“Saat ini, Indonesia telah menandatangani kontrak pembelian 42 unit Rafale dari Prancis dan 24 unit F-15EX dari Amerika Serikat, dengan total anggaran lebih dari US$8 miliar. Sebuah investasi besar yang menunjukkan ambisi modernisasi alutsista nasional.”

Oleh Jajang Nurjaman*

BARU-BARU ini, langit India menjadi saksi ketegangan serius. Pakistan mengklaim telah berhasil menembak jatuh 5 pesawat tempur India: tiga Rafale, satu MiG-29, dan satu Su-30MKI.

Aksi ini diduga melibatkan jet tempur J-10C buatan China yang dioperasikan oleh Angkatan Udara Pakistan. Namun, klaim ini belum diverifikasi secara independen, dan pihak India pun sejauh ini belum mengonfirmasi adanya kehilangan pesawat.

Mari kita bayangkan nilai masing-masing pesawat ini:

Rafale: Jet tempur buatan Prancis, digunakan India, seharga sekitar US$100–120 juta per unit.

Sementara JF-17 Thunder: Jet hasil kerja sama China-Pakistan, digunakan Pakistan, dengan harga sekitar US$25–30 juta per unit.

Ada lagi J-10C: Jet buatan China yang juga digunakan Pakistan, seharga sekitar US$40–50 juta per unit. Jika klaim Pakistan terbukti benar, maka jet tempur yang lebih murah ternyata mampu menumbangkan pesawat tempur yang jauh lebih mahal.

Fakta ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas biaya dan kapabilitas teknologi dalam alutsista modern.

Tak hanya itu, peristiwa ini juga menarik perhatian global terhadap industri pertahanan China, khususnya kemampuan mereka dalam mengekspor senjata ke negara-negara sekutu. Meski sejauh ini belum ada data yang menunjukkan lonjakan harga saham perusahaan senjata China akibat insiden ini, reputasi mereka tentu mendapat sorotan.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Saat ini, Indonesia telah menandatangani kontrak pembelian 42 unit Rafale dari Prancis dan 24 unit F-15EX dari Amerika Serikat, dengan total anggaran lebih dari US$8 miliar. Sebuah investasi besar yang menunjukkan ambisi modernisasi alutsista nasional.

Namun, pertanyaan penting yang harus kita ajukan adalah: Apakah Indonesia memiliki peta jalan pertahanan yang jelas untuk mengintegrasikan seluruh alutsista canggih ini ke dalam strategi nasional?

Tanpa strategi yang matang dan berorientasi jangka panjang, pembelian senjata canggih berisiko hanya menjadi simbol prestise semata — mahal, mencolok, tetapi tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap kemampuan pertahanan sesungguhnya.

Di tengah dinamika keamanan kawasan yang semakin kompleks, sudah saatnya Indonesia bukan hanya berbelanja senjata, tetapi juga memikirkan dengan serius bagaimana senjata itu digunakan secara efektif untuk melindungi kepentingan nasional.

*Jajang Nurjaman adalah Koordinator Center of Budget Analysis (CBA).

 

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry