JAKARTA | duta.co – Setelah bupati, walikota, dan gubernur, kini menteri terang-terangan mendukung capres petahanan Joko Widodo alias Jokowi. Bahkan, Menteri Perhubungan Budi Karya di acara “Grab Karnaval” yang berlangsung di Gambir Expo, Kemayoran Sabtu (22/12/2018) pekan lalu terang-terangan pula mengkampanyekan Jokowi di Pilpres 2019.
Namun, pertanyaannya, apakah Budi Karya juga akan kena sanksi seperti yang menimpa Kepala Desa Sampang Agung di Kecamatan Kutorejo, Kab. Mojokerto, Suhartono, yang harus mendekam di penjara gara-gara mendukung Prabowo – Sandiaga Uno?
Yang jelas, ulah Budi Karya mengkampanyekan Jokowi bakal berbuntut panjang. Menteri Budi bisa saja dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Rekaman video Budi Karya melanggar aturan karena diduga melakukan kampanye di acara itu viral. Cerita bermula saat mantan Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol itu berinteraksi dengan sejumlah pengemudi Grab Bike.
Dalam video itu Budi nampak berada di atas panggung dengan mengenakan jaket hijau Grab. Dia kemudian memanggil seorang pengemudi ojek online untuk maju dan mendekat. Setelah mendekat dan mencium tangan Budi Karya, pengemudi tersebut diminta mempromosikan Jokowi.
“Satu lagi ini yang ngocol ini. Kamu promosiin Grab, promosiin Indonesia, sama promosiin Pak Jokowi,” ucap Budi Karya.
Memenuhi permintaan Budi, si pengemudi menjawab, “Naik Grab pakai Ovo banyak diskonnya. Dua ribu sembilan belas tetap Jokowi.”
Ucapan Budi Karya antara lain dipermasalahkan Perkumpulan Masyarakat Ojek Online Seluruh Indonesia (MOSI). Diberitakan salah satu portal nasional, Ketua MOSI Danny Stephanus mengatakan sedang mempelajari dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan Budi Karya sebelum memutuskan untuk menyampaikan laporan ke Bawaslu.
“Saya sedang pelajari, kalau memang melanggar UU Pemilu, saya laporkan,” kata Danny Jumat, 28 Desember 2018.
Danny berpendapat pernyataan Budi Karya tidak etis. Dia menganggap ujaran itu menggiring opini massa. “Kami kan enggak semua pilihannya sama,” kata Danny.
Apalagi, kata Danny, Budi Karya tak ada di jajaran tim sukses Joko Widodo di Pilpres 2019. Dia mengatakan Budi Karya semestinya berfokus pada tugas pokoknya sebagai menteri. Hingga Sabtu hari ini Budi Karya belum memberi tanggapan atas rencana MOSI melaporkannya ke Baswalu itu.
Kasus Kades dan Bupati
Seperti diberitakan duta.co, satu lagi bukti dugaan tebang pilih kasus pelanggaran Pemilu. Untuk mereka yang mendukung Prabowo-Sandi dihukum penjara, tapi sebaliknya pendukung Jokowi hanya ditegur. Misalnya kasus kades di Mojokerto yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu, sedang sejumlah bupati /walikota di sejumlah daerah dijerat UU Pemda, bukan UU Pemilu, yang sanksinya hanya ditegur.
Kepala Desa (Kades) Sampangagung, Kutorejo, Suhartono, dijebloskan ke Lapas Klas IIB Mojokerto, setelah terbukti melanggar UU Pemilu. Kendati begitu, Kades yang akrab disapa Nono ini menyatakan tetap mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019.
Nono pun akhirnya digelandang petugas ke mobil tahanan di halaman kantor Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto, Jalan RA Basuni, Kecamatan Sooko. “Putusan saya jalani apa adanya seperti aturan yang berlaku. Saya bertanggungjawab atas apa yang saya lakukan,” kata Suhartono kepada wartawan, Rabu (19/12/2018).
Suhartono harus menjalani hukuman penjara selama 2 bulan. Hal itu sesuai dengan vonis yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri Mojokerto pada Kamis (13/12). Selain hukuman penjara, Nono juga wajib membayar denda Rp 6 juta subsider 1 bulan kurungan.
Suhartono dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim PN Mojokerto karena terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dengan mendukung Cawapres Sandiaga Uno. Dalam persidangan selama 7 hari, terungkap fakta Kades Nono terlibat aktif menyiapkan acara penyambuatan Sandiaga dan aktif di acara penyambutan tersebut.
Lain lagi kasus yang hampir sama tapi dianggap berbeda, 10 bupati/wali kota ikut dalam penandatanganan pernyataan dukungan terhadap calon presiden Joko Widodo. Pernyataan dukungan tertanggal 10 Oktober 2018 yang lalu itu dilakukan di sebuah Hotel di Pekanbaru. Namun mereka aman-aman saja. Setelah terjadi prokontra baru Bawaslu meminta Gubernur Riau Wan Thamrin Hasyim menegur mereka.
Permintaan itu langsung direkomendasikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah Dr.Sumarsono, MDM,” kata Ketua Badan Pengawas Pemilu Riau Rusidi Rusdan di Pekanbaru, Jumat (28/12/2018) hari ini.
Rusidi menjelaskan, berdasarkan surat Mendagri dengan Nomor 700/9719/OTDA tanggal 12 Desember 2018, Mendagri berkesimpulan bahwa 10 kepala daerah di Riau telah melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Surat permintaan pemberian teguran kepada 10 kepala daerah tersebut merupakan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu Riau kepada Menteri Dalam Negeri per tanggal 6 November 2018.
Dari kajian Sentra Gakkumdu yang dilakukan di kantor Bawaslu Riau, 10 kepala daerah tersebut tidak memenuhi unsur pelanggaran pidana pemilu sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 namun terdapat pelanggaran peraturan Perundang-undangan lainnya. Sepuluh Kepala Daerah yang ikut serta dalam penandatanganan pernyataan dukungan tersebut yaitu Bupati Siak, Bupati Pelalawan, Bupati Kampar, Bupati Bengkalis, Bupati Indragiri Hilir, Bupati Kuantan Singingi, Bupati Kepulauan Meranti, Bupati Rokan Hilir, Wali kota Pekanbaru, dan Wali Kota Dumai.
Bukan hanya Riau, tapi juga di Sumbar dan sejumlah daerah lain. Sebanyak 10 kepala daerah di Sumbar, Selasa (18/9/2018) malam lalu, juga mendeklarasikan dukungannya kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin yang akan bersaing dengan pasangan Prabowo-Sandi pada Pemilihan Preaiden (Pilpres) 2019 mendatang.
Namun, pada deklarasi yang berlangsung di Inna Muara Hotel Padang itu, hanya enam kepala daerah yang menghadiri deklarasi dukungan tersebut, yaitu Bupati Dharmasraya, Bupati Limapuluh Kota, Bupati Pasaman, Bupati Pesisir Selatan, Bupati Sijunjung dan Walikota Solok.
Mestinya, mereka juga melanggar UU Pemda. Namun banyak kalangan meragukan para kepala daerah itu tidak kampanye untuk Jokowi. “Deklarasi dukungan itu saja sudah kampanye. Nanti mereka pasti mengajak masyarakat kan, ya pasti untuk memilih Jokowi. Tapi masyarakat sudah cerdas kok,” kata Rantauwan, warga Pekanbaru, Jumat siang.
Terkait deklarasi tersebut, Sekretaris DPD Partai Gerindra Sumbar, Desrio Putra, merasa tidak ada masalah dengan deklarasi dukungan tersebut, karena itu hak politik dari kepala daerah, dan tentunya juga ada alasan pribadi bagi kepala daerah yang menyatakan dukungan untuk Jokowi-Ma’ruf.
“Kami herankan, kok cuma bupati walikotanya saja yang deklarasi ya? Kok tidak melibatkan masyarakat? Jika kami perhatikan memang semua bupati walikota yang hadir di deklarasi tersebut dahulunya diusung oleh partai koalisi Jokowi, kecuali Hendra Joni, Bupati Pesisir Selatan,” kata Desrio Putra.
Gerindra Sumbar, lanjutnya, tidak khawatir dengan deklarasi tersebut, karena pihaknya yakin dukungan dari sejumlah kepala daerah untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf itu tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap pemilih. Sebab, masyarakat Sumbar lebih cerdas dalam memilih pemimpin.
“Kami optimis InsyaAllah pada pemilu 2019 suara Prabowo akan bertambah dari suara Pilpres 2014, karena masyarakat Sumbar sudah melihat bagaimana kepemimpinan Jokowi selama hampir satu periode. Mayoritas masyarakat Sumbar sudah patah hati dengan Jokowi,” ujarnya.
Buktinya, sambung Desrio, setiap Jokowi ke Sumbar, sangat minim antusiasme masyarakat dalam menyambutnya, biarpun sudah berkali-kali Jokowi datang ke Sumbar. (tmp/rpk/tbn)