“Presiden Prabowo, dengan 44 Kementerian yang akan dibentuknya, sudah pasti punya alasan tersendiri. Bukan karena takut oposisi.”

Oleh Idham Cholid

SUDAH pasti, pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada Minggu, 20 Oktober 2024. Esoknya, pelantikan Kabinet. Presiden terpilih Prabowo Subianto pun telah mengumpulkan calon pembantunya itu. Mereka mendapatkan pembekalan khusus di Hambalang.

Total ada 113 personel yang akan mengisi komposisi Kabinet. Semua jadi menteri? Tentu tidak. Yang tersiar selama ini, jumlah Kementerian memang akan bertambah, menjadi 44. Selama empat periode kepresidenan SBY dan Jokowi hanya 34 Kementerian.

Jumlah itu mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. UU ini sekarang telah diubah menjadi UU Nomor 61 Tahun 2024 yang disahkan pada 15 Oktober yang lalu. Dengan perubahan itu Presiden diberi semacam “kebebasan” untuk membentuk Kabinet yang diinginkan, dengan jumlah Kementerian sesuai kebutuhan.

Sebenarnya, dengan UU yang baru itu, Presiden Prabowo bisa menunjuk menteri sebanyak-banyaknya. Itu hak prerogatifnya. Mau membentuk Kabinet 88 Menteri sekalipun, misalnya, juga bisa. Kita tau, angka 8 adalah favoritnya. Angka “keberuntungan” Presiden ke-8 itu.

Namun saya yakin, hal itu tak akan dilakukannya. Presiden Prabowo tentu sangat tahu diri. 44 Kementerian yang akan dibentuknya juga sudah terbilang banyak. Meskipun jumlah ini juga pernah terjadi di era Presiden Soeharto pada periode 1988-1993. Jumlah Kementerian terbanyak selama 32 tahun orde baru.

Di era reformasi, Presiden Habibie yang hanya berkuasa 17 bulan memimpin 37 Kementerian, Presiden Gus Dur 36 Kementerian, dan Presiden Megawati dengan hanya 33 Kementerian.

Untuk saat ini, jika dibentuk Kementerian yang banyak sebenarnya juga tak mengagetkan. Kita pernah punya sejarah Kabinet 100 Menteri di era Presiden Sukarno. Tepatnya, 110 Menteri Kabinet Dwikora I (1964-1966) dan 132 Menteri di Kabinet Dwikora II yang berumur hanya satu bulan, dari 24 Februari hingga 27 Maret 1966.

Konteksnya, krisis di segala bidang pasca G30S/PKI. Pembentukan Kabinet 132 Menteri itu dimaksudkan untuk menjawab pelbagai persoalan akibat krisis: politik, ekonomi, sosial, dlsb. Banyaknya jumlah Menteri dianggap sebagai jawaban. Nyatanya, alih-alih menyelesaikan persoalan, Kabinet itu malah hanya berumur tak sampai 40 hari.

Presiden Prabowo, dengan 44 Kementerian yang akan dibentuknya, sudah pasti punya alasan tersendiri. Salah satu alasannya, sering dia sampaikan secara terbuka: kita ini negara besar, jumlah penduduknya banyak. Tentu tak sedikit masalah yang dihadapi. Banyak persoalan yang harus diselesaikan.

Penduduk Indonesia saat ini 280 juta lebih. Dia pernah bandingkan, Timor Leste yang jumlah penduduknya hanya 1,5 juta saja jumlah Menterinya ada 28 orang. Mungkin dia hendak tegaskan, Indonesia dengan penduduk hampir 200 kali lipat lebih banyak dari Timor Leste, kalau hanya 44 Kementerian tentu masih belum seberapa. Toh, sumber kekayaan alam kita juga melimpah ruah.

Lalu, kenapa harus sampai 113 tokoh yang dikumpulkan di Hambalang jika hanya akan membentuk 44 Kementerian? Jawabannya, sudah sering tersiar di media. Selain Menteri, ada Wakil Menteri, juga pimpinan Badan dan Lembaga setingkat menteri yang akan dibentuk. Wakil Menteri juga bisa lebih dari satu. Menteri Keuangan misalnya, Wakilnya direncanakan tiga orang.

Konon, akan ada pula utusan khusus Presiden, atau apa lah namanya, untuk beberapa urusan. Salah satunya, sebagaimana disampaikan Gus Miftah –da’i muda kondang yang juga dipanggil ke Kertanegara– yaitu untuk urusan moderasi dan toleransi beragama. Katanya, dia yang akan diberi tugas itu.

Sudah barang tentu, perubahan menjadi 44 Kementerian, juga sekian Badan, Lembaga dll, dengan 100 lebih personel itu, menimbulkan pertanyaan. Bahkan, mungkin juga kecurigaan. Yang pasti, perubahan itu tak lepas dari politik akomodasi. Terlalu banyak “kompromi” yang mesti dilakukan.

Kenapa sih Presiden Prabowo harus lakukan itu? Dicurigai, dia tak mau ada “oposisi” di masa pemerintahannya nanti. Dia mau “stabilitas” benar-benar terjaga dengan rapi. Maka kemudian, ada yang menyebut Kabinet yang akan dibentuk itu sebagai Kabinet Stabilitas.

Sebenarnya, Presiden Prabowo tak perlu repot-repot melakukan kompromi dan memperbesar barisan koalisi. Dia bisa membentuk Kabinet lebih ramping. Miskin struktur kaya fungsi, kira-kira begitu, agar lebih efektif dan efisien. Tak sedikit pula yang menyarankan demikian. Mengingat public trust dia sangat tinggi.

Hal itu berdasarkan survey Burhanudin Muhtadi belum lama ini. Bahwa public confidence terhadap Presiden terpilih Prabowo Subianto sangat besar, yaitu 85 persen. Sementara Jokowi saat terpilih dulu hanya 60 persen.

Public confidence adalah tingkat kepercayaan publik kepada seseorang bahwa dia bisa dipercaya, bisa mengerjakan dan menyelesaikan sesuatu dengan baik. Beda dengan approval rating yang diukur setelah yang bersangkutan menjabat.

Seperti saat ini, misalnya, approval rating yang sangat tinggi kepada Presiden Jokowi, justru di akhir masa jabatannya. Mencapai 80 persen. Tertinggi di dunia, kata ex Kepala BIN Budi Gunawan.

Meski mempunyai public trust yang sangat tinggi itu, Presiden Prabowo tetap membentuk Kabinet yang gemuk, gemoy, melibatkan banyak kalangan. Dari sekian banyak tokoh yang dipanggil dan dikumpulkan, terlihat sangat beragam. Ada yang mempertanyakan, akankah tercipta Kabinet zaken sebagaimana yang selama ini digaungkan?

Yang juga harus dipahami, dengan melibatkan banyak kalangan itu, sebenarnya telah dapat menunjukkan “kepribadian” politik Presiden Prabowo. Dia yang mempunyai prinsip “seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak” itu benar-benar ingin mewujudkan persatuan yang sesungguhnya.

Meskipun prinsip itu juga perlu dikoreksi. “Seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan akan merepotkan” agaknya lebih tepat. Artinya, sebisa mungkin dalam hidup ini kita jangan sampai direpotkan dengan persoalan yang tak perlu. Apalagi bermusuhan dengan kawan sendiri.

Saya memahami, prinsip itulah yang sejatinya menjadi ‘idealisasi’ kepemimpinan Presiden Prabowo. Dia hendak meneladankan semangat kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan. Dia sudah tunjukkan langsung, ‘rekonsiliasi’ dengan Presiden Jokowi, lawan politik yang mengalahkannya dua kali.

Lihat juga, misalnya, bagaimana dia berusaha menyatukan elite PKB yang bertikai selama ini. Ketum Muhaimin Iskandar diakomodasi. Bahkan diproyeksikan sebagai Menko. Demikian pula Abdul Kadir Karding, Sekjen PKB yang diberhentikan menjelang Pilpres 2019, dengan alasan yang tak jelas saat itu. Karding katanya akan menjadi Menteri urusan Perlindungan Pekerja Migran.

Oleh Presiden Prabowo semua pihak dirangkul. Tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, Al-Washliyah, bahkan representasi Islam “kanan” seperti Babe Haekal pun dilibatkan. Tokoh-tokoh yang merepresentasikan dari berbagai wilayah nusantara dan beragam profesi juga ada. ‘Paket komplit’ pokoknya.

Dengen paket komplit itu, Kabinet macam apa yang hendak dibentuk Presiden Prabowo sebenarnya? Saya menyebutnya Kabinet Indonesia Raya. Ini bukan karena dia Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Bukan karena itu.

Indonesia Raya adalah konsep politik. Tak lain, bertujuan untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Bagaimanapun caranya. Tak boleh lengah sedetikpun, sebagaimana syair yang selalu dinyanyikan:

Marilah kita berseru.
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku.
Hiduplah negeriku.
Bangsaku, Rakyatku, semuanya.
Bangunlah jiwanya.
Bangunlah badannya.
Untuk Indonesia Raya.

Selamat dan sukses selalu, Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.(*)

*Idham Cholid adalah Ketua Umum Jaringan Majelis Yasinan Nusantara (Jayanusa)
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry