuh Ma’had Tadabbur al-Qur’an.





































