PROF DANIEL ROSYID

SURABAYA | duta.co – Sejumlah menteri kompak menyatakan adanya indikasi kampus saat ini dikuasai kaum radikal. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan saat ini kampus berpotensi menjadi ancaman baru di Indonesia sebab dikuasai kaum anti-Pancasila.

Selanjutnya Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-DIKTI) Prof Mohamad Nasir mengharapkan Perguruan Tinggi bisa menjadi benteng terakhir untuk mencegah adanya paham radikalisme yang bisa membahayakan keutuhan bangsa. Komentar ini menjadi headline di Kompas edisi Minggu 7 Mei 2017 dengan judul “Rektor diminta Cegah Radikalisme”.

Terkait hal itu Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid Ph.D, Guru Besar ITS, pun menanggapi komentar Menristek-DIKTI tersebut. “Hemat saya, seruan semacam ini baik, tapi tidak akan efektif. Mengapa? Karena seruan ini tidak dipijakkan pada analisis sosiologi yang sahih atas kemunculan radikalisme,” katanya. Ada sejumlah alasan yang mendasarinya.

Pertama, kampus adalah pasar gagasan yang di era digital ini semakin menjadi market place of ideas. Kampus bertugas membangun kemampuan berpikir kritis bagi mahasiswa. Di kampus mereka belajar mengunyah berbagai gagasan untuk membangun gagasan baru mereka sendiri -dalam lingkungan yang lebih terkendali.

Kedua, kebangkitan radikalisme adalah gejala yang bersifat global. Di Indonesia radikalisme hampir selalu dikaitkan langsung dengan Islam walau ini tidak dinyatakan secara terus terang. Cara ini justru berbahaya. Kesalahan terbesar media utama bukan pada penyebaran hoax tapi pada penyembunyian fakta. Kesalahan media tidak hanya pencampuradukan kebenaran dengan kebathilan, tapi juga penyembunyian kebenaran.

Radikalisme terjadi di mana-mana, termasuk di negara-negara mayoritas Katolik, Kristen atau Budha dan Hindu. Ini juga sekaligus sering dikaitkan dengan rasisme. Di AS ras kulit putih Kristen menganggap kelompoknya yang paling patriotik.

Ketiga, penyebab kemunculan paham radikal itu hanya satu yaitu ketidakadilan dan ketimpangan. Jadi sikap radikal itu bukan sebab, tapi akibat dari ketidakadilan dan ketimpangan yang dibiarkan terus terjadi oleh para penguasa yang seharusnya justru menegakkan keadilan.

Keempat, sekulerisme -sebagai paham yang memisahkan agama dengan politik- yang dianut banyak negara-bangsa adalah paham radikal. Pancasilaisme juga paham radikal. Setiap isme yang bergelora dan inspiratif selalu bersifat radikal.

Kelima, yang menganut paham bukan hanya negara, manusia dan kelompok tapi juga lembaga. Bahkan Ivan Illich menyebut persekolahan -sebagai lembaga- telah dan sedang melakukan monopoli radikal atas sistem pendidikan. Ini saya namakan sekolahisme. Hal yang terakhir ini adalah paham yang memperjuangkan persekolahan sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara pendidikan yang sah. Sama seperti paham radikal lain yang memposisikan diri sebagai paham yang paling benar dan penganutnya paling patriotik.

“Jadi, daripada sibuk dengan pencegahan kemunculan paham radikal di kampus, lalu membubarkan organisasi yang dituding radikal, lebih baik Pemerintah memastikan penegakan keadilan tanpa pandang bulu, termasuk meninggalkan paham sekolahisme yang memandang keluarga dan masyarakat bukan satuan pendidikan yang sah,” katanya.

Sebelumnya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan saat ini kampus berpotensi menjadi ancaman baru di Indonesia. Hal itu, kata Wiranto, mungkin saja terjadi apabila kampus menjadi sasaran pembinaan bagi ideologi-ideologi selain Pancasila.

“Ada kecenderungan bahwa kampus sekarang ini menjadi sasaran dari suatu pembinaan-pembinaan, yang saya anggap sebagai bagian dari ancaman baru Indonesia. Karena ada masukan-masukan yang berbicara masalah-masalah ideologi negara,” ujar Wiranto setelah menggelar acara Coffee Morning bersama Forum Wakil Rektor Kemahasiswaan yang berlangsung di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Kamis (4/5/2017).

Wiranto mengatakan ideologi bangsa tak perlu dipermasalahkan. Sebab, dia menegaskan, sudah jelas ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila. “Sudah kita pastikan dan sudah kita sampaikan bahwa Pancasila sebagai ideologi negara, ideologi NKRI harga mati,” tegasnya.

Wiranto menjelaskan Pancasila bukanlah sekadar slogan belaka. Menurutnya, Pancasila merupakan sesuatu yang sangat fundamental bagi keberlangsungan bangsa.

“Itu kan sesuatu bukan hanya slogan, tapi sesuatu yang sangat fundamental karena sebagai bagian dari UUD yang kita sepakati bersama. Oleh karena itu, tatkala ada suatu masukan-masukan lain di kampus yang mencoba membelokkan atau mengganggu atau katakanlah mencoba untuk meng-compare ideologi negara ini dengan ideologi yang lain, yang merupakan alternatif, ini yang kita cegah, nggak bisa,” katanya.

Untuk itulah, kata Wiranto, dia menggelar diskusi bersama pihak kampus. Tujuannya untuk mengembalikan kehidupan kampus yang semestinya, yakni yang penuh dengan pembinaan tentang kebangsaan, bukan malah sebaliknya.

“Oleh karena itu, saya mengundang para wakil rektor kemahasiswaan untuk menjadikan ini suatu isu bersama yang harus kita hadapi, karena justru di tangan-tangan beliau itulah sebenarnya pembinaan mahasiswa ini terus berlanjut,” tuturnya.

“Kita sepakat bahwa kita akan mengembalikan satu kehidupan kampus yang juga memang diisi dengan satu pembinaan kebangsaan yang terus intens. Kita juga sampaikan bahwa masa depan bangsa ini ada di tangan para mahasiswa, yang merupakan para generasi baru yang akan mengawal negeri ini,” sebutnya.

 

Rektor Kena Sanksi
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-DIKTI) Prof Mohamad Nasir lalu mengharapkan Perguruan Tinggi bisa menjadi benteng terakhir untuk mencegah adanya paham radikalisme yang bisa membahayakan keutuhan bangsa.

Untuk itu, pihak kampus maupun rektor ditegaskan untuk benar-benar mengantisipasi adanya paham radikalisme.

“Nanti kami akan lihat, apakah radikalisme itu karena pembiaran atau ketidaktahuan,” kata Nasir Sabtu (6/5/2017).
Nasir pun mengaku akan memberikan sanksi tegas pada rektor jika terjadi radikalisme di lingkungan perguruan tinggi. Rektor, menurut dia, harus mampu memantau, mengendalikan, dan mendelegasikan tugasnya sehingga radikalisme tidak terjadi di kampus.

“Oleh karena itu, kami bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) membahas mengenai radikalisme di kampus karena ini berkaitan dengan masa depan bangsa,” ujarnya.

Kemristekdikti juga telah menyusun kurikulum dalam mencegah radikalisme dengan memasukkan muatan mengenai bela negara sejak 2016. Dalam kesempatan itu, dia juga menghimbau agar rumah ibadah tidak hanya dikuasai oleh kelompok tertentu.

Kepala BNPT Suhardi Alius mengatakan wadah pendidikan merupakan tempat persemaian generasi berikutnya, oleh karenanya harus steril dari radikalisme dan narkoba.

“Radikalisme itu membutuhkan waktu yang panjang, oleh karenanya kampus harus mampu mencermati jika terjadi perubahan pada mahasiswa maupun dosen, misalnya membentuk kelompok eksklusif, karena itu merupakan tanda-tanda menjadi radikal,” kata Suhardi.

Suhardi mengatakan cukup banyak akademisi yang ikut ke dalam ISIS, kondisi itu harus diperhatikan secara serius oleh pimpinan perguruan tinggi.

“Pimpinan perguruan tinggi harus mampu mendeteksi dan mencegahnya. Bagaiamana nanti formatnya, nanti dipikirkan bersama,” tandasnya.  hud, ud