Pakar pendidikan, Prof Mukhlas Samani (kiri) saat menjadi pembicara dalam acara seminar International Conference on Technopreneurship and Education yang digelar Unusa di Hotel Papilio, Rabu (14/11). DUTA/endang

SURABAYA | duta.co – Memang tidak mudah mencetak seorang wirausahawan. Apalagi kalangan kampus yang berkomitmen untuk membuat lulusannya memiliki jiwa wirausaha.

Ternyata jiwa wirausaha itu tidak mudah diteorikan, namun akan lebih mudah ditularkan.

Hal tersebut diungkapkan pakar pendidikan yang juga mantan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang kini juga menjadi pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Prof Mukhlas Samani.

Mukhlas mengungkapkan hal itu di hadapan peserta seminar International Conference on Technopreneurship and Education yang digelar Unusa di Hotel Papilio, Rabu (14/11).

“Makanya kalau diamati, entrepreneurship itu tumbuh di lingkungan yang memiliki entrepreneurship,” tukasnya.

Karenanya, jika dunia pendidikan ingin mencetak para wirausahawan maka kurikulum yang diterapkan harus aplikatif.

Di mana mahasiswa harus dididik tidak hanya di kelas tapi di luar kelas. Ini yang harus dilakukan kampus agar menjalin kerjasama dengan dunia industri sehingga mahasiswa bisa belajar secara langsung.

Selain itu, berbicara masalah itu kata Mukhlas, tidak bisa pendidikan entrepreneurship ini menjadi milik salah satu program studi. Melainkan harus melibatkan program studi yang lain. “Jadi aturan jangan ketat antar fakultsa,” tandasnya.

Namun yang saat ini terjadi, banyak kampus yang menciptakan ahli-ahli dalam satu bidang.

Tidak menciptakan otak atau seseorang yang memiliki ide dan gagasan untuk berani melangkah dan berbuat menciptakan wirausaha baru.

“Ini yang penting. Menciptakan seseorang yang memiliki ide untuk menyuruh para ahli berbuat sesuatu,” jelasnya.

“Misalnya, ada banyak ahli robot, tapi yang paling tinggi tingkatannya adalah orang yang menyuruh para ahli itu untuk membuat robot anti apa gitu,” tambah Mukhlas.

Rektor Unusa, Prof Dr Ir Achmad Jazidie, M.Eng mengatakan entrepreneurship memang menjadi visi Unusa dengan menerapkan nilai-nilai Islam di dalamnya.

Untuk mengarah ke sana, diakui Jazidie, ada banyak aktivitas konkret yang dilakukan.

“Sehingga mahasiswa terbiasa melakukan aktivitas itu dalam kehidupan kampus. Terbiasa melakukannya,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, untuk mendorong jiwa wirausaha itu, Unusa pun menyiapkan dana khusus bagi mahasiswa yang ingin memulai usaha.

Caranya dengan mengirimkan proposal kepada pihak kampus, jika disetujui maka akan mendapatkan dana Rp 8 juta hingga Rp 10 juta.

“Tapi itu tidak gratis, mereka harus mengembalikan dalam tenor waktu tertentu. Nantinya pengembalian dana itu diperuntukkan bagi adik-adik kelas mereka,” tuturnya.

“Mengapa harus mengembalikan? Agar mereka memiliki rasa tanggung jawab sehingga berusaha untuk terus memajukan usahanya,” tandasnya.

Andrew Kelly dari Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya juga mengatakan Indonesia sebenarnya Indonesia memiliki karakter yang sama dengan Amerika. Ada banyak suku dan bangsa.

“Selain itu, Amerika juga memiliki banyak pakar technopreneurship seperti Google dan sejenisnya. Tapi Indonesia punya itu, Bukalapak, Tokopedia. Itu harus dikembangkan,” tuturnya.

Sementara itu, pakar robotik, Dr Mahardhika Pramata mengatakan untuk menciptakan technopreneurship itu dengan menggunakan ilmu yang kita punya. Khususnya untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

“Teknologi itu untuk membantu kita. Jangan takut semua digantikan robot. Karena tetap saja manusia itu adalah kendalinya. Otak dari robot-robot itu tetap manusia. Kita yang menggerakkan semuanya,” tandasnya. end