Oleh : Sidi Alkahfi Setiawan

UNDANG-UNDANG Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai landasan konstitusionil telah merumuskan dalam Pasal 27 ayat (2) bahwa, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Secara implisit menegaskan bahwasanya kesejahtaraan rakyat harus di awali dari pekerjaan yang layak.

Buruh dalam tataran konsep, adalah sebuah upaya fisik dan mental yang dikeluarkan oleh manusia dalam sebuah proses produksi. Tenaga buruh merupakan sebuah komponen sumber daya manusia yang menjadi input dalam produksi barang dan jasa. Sebagai imbalan atas sumbangan itu, buruh mendapatkan upah yang berbentuk uang atau barang atau yang lain. Bagi mayoritas penduduk, terutama golongan miskin, komponen upah adalah sumber utama pendapatan mereka dan bagi negara pendapatan upah adalah komponen terbesar.

Penentuan kuantitas dan kualitas buruh, acapkali berjalan tidak berbanding lurus dengan kadar upah pada sebuah negara, tidak saja dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang dianut, tetapi juga oleh sistem nilai yang ada dalam masyarakat, serta pengalaman sejarah yang dilalui oleh negara tersebut.   

Kebanyakan negara, memiliki kecenderungan merespon dan bergantung kepada institusi pasar dalam mengatur kebutuhan terhadap buruh dan peraturan pemberian upah. Namun pada hakekatnya, sistem nilai atau norma yang berlaku di masyarakat dan pengalaman sejarah masing masing telah membedakan bentuk dan struktur pasar buruh di negara tersebut, padahal untuk menemukan formulasi sebuah konsep atas buruh dan upah, tidak harus selalu merujuk kepada ilmu ekonomi konvensional, karena teori yang mengkategorikan buruh sebagai input produksi bertentangan dengan konsep Islam, dimana manusia adalah merupakan khalifah Allah di bumi.

Jumlah buruh pada sebuah negara, biasanya berbanding lurus dengan jumlah penduduk, apabila suatu negara memiliki penduduk yang padat, maka jumlah tenaga buruh pun melimpah. Dalam istilah ilmu ekonomi, buruh dianggap sebagai sumber daya yang dimiliki manusia yang digunakan dalam proses produksi, sehingga buruh merupakan input atau faktor pengeluaran atau biaya produksi. Dalam Islam, faktor buruh tidak dianggap sebagai biaya produksi atau faktor pengeluaran, karena hal itu akan merendahkan derajat manusia sebagai wakil Allah di bumi. Seorang buruh, yang menjual tenaganya untuk mendapatkan imbalan upah, sejatinya dia hanya menjual sebagian dari apa yang dimilikinya,  bukan menjual dirinya. Maka tidaklah semestinya buruh dianggap sebagai faktor produksi atau biaya pengeluaran.

Fenomena buruh sedikit banyak telah menyedot perhatian kita sejak terjadinya revolusi Industri di Eropa di paruh akhir abad XVIII, yang memaksa manusia untuk bekerja di pabrik-pabrik, lahan tambang, perkebunan dan lain-lain. Revolusi industri yang diklaim para sejarawan sebagai tonggak kebangkitan Eropa, setelah berabad-abad lamanya tenggelam dalam masa kegelapan, melahirkan banyak fenomena baru di tengah masyarakat. 

Diantaranya, munculnya kelas pemodal (kaum borjuis) yang ‘mengorganisir’ dan ‘mengeksploitir’ buruh untuk bekerja pada pabrik-pabrik mereka. Pada sisi lain, sistem feodalistik ini, melahirkan kelompok masyarakat miskin, kelas pekerja (kaum proletar), yang menjadi ‘budak’ bagi para pemodal. Mereka diperas tenaganya secara paksa, tidak hanya orang laki-laki dewasa tapi juga anak-anak dan pekerja-pekerja wanita. Mereka diperlakukan dengan tidak manusiawi. Ide liberalisme (kebebasan) dengan landasan utama sekularisme, telah menjadi sebuah elan penting kebangkitan Eropa yang melahirkan bentuk keserakahan demi keserakahan dalam menggapai ‘kemuliaan’ dunia. 

Berikutnya, bangsa-bangsa Eropa ramai-ramai melancarkan imperialisme atas bangsa-bangsa lain yang menguntungkan secara geografis, termasuk adanya kekayaan alam. Tercatat dalam tinta hitam sejarah dunia seperti Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol dan Portugis membangun kolonialisme dan mengekspansi, serta mengeksplorasi banyak wilyah pada era tersebut, hingga diusirnya mereka dari daerah jajahannya.

Jan Bremen seorang sosiolog Belanda, melakukan observasi atas nasib para buruh pada masa kolonialisme Belanda. Lewat sebuah penelitian atas dokumen-dokumen resmi pemerintah kolonial yang selama ini tersembunyi, Bremen memaparkan praktek keji politik kolonial terhadap ribuan buruh atau kuli asal Cina, India, Jawa dan daerah-daerah lain di Sumatra yang dipekerjakan di perkebunan Sumatra Timur pada awal abad XIX hingga awal abad XX. 

Para kuli kontrak tersebut, tulis Jan Bremen – yang karena keberaniannya ia harus menanggung reksiko dituduh tidak menghargai perstasi bangsanya sendiri – jika dianggap bersalah diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Mereka disiksa layaknya binatang, dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang memilukan akibat imperialisme yang sudah menjadi bagian dari paradaban kapitalisme, rasanya tidak berlebihan jika mengutip kalimat founding parent kita Ir. Sukarno, yang menyatakan entitas rakyat Indonesia adalah een natie van koelie’s, en een koelie onder de natie (sebuah bangsa yang terdiri atas bangsa kuli, dan menjadi kuli di bawah koordinasi bangsa-bangsa lain).

Kapitalisme, sebagai sebuah ideologi – memiliki aktivitas yang paling menonjol yakni mencari harta sebanyak-banyaknya dan sebebas-bebasnya,  dengan demikian sampai saat ini pun aktivitas imperialisme dari ideologi kapitalisme belum berakhir. Bahkan semakin merajalela, dikarenakan ideologi kapitalisme menjadi ideologi tunggal setelah khilafah Islamiyah dihancurkan Barat pada tahun 1924, dan ideologi komunisme runtuh dengan sendirinya di tahun 1990 (dimulai dengan konsep glasnost dan prestroika-nya Gorbacev hingga runtuhnya tembok Berlin).

Demi menyelesaikan problem perburuhan, para buruh di beberapa negara banyak yang membentuk partai politik. Partai politik ini mereka maksudkan untuk memperjuangkan kelas sosial (class strunggle) agar tercapai kesamaan derajat diantara para buruh dan majikan. Teori ini dipengaruhi analisis Karl Marx, yang bercita-cita menghilangkan sama sekali kelas dalam masyarakat (masyarakat tanpa kelas). Padahal dengan tergantinya pihak penindas (kaum borjuis) oleh kaum proletar (yang tertindas), maka orang yang tertindas itu kemudian menjelma menjadi kelas penindas baru, sebagai tindakan konservatif.

Salah satu misi Islam adalah menghapus kewenangan terhadap kaum yang dianggap berstrata rendah. Di zaman itu (Jahiliyah), masyarakat terkotak-kotak sesuai dengan derajat kekayaan atau nasab mereka. Orang kaya dan bernasab tinggi kerap berlaku sewenang-wenang atas kaum yang berada di bawah mereka. Acapkali mereka menyiksa dan melakukan tindak kekerasan lainnya jika para budak atau buruh yang mereka miliki ini dianggap lalai atau berbuat sesuatu tidak sesuai dengan keinginan sang majikan. Kemudian Islam datang dengan membawa pesan kesetaraan dan konsep anti marjinalisasi. Fakta sejarah pun mengemuka, melalui pesan kesetaraan ini, pemeluk Islam di masa-masa awal kedatangannya justru dipenuhi oleh kalangan rakyat bawah, orang-orang miskin yang dianggap budak. Ini adalah salah satu esensi ajaran yang dibawa Islam untuk mengikis perbudakan dan kesewenangan terhadap masyarakat miskin. 

Di Indonesia sendiri mulai nampak kesadaran kaum buruh akibat ulah kesewenang-wenangan pengusaha yang tidak memberikan upah yang layak sebagai imbalan atas kerja mereka, PHK secara sepihak, dan lain-lain. Maka berbagai demonstrasi pun digelar (tidak jarang disertai vandalisme), mogok kerja atau aksi-aksi yang dilakukan dalam memperjuangkan nasibnya. Harga mahal yang harus dibayar akibat berbagai aksi tersebut, baik bagi buruh sendiri, pihak pengusaha dan stabilitas nasional pun terganggu. Buruh terancam PHK tanpa pesangon, buruh diintimidasi bahkan terancam jiwanya. Sementara pihak perusahaan menanggung reksiko kehilangan produktifitas, selain ancaman kerugian fisik akibat amuk masa buruh, secara politis, persoalan ini menjadi lahan subur untuk memasarkan ideology komunisme, dengan senjata ampuhnya – pembelaan dan janji-janji indah kepada para buruh. Juga pemecahan dengan metode sekularisasi yang berakibat terjadinya disfungsionalisasi ajaran agama. Bagaimanakah dengan Islam? Apakah aturan aturan Islam terhadap buruh dapat menyelesaikan dan menuntaskan problem perburuhan?

Di dalam Islam, problem perburuhan diatur oleh hukum-hukum kontrak kerja (ijarah). Secara definisi, ijarah adalah transaksi atas jasa/manfaat tertentu dengan suatu konpensasi atau upah. Syarat tercapainya transaksi ijarah tersebut adalah kelayakan dari orang-orang yang melakukan aqad, yaitu penyewa tenaga atau majikan dengan orang yang dikontrak atau pemberi jasa/tenaga. Kelayakan tersebut meliputi : kerelaan (ridha) dua orang yang ber-transaksi, berakal dan mumayyiz dan jelas upah dan manfaat yang akan di dapatnya. Dengan pengertian di atas, maka kontrak kerja dalam Islam meliputi 3 jenis, yaitu: 

  1. Manfaat yang di dapat seseorang dari benda, sebagai contoh seseorang menyewa rumah,  kendaraan, komputer dan sejenisnya.
  2. Manfaat yang di dapat seseorang atas kerja /amal seseorang, semisal arsitek, tukang kebun, buruh pabrik dan sejenisnya.
  3. Manfaat yang di dapat seseorang atas pribadi atau diri orang lain, semisal mengontrak kerja atau menyewa seorang pembantu, satpam dan sejenisnya. 

Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh, agar mereka bekerja untuk orang tersebut. (QS Az Zukhruf : 32). 

Ibnu Syihab meriwayatkan dengan mengatakan : Aku diberitahu oleh Urwah bin Zubeir bahwa Aisyah r.a berkata : “Rosulullah SAW dan Abu Bakar pernah mengontrak (tenaga) orang dari Bani Dail sebagai penunjuk jalan, sedangkan orang tersebut beragama seperti agamanya orang kafir Quraisy. Beliau kemudian memberikan kedua kendaraan beliau kepada orang tersebut. Beliau lalu mengambil janji dari orang tersebut (agar berada) di gua Tsur setelah tiga malam, dengan membawa kedua kendaraan beliau pada waktu subuh di hari yang ketiga”.

Karena sewa menyewa atau kontrak kerja adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak dengan imbalan upah, maka pada seorang yang dikontrak, haruslah dijelaskan bentuk kerjanya (job description), batas waktunya (timing), besar gaji/upahnya (take home pay) serta berapa besar tenaga/keterampilannya harus dikeluarkan (skill). Bila keempat hal pokok dalam kontrak kerja ini tidak dijelaskan sebelumnya, maka transaksinya menjadi rusak (fasid).

Termasuk yang harus ditentukan, adalah tenaga yang harus dicurahkan oleh pekerja, sehingga para pekerja tersebut tidak dibebani dengan pekerjaan yang diluar kapasitasnya/ kemampuannya. Maka tidaklah diperbolehkan untuk menuntut seorang pekerja agar mencurahkan tenaga, kecuali sesuai dengan kapasitasnya yang wajar, karena tenaga tidak mungkin dibatasi dalam takaran baku, maka pembatasan jam kerja dalam sehari adalah takaran yang lebih ideal. Sehingga pembatasan jam kerja bisa mencakup pembatasan tenaga yang harus dikeluarkan. Misalnya buruh harian, mingguan atau bulanan. 

Disamping itu bentuk pekerjaannya juga harus ditentukan, semisal menggali tanah, mengemudikan mobil atau bekerja di pertambangan dan lain sebagainya. Tiap pekerjaan yang halal, maka hukum kontrak kerja bagi pekerjaan tersebut juga halal. Sehingga kontrak kerja tersebut boleh dilakukan dalam perdagangan, pertanian, industri, manufactur, pelayanan (jasa), perwakilan dan lain sebagainya. Apabila transaksi kerja tersebut dilakukan terhadap pekerjaan tertentu, atau terhadap pekerja tertentu, hukumnya wajib bagi pekerja tersebut untuk melakukan pekerjaannya sendiri. Secara mutlak, posisinya tidak boleh digantikan oleh orang lain, karena telah diangkat dengan sebuah kesepakatan bersama. Sedangkan apabila kontrak kerja tersebut terjadi pada benda yang dideskripsikan sebagai suatu perjanjian, atau terjadi pada pekerjaan yang telah dideskripsikan untuk melakukan kerja tertentu, maka dalam keadaan seperti ini si pekerja boleh saja mengerjakan pekerjaan itu sendiri atau boleh juga orang lain menggantikan posisinya, apabila dia sakit atau tidak mampu, selama pekerjaannya sesuai dengan deskripsinya.

Transaksi kontrak kerja dalam Islam, sangat memperhatikan sekali masalah waktu. Ini dikarenakan ada akad kerja yang menggunakan waktu dan ada pula yang tidak. Apabila pekerjaan yang memang harus disebutkan waktunya – tetapi  tidak terpenuhi – maka pekerjaan tersebut menjadi tidak jelas dan tentu saja hukumnya menjadi tidak sah. Apabila waktu kontrak sudah ditentukan misalnya dalam jangka waktu satu tahun atau satu bulan, maka tidak boleh salah seorang diantara kedua belah pihak membatalkannya, kecuali apabila waktunya telah habis. Begitu pula tidak boleh seseorang bekerja untuk selamanya (tanpa waktu yang jelas) dengan perkiraan gaji yang juga tidak jelas.

Rasulullah Muhammad SAW, tidak hanya datang dengan membawa risalah agama. Seolah-olah selalu agama yang patut dibela dan menafikan anti kesejahteraan yang dialami oleh saudara-saudara kita sesama muslim. Hal ini tentu berbeda jika melihat akhir-akhir ini muslim lebih tergugah untuk diajak berjuang membela agama secara formalistis dan mendekatkan diri kepada Islam politik dibandingkan berjuang membela hak-hak buruh yang semakin susah hidupnya dewasa ini. Seolah-olah posisi membela agama lebih tinggi derajatnya di sisi Allah SWT, daripada membela orang-orang susah. Padahal Nabi tidak pernah mengajarkan demikian. Dalam dakwahnya, Nabi selalu mengajarkan bagaimana orang-orang yang susah bisa hidup mapan dan sejahtera. Tidak terkecuali para buruh, dan buruh adalah salah satu objek dakwah Nabi agar kehidupan mereka terjamin dan bebas dari akal-akalan si pemilik modal saat itu.

Di dalam khazanah hadits, kita akan menemukan kata Ajiir yang merupakan isim fail dari A-Ja-Ra. yang berarti amil (seorang pekerja/buruh). Ada juga kata lain dalam derivasi A-Ja-Ra yang sering kita temukan dalam hadits. Yaitu ujrah atau ajr yang berarti imbalan atau upah. Dua kata dari satu derivasi ini berkaitan dengan pembelaan Nabi terhadap para buruh. Seolah-olah Nabi ingin mengatakan bahwa menjaga hak-hak para buruh agar tetap selalu terpenuhi adalah bagian penting dari misi diutusnya Nabi Muhammad SAW. Yakni selain liutammima makarimal akhlaq dengan cara berbuat baik kepada buruh dan tidak berbuat sewenang-wenang pada mereka, serta merupakan rahmatan lil alamin, yakni agar hak-hak mereka terpenuhi dan memiliki kehidupan yang sejahtera dan membahagiakan mereka. 

Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik, tentang kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Tiga orang tersebut bertawasul (meminta pertolongan Allah) dengan amalnya masing-masing. Setelah dua orang selesai bertawasul, tibalah saatnya orang ketiga untuk bertawasul dengan amalnya. Saat itu si orang ketiga berkata: “Ya Allah suatu hari saya mempekerjakan seseorang. Tiba-tiba ia meminta upahnya dan tak kunjung ku berikan hingga dia meninggalkan upahnya. Upah tersebut saya jadikan modal peternakan. Saat ternak itu sudah besar dan berkembang, si buruh ini datang meminta upahnya. Maka saya berikan semua peternakan itu tanpa saya sisakan sedikitpun karena itu adalah dari upahnya yang dulu. Padahal jika saya mau, saya bisa memberikan upah sejumlah upah yang seharusnya ia dapatkan dulu. Kemudian orang ketiga inipun berkata: “Ya Allah, jika engkau tahu bahwa hal yang kulakukan untuk pekerjaku itu semata-mata untuk mengharap rahmat dan takut akan adzabmu, maka keluarkan lah kami dari gua ini”. Seketika mulut gua terbuka dan ketiga orang ini bisa keluar dengan selamat. Kisah yang diriwayatkan dari hadits di atas bukan semata-mata kisah yang cukup berlalu setelah diceritakan. Memberikan kisah adalah salah satu upaya dakwah Nabi agar si pendengar lebih tertarik dan mengerti intinya. Kisah tersebut seolah ingin memberikan pemahaman kepada kita bahwa berlaku baik terhadap seorang buruh adalah salah satu amal yang cukup tinggi derajatnya di sisi Allah. Terbukti bahwa Allah mengabulkan permintaan si orang ketiga hanya karena perlakuannya yang baik terhadap buruh yang ia pekerjakan. 

Dalam kondisi yang lain, Nabi juga secara langsung menjamin hak-hak buruh. 

Pertama, Nabi pernah melarang seorang untuk mempekerjakan seseorang kecuali upahnya sudah jelas. Sebagaimana disampaikan oleh Ibrahim an-Nakhai: 

Nabi Muhammad SAW melarang mempekerjakan seorang pekerja sampai upahnya diketahui”

Kedua, saat kita mempekerjakan mereka kita tidak boleh berlaku sewenang-wenang dan zalim kepada mereka. Hal ini diungkapkan Nabi dari Abu Hurairah dalam hadits yang sangat panjang ketika Nabi berkhutbah di Madinah sebelum Nabi wafat. Salah satu pesan Nabi saat itu adalah: 

“Siapa yang berlaku zalim terhadap upah seorang pekerja/buruh. Maka haram baginya bau surga (haram baginya surga).” 

Ketiga, Nabi memerintahkan agar upah buruh diberikan secara langsung tanpa ditunda-tunda terlalu lama. Sebagaimana pernyataan Nabi dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah: 

“Berikanlah upah kepada buruh sebelum keringatnya kering.” Keringat kering yang dimaksud dalam hadits di atas adalah tidak terlalu lama atau ditunda-tunda. Sehingga saking lamanya, keringatnya menjadi kering. 

Begitu gamblang Nabi Muhammad SAW dalam membela hak-hak buruh. Mulai dari proses perekrutan, hingga proses pemberian gaji disampaikan agar hak-hak buruh bisa terjamin. Sehingga Islam masih tetap berkontribusi dalam menjaga kesejahteraan dan kemapanan. Karena Islam tidak melulu soal syariat. Lebih dari itu, secara nilai (bukan secara formal) Islam memiliki misi yang besar, yakni kesamarataan dan kesejahteraan. Agar Islam sebagai Rahmatan lil Alamin menjadi nyata, bukan cuma sekedar jargon. 

*Ditulis dalam rangka menyongsong peringatan hari buruh sedunia 1 Mei 2024.

*Dr. H. Sidi Alkahfi Setiawan, S.H., M.H.,C.SC., C.MTh., C.BS., C.LSF., C.CL., C.BOP. adalah Dosen & Peneliti Fakultas Hukum Universitas Islam Jember, Ketua Bidang Pengembangan Anggota DPC IKADIN DPC Jember, Kepala Center for Cyber Law and Data Protection Studies (CL2DPS), Bidang Hukum dan HAM Sarbumusi Wilayah Jawa Timur, dan Wakil Ketua LPBH NU Jember Bidang Hukum dan HAM ISNU Cabang Jember. 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry